🌙 Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bon berada di dekatku. Lumine dan yang lain berada di belakang celah kecil yang membatasiku dengan mereka. Aku memikirkan beberapa konsekuensi sebelum menyalakan dan melemparkan lilin ke lubang.

Yang akan terjadi padaku: Jika sensor panas hidup, aku dan Bon tidak berhasil berlari. Maka hanya kami yang akan tewas.

Jika sensor panas hidup, aku dan Bon berhasil berlari. Maka kami semua hidup.

Dan jika sensor panas mati, walaupun aku dan Bon berhasil berlari atau tidak. Kami semua akan mati.

Aku tidak tahu mengapa Lumine sangat yakin sensor panas akan menyala padahal sensor gerak saja tidak menyala. Ah, tapi kalau dipikir lagi mungkin sensor gerak tidak bisa menyala karena pipa gasnya bocor. Terlebih jika sekali menyala akan melelehkan lapisan emasnya walaupun tidak sampai dinding besi selanjutnya.

Aku memegang lilin di tangan kananku dan pemantik di kiriku. Kutatap sejenak Bon, ia mengangguk. Aku pun menatap kembali target posisi yang harus kulempar. Kunyalakan pemantik melemparnya, kemudian berlari. Aku hanya berharap satu hal.

Boom

Aku berhasil memeluk Lumine yang berada di luar celah. Tak lama kemudian menoleh ke belakang, aku melihat Bon juga tengah berlari--bagaimana ia bisa berada di belakangku sedangkan ia tadi berada di dekat daerah aman, sisa beberapa detik sebelum pelat logam yang berkarat itu menutup semua. Ia terjatuh dan ...

"Argh!" Bon memekik kesakitan.

Ia memegangi kaki kirinya yang dapat ia angkat. Darah berceceran. Pergelangan kakinya putus!

"Bon!"
Kudatangi ia, Bon merintih sembari berguling ke kanan dan kiri walaupun tak sampai membalikkan tubuh.

Aku membantu Bon duduk, ia terus merintih. Aku melihatnya ngilu. "Apa kita harus kembali ke Kinara?" tanyaku pada Lumine. Entah mengapa bertanya pada Lumine mengenai suatu keputusan kurasa tepat.

Tak berlangsung lama pelat logam pelindung kami itu mulai bergerak terbuka, sepertinya semua pipa gas yang meledak dan tertahan di situ sudah mendingin. Walaupun aku sedikit heran seharusnya jika pipa-pipa itu tersambung ke daerah lain maka banyak yang akan ikut meledak. Namun, nyatanya hanya tempat itu saja. Aneh memang. Namun, mengingat kecanggihan leluhurku yang berasal dari bumi. Mungkin itu bisa saja.

Daerah yang meledak tadi masih hangat walaupun sudah tidak terlalu panas. Dinding yang membatasi kami pun sudah menghilang.

"Hebat! 3000 derajat dalam waktu beberapa menit saja sudah tidak panas sekali. Bagaimana cara mereka melakukannya?" Lumine berujar seraya mendatangi dan memegangi celah. "Oh, mereka juga menyemprotkan suatu cairan setelahnya, pantas saja."

Aku tidak memedulikan Lumine yang terus mengoceh dan menerka-nerka. Rahangku terbuka dan menatap apa yang berada dibalik dinding yang telah menghilang itu.

Sebuah ruangan besar, bercahaya dengan sesuatu yang banyak kilaunya. Orleya yang mungkin terbangun dengan ledakan tadi beralih ke arah sana.  Namun, cengkeraman seseorang yang kuat di pergelangan tanganku membuatku meringis, menyadarkanku sesaat. Bon mencengkeramnya untuk menahan sakit. Ia menahannya dari tadi.

Aku melirik Lumine yang masih sibuk mengamati bagaimana ini dan itu terjadi. Sesuatu yang katanya tidak ada di buku hebatnya.

Aku pikir, aku tidak bisa meminta keputusan Lumine. Maka aku yang akan memutuskannya.

"Erlya, temani Helena-Jelina beristirahat di ruangan itu, sepertinya aman. Awasi Orleya dan kalau bisa kau juga membawa Lumine masuk. Kita tidak tahu kapan dinding itu terbentuk lagi."

Dengan ragu-ragu aku melihat Erlya mengangguk. Wajahnya tersirat ketakutan saat diserahi tanggung jawab seperti ini.

"Jangan takut, aku akan segera kembali. Lagipula tidak ada orang lain lagi yang dapat diserahi hal demikian mengingat tim kita seperti ini."

Kuelus puncak kepala Erlya. Kemudian beralih menatap Bon yang terkadang sesekali mengerang duduk di bawah. Kupegangi ia erat, kuajak berdiri, dan kupapah perlahan. Aku harus cepat agar ia tidak banyak kehilangan darah. Ah, benar! Aku bisa mencegahnya dengan menekannya.

Sayangnya, aku tak menemukan kain atau apapun yang bisa kusobek. Kaus yang kukenakan pun juga tak akan cukup untuk membalut kaki Bon, terkecuali aku melepasnya.

Bodoh. Aku tidak bisa melakukannya. Dengan sekuat tenaga, aku berjalan cepat memapah Bon. Entah kenapa, aku merasa—atau memang—dia semakin lemas.

"Beberapa hari yang lalu, aku yang memapahmu. Sekarang, kau jadi memapahku."

Kulirik Bon, ia tersenyum pucat padaku. Sebelum benar-bebar pingsan ia sempat mengucapkan terimakasih. Kemudian ambruk ke samping tubuhku.

"Bon! Sadarlah! Akh, sial!"

Wajah Bon sangat pucat dan tubuhnya lemas. Jika saja ia lari lebih cepat dariku. Jika saja Kinara ikut kami. Jika saja tubuhnya lebih ringan pasti aku gendong.

...

Aku terdiam, Bon sudah pingsan. Tidak ada pilihan lain untukku selain menggendongnya.

Kugendong ia di punggung. Menurutku laki-laki itu selalu berat daripada wanita. Namun, ketika aku menggendong Bon. Aku menyadari ia tidak seberat yang kubayangkan. Apa sebenarnya ia kurus dan tubuhnya yang terlihat besar karena tertutup pelindung baja?

Entahlah, yang jelas aku harus segera membawanya. Kunyalakan lilin karena lorong ini sudah mulai menggelap akibat dari diriku yang mulai menjauhi ruangan tempat yang lain beristirahat--listrik ruangan beristirahat itu menyala.

Aku berjalan dan berjalan, membawa Bon dan hingga akhirnya aku sampai di Kinara. Keadaan Kinara masih sama seperti tadi, menekuk lutut dan menyembunyikan wajahnya.

"Kinara!" panggilku.

Ia mengangkat wajahnya dan mungkin melihat wajahku yang merebak akan menangis.

"Selamatkan Bon," ujarku.

Kinara langsung bangkit berdiri. Kemudian membantuku menaruh Bon duduk bersandar di dinding.

"Dia kehabisan banyak darah."

Aku dengan cepat mengatakan rangkuman kejadiannya. Setelah itu kulihat Kinara menyiram air pada kaki Bon yang terpotong. Aku tidak sanggup melihatnya kubalikkan tubuhku.

"Kemana kakinya? Jika kita sudah keluar dari sini. Itu bisa disambungkan kembali."

Dengan terbata-bata, aku hanya bisa menjawab kalau kakinya mungkin sudah hangus dan menjadi debu pada ledakan tadi. Setelah itu Kinara terdiam dan tidak bertanya lagi, yang kutahu dia sedang merawat Bon. Aku tidak berani menengoknya.

"Aku sudah melakukan beberapa pertolongan pertama dan juga sudah kuperban. Tapi tetap saja alatku tidak terlalu memadai sehingga resiko dia terinfeksi sangat besar. Setelah keluar dari sini kau harus ke rumah sakit dan menemui Velothia."

Aku kemudian menengok ke belakang, sudah melihat kaki Bon tertutup perban dan darah sedikit merembes dari sana. Kinara kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Sebenarnya kita hanya perlu menunggu ia sadar sendiri, tetapi waktu tidak memungkinkan. Jadi kita perlu bangunkan dia dan beri ia ransum instan dan minuman elektrolit ini. Ini cukup mahal tapi memang diperlukan jika kondisinya sudah buruk."

Aku mengangguk, Kinara bangkit dari sisi Bon dan mencoba membersihkan kasa dan alat-alatnya yang kemudian ia masukkan ke dalam tas.

Kugoyangkan tubuh Bon beberapa kali, tetapi tak kunjung mendapatkan respon. Aku pun menoleh pada Kinara dan Kinara menangkap respon kebingunganku.

"Itu lumrah, coba kau beri ia sesuatu yang sedikit menyakitkan atau hal di luar dugaan mengingat dia punya trauma sakit luarbiasa."

Yang terpikirkan di kepalaku adalah mencubit, menampar dan menggigit.

Kucubit bahu dan kutampar wajahnya tetapi ia tak merespon. Melihat bahu dan wajahnya memerah membuatku tak tega untuk menggigitnya.

Aku mencoba memikirkan hal yang tidak biasa dengan menggigit.

"Mungkin kau bisa mencobanya di bagian sensitif," ujar Kinara yang sepertinya sedang sibuk menata tasnya dengan penerangan lilin.

Aku memikirkan suatu cara, cara itu melintas begitu saja. Dengan ragu-ragu, kudekatkan wajahku padanya. Aku dapat merasan deru napasnya yang stabil. Kupejamkan mata karena aku tidak sanggup menyaksikan tindakan konyol ini.

Sembari menutup mata, kugigit ujung hidungnya. Tiba-tiba aku merasakan sentakan. Kubuka mata dan Bon tengah menatap ke arahku. Dalam hitungan sepersekian detik aku melepaskannya dan menjauh sejauh mungkin darinya. Wajahku memerah. Ia tengah menatapku. Kuintip dia dari sela-sela jari tanganku yang menutupi wajah. Wajahnya juga memerah seperti terbakar. Aku tidak tahu ia malu atau kesakitan karena kugigit ujung hidungnya.

"Dia tadi mencoba membangunkanmu. Mungkin kakimu masih sakit tapi cobalah makan ransum ini sendiri. Aku tahu kalian sedang malu. Namun, di saat seperti ini aku mohon mengertilah."

Kinara menunjukkan ransum yang tergeletak di dekat Bon. Aku ingin menyuapinya karena aku tak tega ia kesakitan seperti itu. Namun, aku tidak sanggup menatap wajahnya, ini memalukan. Terlebih itu tadi seperti ciuman pertamaku dan kuberikan untuk menolong lelaki yang terpaksa memerintahkan membunuh orangtuaku.

Walaupun dia melakukannya karena terpaksa. Tapi tetap saja bukan?

Ini ... Hal menyedihkan.

Tbc~

A/N
{1273}
Awalnya mereka kissing, tetapi saya merasa itu tidak masuk akal. dan konsultasi dengan chat gpt membuat saya sadar betapa alay dan unlogicnya yang dipaksakan pada bagian ini :( otw rewrite ahahaha dan yang paling masuk akal yang sebenernya juga enggak adalah gigit hidung!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro