🌙 Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pintu pembatas kami dan Merlein yang sedang bertarung sudah menutup rapat. Aku meraba dinding yang kupikir dari tanah ini, sepertinya ini adalah lorong tanah. Aku dapat memastikannya dari petromaks yang Erlya bawa. Petromaks itu, petromaks yang diletakkan Bon saat ia akan bertarung.

"Aku butuh api dan," kata Kinara kepada kami saat ia sudah selesai menyaksikan pintu lorong yang tertutup rapat. Erlya buru-buru memberikan petromaksnya padaku. Ia membuka dan meraba bagian dalam tasnya lalu mengeluarkan pemantik. Ia memberikannya kepada Kinara.

Bon yang sedari tadi menggendong Jelina pun menaruh tubuhnya bersandar di dinding. Aku pun juga ikut meletakkan tas Helena, senjata mereka dan petromaks di dekatnya. Kulirik Jelina, wajah Jelina terlihat pucat, dan bahunya membengkak.

Kinara mengeluarkan alat-alat yang berada di dalam tasnya. Ia mengambil sesuatu seperti jarum suntik, sebuah pisau kecil, piala ginjal, kasa dan kapas.

Kinara menyalakan pemantik dari Erlya untuk membakar pisau kecilnya, katanya itu pisau bedah dan sedang ia sterilkan. Setelah itu ia menggerakkan pisaunya yang sudah dingin ke arah kulit Jelina. Lalu menyayat sedikit permukaan kulit Jelina menyilang. Tidak kuketahui mengapa Jelina tak merasakan sakit.

Setelah membuat sayatan baru, Kinara menekan daerah di sekitar sayatan tadi hingga darah keluar. Darah hitam yang benar-benar hitam dan beberapa yang menggumpal keluar dari dalam.

Kinara mengambil kasa untuk membersihkannya dan menaruhnya di piala ginjal. Katanya, racun di gigi tikus itu seperti racun bisa ular yang pernah ia tangani. Walaupun aku tidak bisa membayangkan ular seperti apa karena aku sendiri belum pernah melihat ular. Hanya dari buku, yang katanya jumlah ular di dunia ini sangat sedikit. Mungkin karena tidak banyak mangsanya.

Setelah darah yang keluar berupa darah merah segar, Jelina mulai merasa kesakitan. Ia mengerang dan terus mengerang. Kinara segera mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah botol kecil yang katanya bernama ampula, lehernya pun dipatahkan. Kinara mengambil jarum suntik dan menyedot cairan yang berada di dalam ampula. Tak lama kemudian ia menyuntikkan cairan itu ke dalam tubuh Jelina. Katanya lagi, itu adalah serum anti racun. Agar memastikan tidak ada lagi racun di tubuh. Kinara kemudian menutup luka itu, membiarkan Jelina untuk beristirahat.

Kuseka peluh yang membanjiri Kinara. Ia tersenyum mengucapkan terimakasih kemudian mencari sesuatu yang lain untuk Jelina. Kinara mengambil beberapa obat dan memberikannya pada Helena.

"Ini obat untuk menghilangkan rasa sakit, pastikan dia juga minum banyak air. Jangan ada air yang mengenai lukanya agar tidak terjadi infeksi. Jika dia demam lagi, kau bisa memberikan obat yang ini."

Helena hanya mengangguk, ia mengucapkan terimakasih pada Kinara. Benar-benar berterimakasih karena telah menyelamatkan Jelina.

Beberapa saat kami habiskan waktu dengan suara lembut Helena yang terus berterimakasih hingga akhirnya Lumine angkat bicara.

"Hm, apa bisa dilanjut? Sepertinya Bon sudah kembali, tadi aku memintanya memantau keadaan."

Dari ujung lain lorong ini, aku memang melihat Bon dengan sebuah lilin. Ia mendekat ke arah kami.

"Di ujung sana aku melihat jalan yang bercabang, dan sudah kucoba satu-satu. Jalan ke kiri buntu dan ke kanan ada pintu tertutup. Aku tidak bisa membukanya."

Semuanya mengerti, kami semua bangkit dari posisi kami. Jelina yang kemudian dipapah Helena dan tersenyum kepada kami.

"Terimakasih telah mengkhawatirkanku. Aku sudah tidak apa-apa."

Kami membalas ucapannya dengan sebuah senyuman kembali. Aku membawa petromaks yang mulai tidak terlalu terang ini dan melangkah perlahan bersama dengan yang lain, hanya saja ada yang membuatku sadar dan menoleh ke belakang.

"Kinara? Kau tidak ikut?"

Ucapanku sukses membuat semuanya berhenti dan menoleh ke belakang. Kinara yang tertinggal di belakang itu menatap jari kakinya sambil menekuk lutut--tidak menatapku yang bertanya padanya. "Aku menunggu Merlein, kalian pergilah. Aku akan menyusul nanti. Tadi, dia sudah terluka. Dia pasti membutuhkan pertolonganku."

"Baiklah, lagipula aku yakin kami tidak akan bisa menghentikanmu," ujar Lumine.

Kami semua serentak menoleh kepada Lumine, dan sedikit heran dengan ucapannya.

"Lagipula benar, kan?"

Kinara yang menatap Lumine hanya dapat tersenyum kaku.

"Benar, aku akan menunggu sampai Merlein kembali. Tidak ada yang bisa menghalangiku," ujarnya.

Aku dan yang lain tak bisa berkata apa pun. Hanya saja, aku masih bisa memberikan lilin cadangan yang kubawa. Setelah meminta izin pada Lumine aku meletakkannya di dekat Kinara dan menyalakannya dengan pemantik Erlya, ia berterima kasih.

Aku pun mengangguk, lalu segera berbalik meninggalkannya. Erlya kemudian menggaet tanganku. Aku pun mengelus rambutnya sembari terus berjalan, menenangkannya kalau mereka akan baik-baik saja dan pasti kembali.

"Ini pintu yang kumaksud."
Bon menunjukkan pintu dengan menyorotkan lilinnya. Pintu itu mengilap karena memantulkan cahaya lilin dan beberapa benda kecil yang terlihat mengilat.

"I-itu, e-emas dan berlian?" Orleya yang berada di belakang Bon dan Lumine, bertanya terbata-bata karena terlihat syok dengan apa yang dilihatnya.

"Itu bukan pintu, itu dinding. Tidak ada celah di sana. Dan lagi itu memang emas tapi hanya sebagai pelapis dinding lain," Lumine mengetuk dinding itu, "mungkin yang dilapisi emas ini adalah dinding logam, suhu dindingnya sedikit hangat," tambahnya lagi.

Mengetahui kalau Lumine benar-benar tahu berbagai hal seperti ini membuatku yakin, kalau Lumine adalah seorang ensiklopedia berjalan! Buku ensiklopedia saja adalah buku pengetahuan mahal yang hanya dapat dipinjam di perpustakaan. Membacanya adalah hal yang tidak mungkin karena biaya sewa pinjam buku itu sekitar enam hari jatah jajanku dulu di sekolah.

"Jangan kau rusak! Ini akan bernilai sangat mahal jika dijual!" Orleya berujar tiba-tiba sembari mendekati dinding itu dan merabanya. Dinding itu dihiasi sesuatu yang berkilat-kilat, katanya itu berlian.

"Pasti ada cara," ujar Orleya lagi. Kali ini ia menempelkan sebelah pipinya ke dinding itu dan menggosoknya pelan.

"Hei kak, aku tahu itu mahal. Namun, aku lebih memilih pantat bayi daripada berlian yang lancip itu, itu akan menggores kulitku," Erlya berbisik padaku. Aku menyuruhnya diam dengan lembut. Aku tidak ingin Orleya mendengar cemoohan Erlya.

"Hei, aku menemukan sesuatu," Lumine berujar sembari menunjukkan sesuatu dibalik dirinya yang berjongkok.

"Tolong, matikan lilin sebentar."

Kami menatap Lumine sejenak kemudian mengangguk. Bon mematikan lilinnya, sedangkan petromaks yang kini dibawa Helena dibawa agak mundur ke belakang. Barulah kemudian kami mendengar sebuah gesekan. Aku dan Erlya pun mendekati Lumine sedangkan yang lain tetap di tempat karena gelap. Aku meraba-raba hingga hampir saja terjungkal dan aku merasa mencium sesuatu. Seperti bau bawang putih yang kurang mengenakkan.

Lumine kemudian memegangiku dan menarik tanganku untuk berjongkok. Erlya yang di belakangku dan masih menarik kausku ikut berjongkok.

"Di bawah lantai batu ini, aku menemukan sumber gas Asetilena- mungkin karena ada kebocoran pipa atau ya alami, tidak ada yang tahu, kupikir juga dapat membuat dinding ini mencair." Terdengar suara gesekan kembali, sepertinya ia sudah menutup lantai batu itu. Lumine kemudian melangkah meninggalkanku, aku tak tahu ia ke mana karena benar-benar gelap. Detik selanjutnya Petromaks yang dibawa Helena dinyalakan lebih terang dari sebelumnya.

"Jadi, maksudmu kau mau membakar kami hidup-hidup?" Orleya bertanya dengan nada kesal. Ia menatap Lumine tajam.

"Kau tahu, sebenarnya di sini terpasang sebuah jebakan. Karena aku menemukan sensor panas ruang di sini. Dan sensor ini akan menggerakkan pelat tebal yang entah dari logam apa dan tahan api. Pelat itu keluar dari sini."

Lumine menunjuk dinding lorong ini, lorong yang dindingnya dari batu tetapi yang sudah tidak tajam lagi. Ia kemudian menguliti lumut-lumut hijau yang menempel di dinding.

Dari situ kami tahu itu adalah sensor panas yang dimaksud. Kemudian ia juga menunjukkan celah sempit yang mungkin akan mengeluarkan pelat logam.

"Dan ada sensor gerak untuk menyemburkan api yang mana akan menggerakkan sensor panas, tetapi sepertinya sedang tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena usia."

"Lalu? Bukankah itu artinya sia-sia saja semua kegunaan sensor itu?"

Entah mengapa aku ikut kesal dengan penjelasan Lumine yang dipotong-potong.

"Tidak Triste. Kita tak memerlukan sensor gerak, kita hanya memerlukan kebocoran gas ini dan sensor panas."

Dari yang kutangkap sebenarnya ini adalah lorong jebakan. Seseorang yang bergerak mendekati dinding emas itu akan terbakar oleh semburan api yang masih tidak kuketahui akan muncul darimana--walaupun katanya sudah tidak aktif--akan dikurung juga di sini oleh pelat logam yang muncul dari celah. Lalu Lumine juga menemukan kebocoran gas Asetilena, yang mungkin sangat berbahaya jika kontak dengan api. Makanya ia meminta lilin dimatikan.

"Jadi, kita hanya perlu mengaktifkan sensor panas dan membuka lantai tadi agar gas asetilena keluar untuk membakar serta mencairkan dinding ini?" deduksiku.
Lumine kemudian menyentuh celah yang dimungkinkan keluar pelat besi pelindung atau juga pengurung itu.

"Ya, benar Triste. Gas asetilena ini jika dibakar akan menghasilkan nyala api dengan suhu tinggi dan akan membuat sensor panas terangsang untuk mengeluarkan ini agar menutup lalu kita berlindung di luar, dan kupikir sensor ini juga otomatis membuka ketika sudah dingin."

Kali ini Lumine menyentuh sensor panas itu setelah menyentuh celah itu.

Semuanya memberi tepuk tangan, termasuk aku. Bagaimana dia bisa mengetahui semua ini?

"Aku mengetahui semua ini karena leluhurku adalah sahabat dari kedua penyelamat ini. Sekaligus pencipta benda ini."

Semua menganga tak percaya, termasuk aku. Dia orang yang benar-benar hebat.

"Ayahku, yang mengajari dan memberikanku buku dari leluhurku yang telah ia tambahkan. Walaupun kini ayahku sudah tiada."

Lumine melirik Bon, tatapannya terlihat sangat menusuk. Aku menjadi penasaran dengan apa yang terjadi diantara Bon dan Lumine.

"Kau bilang, kau akan melelehkannya? Kau sungguh keterlaluan! Seenaknya berkata seperti itu! Kita bisa saja menjualnya dan itu cukup untuk hidup kita selama bertahun-tahun! Bahkan aku yakin, Velothia tidak akan memberi kita nilai yang cukup dengan emas ini!"

Orleya mulai menangis sesegukan, dan kemudian terdiam tiba-tiba. Ia kemudian berlari ke arah Lumine. Lumine dengan tenang menatapnya. Tahu-tahu, Orleya membawa sebuah belati dan akan menerjangkannya ke arah Lumine.

"Argh!"

Orleya memekik ketika tangannya dikunci oleh Bon. "Lepaskan aku Bon! Lepaskan! Aku harus membunuh wanita licik ini agar keluargaku di wilayah gelap tetap hidup! Lepaskan!" Orleya meronta terus, tetapi pegangan Bon terlalu kuat. Ia tidak dapat berkutik.

"Kau bisa membuatnya diam, bukan?"
Aku melihat wajah datar Lumine. Dia benar-benar mengerikan. Ia berkata demikian seperti sedang memerintah bawahannya, yakni Bon.

"Kau keterlaluan Bon! Kau hanya diperbudak olehnya karena rasa bersalahmu! Lepaskan aku!"
Mendengar pekikan diiringi tangisan Orleya membuat hatiku terasa pilu.

Orleya yang menyebut keluarganya di wilayah gelap, membuatku merasa simpati padanya. Aku juga akan melakukan hal apapun untuk membuat keluargaku bertahan hidup, seperti yang ia lakukan jika kondisinya buruk.

Orleya pingsan setelah dipukul Bon, ia kemudian dibawa menyingkir. Aku meminta Erlya menemaninya di luar daerah celah yang katanya akan mengeluarkan pelat logam. Helena dan Jelina juga berada di dekat mereka.

Kuhampiri Lumine yang masih terdiam menatap dinding emas yang memantulkan dirinya. Aku ingin bertanya sesuatu yang mengganjal di pikiranku.

"Apakah gas ini cukup untuk melelehkan seluruh dinding? Jika dinding terlalu tebal bagaimana? Bukankah itu takkan berhasil?"

Lumine kemudian menatapku. "Kau lihat logam putih yang melapisi ujung puncak dinding ini, bukan?" Lumine menunjuknya, aku mengerti apa yang ia maksud. Logam itu melapisi dari puncak dinding.

"Itu, adalah alat pembuat emas. Aku tidak menyangka ada alat itu di sini. Alat itu akan membuat dan terus membuat emas dinding setelah dilelehkan. Namun, durasi pembuatannya akan berlangsung cukup lama, dan aku yakin di laboratorium terdapat pengaturnya. Jadi, itu tidak masalah untuk kita," Lumine berkata sembari menyentuh bayangannya di dinding emas. Aku tidak tahu apa yang tengah dipikirkannya setelah mengatakan itu dan terdiam cukup lama.

"Di tempat ini hanya kau, Orleya dan Erlya yang sudah belajar belati bukan? Maukah kau melemparkan lilin ke gas Etilena?"

Jika yang dimaksud Lumine adalah memiliki kemampuan melempar belati, aku tidak terlalu bisa. Yang kubisa adalah menerjang dengan belati. Namun, jika aku tak melakukannya sepertinya, aku yakin Lumine yang akan memaksa adik kecilku Erlya, melakukannya. Aku tidak mau itu.

"Aku sudah mencoba melempar belati di ruang latihan. Walaupun hasilnya tidak buruk tetapi lilin dan belati beda bukan? Yah-" aku sedikit ragu-ragu mengatakannya hanya saja tiba-tiba Lumine memotong pembicaraanku.

"Jadi, kau ingin adikmu saja? Baiklah. Er-" segera kubekap mulutnya.

"Akan aku lakukan! Aku akan melakukannya!"

Kulepaskan bekapanku dan Lumine kemudian tersenyum seolah mengatakan, baiklah semoga kau tidak mati.

Aku hanya menatapnya dalam diam. Lumine melangkah ke arah lantai tempat gas etilena keluar, lalu membuka lantainya dan kemudian pergi ke luar daerah celah.
Bon yang berada di sampingku memberikan lilinnya padaku.

"Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Lumine. Padahal kau adalah aset penting. Namun, tenanglah. Aku akan berada di sampingmu. Jika ada yang terjadi, aku akan melemparmu ke garis aman."

Kuterima lilin itu, entah mengapa ucapannya membuat mataku berair dan hatiku menjadi merasa sedikit aman.

"Terimakasih, Bon." Akhirnya ucapan terimakasihku secara tulus meluncur dari bibirku. Ya, memang seharusnya aku mengucapkan ini. Bahkan, seharusnya sejak awal. Saat kudengar ia memilih untuk tidak membunuh adikku padahal ia diharuskan membunuh seluruh keluargaku.

Tbc~
A/N
1950 kata yeah~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro