🌙 Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi ..., aku akan buntung seperti ini selamanya?"

Tidak ada yang menjawab, karena pertanyaan Bon dijawab dengan dentingan sendok ransumnya sendiri. Aku dan Kinara hanya mampu terdiam. Namun semakin lama dentingan kekesalan sendok Bon membuat Kinara risih.

"Iya, kau akan seperti ini selamanya terkecuali potongan kakimu ditemukan!"

Hatiku terasa menciut. Bila memikirkan keadaannya sekarang ... Bagaimana Bon kedepannya? Ia seorang kepala pengawal. Kehilangan salah satu ujung kaki sebagai keseimbangan tubuh bagi seorang prajurit terasa seperti kehilangan jati diri bukan?

"Bon, kau berada di belakangku bukan? Lalu mengapa kau bisa tertinggal setelah aku berlari?"

Bon terdiam sesaat kemudian baru menjawab, "aku pikir aku berbeda dari orangtuaku, seperti yang pamanku tekankan. Tapi rasanya sama saja. Aku tetap melakukan itu. Saat melihatmu dari belakangaku menyadari itu."

Jadi, dia memikirkanku? Di saat yang seperti itu? Memangnya apa yang dia pikirkan sampai seperti itu?

Tapi tetap saja dia melamun memikirkan sesuatu sampai tidak fokus seperti itu berbahaya. Rasa simpatiku padanya sedikit berkurang.

"Bon, jika kau sudah makan. Ayo kita pergi. Akan aku papah."

Bon menatapku cukup lama. Entah kenapa beberapa saat yang lalu itu membuatku risih dan canggung tetapi sudah tidak terlalu sekarang. Mungkin akibat dari rasa kecewaku yang sedikit timbul padahal aku baru saja melihat hal positif darinya.

"Triste, bantu aku membuat tongkat dari bidai ini. Ini memudahkannya berjalan."

Aku mengangguk menghampiri Kinara, membantunya mengikat untuk menyatukan bidai panjang dan beberapa bidai kecil. Hingga jadilah tongkat dari Bidai. Walaupun cukup berat tapi setidaknya tongkat itu bisa menopang Bon. Aku dan Kinara sudah bekerja keras menyatukan bidai-bidai dengan rapat.

Kulirik Bon juga sudah selesai makan. Ia menaruh sisa ransum yang tidak ia makan di samping tubuhnya. Aku menatapnya lagi, rasa kecewaku juga bertambah 0,1%

Kalian tahu, ransum instan yang biasa dimakan oleh para pengawal yang rasanya sangat tidak enak, merupakan salah satu makanan mahal yang tidak bisa kubeli. Makanan ini sangat mahal karena nutrisinya.

Aku hanya bisa menelan bulat-bulat rasa kecewaku. Rasa kecewa itu kupikir akan larut dengan sendirinya. Karena tetap bagaimana pun juga aku berhutang budi padanya yang masih membiarkan Erlya hidup.

Bon berdiri dengan bantuan bidai kayu yang disambungkan. Sedikit susah bergerak karena bidainya berat tapi kata Bon ia akan membuatnya menjadi terbiasa. Aku berterimakasih pada Kinara dan membujuknya untuk ikut kami. Namun, Kinara tetap tak ingin.

"Aku tidak akan pergi, biarkan aku menunggu suamiku!" bentaknya.

Aku hanya bisa mengangguk dengan pasrah. Dengan gontai aku mengajak Bon pergi. Namun, Kinara memintaku berhenti. Ia kemudian menyodorkan tasnya kepadaku setelah mengeluarkan beberapa hal.

"Yang kubawa sekarang sudah cukup untuk pertolongan pertama Merlein. Bawa sajalah ini. Mungkin kalian lebih perlu. Lagipula kuyakin Lumine masih mengetahui sedikit ilmu kedokteran."

Bibirku tentunya tak dapat membohongi perasaanku. Aku tersenyum berterimakasih dan sangat berterimakasih padanya.

"Terimakasih Kinara. Terimakasih."

Kinara membalas rasa terimakasihku dengan kecupan di kening.

"Maaf kekasaranku barusan, aku benar-benar mencintai Merlein. Kau tahu kan. Rasa cinta dapat membutakan seseorang," bisiknya.

Selain itu dia juga sedikit menggerutu mengenai penyesalannya tidak membawa obat mujarab Velothia yang bisa menyembuhkan luka dalam.

Aku hanya menatap bingung maksud dari Kinara sebelum menggerutu. Ia kemudian cepat-cepat menyuruhku berbalik dan pergi. Aku pun hanya bisa melambaikan tangan dan membantu Bon yang masih sedikit kesusahan berjalan dengan tongkat bidai yang suatu saat dapat copot satu-satu.

Kami pun berjalan dalam keheningan. Aku melirik Bon sesaat. Wajahnya memerah itu membuatku sedikit khawatir. "Bon, apakah kau baik-baik saja?" Aku khawatir ia demam.

Bon menoleh kepadaku sesaat, lalu kembali memalingkan wajah sembari menutupi wajahnya dengan tangan kanan. Hanya ada langkah kami yang benar-benar lambat. Mengingat Bon yang tidak bisa berjalan cepat.

"Mengapa kau berpikir begitu?"

Pertanyaan ini akhirnya kuungkapkan ketika ia berjalan dengan muka merah seperti itu. Itu memicu rasa penasaranku sekaligus upayaku mendekati untuk mengecek apakah ia demam.

"Aku melihat bahu kecilmu. Kau yang semuda itu menjalani hal berat seperti ini. Aku kagum sekaligus merasa bersalah."

"Triste...," panggilnya dengan nada lembut. Aku tidak suka itu. Ini terasa seperti membuatku lemah.

"Bon, kita sudahi saja perbincangan tidak ada gunanya ini. Kita harus segera ke sana. Sudah berapa lama waktu berlalu? Yang lain sudah menunggu kita."

Aku mencoba menarik tongkat dan memapahnya. Kupikir akan lebih cepat dipapah. Awalnya kupikir ia akan menolak tetapi aku tak menyangka Bon hanya diam menurutiku. Untunglah aku tidak perlu berdebat lagi dengannya. Itu sungguh mengesalkan.

Tak terasa kami sudah tiba di ruangan besar yang dindingnya sudah kami cairkan. Kuintip langit-langit tempat dinding emas itu muncul, sepertinya akan membentuk dinding baru lagi. Kupikir itu tidak akan masalah karena masih akan sempat dihentikan bila kami sudah mencapai laboratorium.

Kuedarkan pandangan. Ada perhiasan emas dan berlian yang menggunung dan emas murni batangan yang menggunung di sisi lainnya. Erlya dan Orleya tengah duduk di lantai dan mengobrol sembari mencoba beberapa perhiasan.

"Hei kak, mungkin kau bisa mencoba ini. Kulitmu terlihat cocok dengan kalung ini. Ini cantik." Erlya menyodorkan sebuah kalung dengan liontin berlian yang ditata hingga membentuk bunga kecil. Untuk melihatnya aku harus mendudukkan Bon di sekitar kami.

Lalu kuambil kalung itu, dan mencobanya. Benar apa kata Erlya itu sangatlah cantik.

"Terimakasih, Erlya. Kau benar. Ah, ngomong-ngomong kemana yang lain? Aku hanya melihat kalian," ujarku seraya melepaskan kalung dan mengembalikannya pada Erlya.

"Kak, mengapa kau melepasnya? Itu untukmu. Kak Lumine ke ujung depan sana dan Helena-Jelina ke sebelah sana."

Aku melihat arah yang ditunjuk Erlya. Pintu yang dimasuki Lumine itu kayu dan pintu yang dimasuki Helena - Jelina berwarna perak.

Erlya datang menghampiriku sembari memasangkan kalung pemberiannya di leherku. Mau tak mau aku harus menerimanya.

"Apakah kalian boleh mengambil sesuatu dari sini?" tanya Bon tiba-tiba.

Orleya yang sedari tadi fokus mencoba ini dan itu menoleh pada Bon.

"Lumine bilang, kita boleh mengambilnya. Ada petunjuknya. Lagipula aku akan mengambil secukupnya kok."

Orleya menunjuk sebuah plakat yang menempel di dinding dekat kami. Aku menghampiri plakat yang terbuat dari emas itu. Terukir tulisan di atasnya.

"Ambilah sesukamu," kubaca kalimat pertama.
"Ada banyak jalan masuk, tapi hanya ada satu jalan keluar." pada kalimat terakhir.

Aku tak mengerti maksudnya. Kutoleh Orleya, dengan harapan ia akan menjelaskannya.

"Lumine tidak berkomentar apa-apa mengenai itu, kupikir itu mengenai pintu-pintu ruangan ini." Orleya menjelaskan sembari menunjuk tiga pintu di tempat ini. Aku hanya bisa mengangguk. Mungkin saja yang dikatakan Orleya ini benar.

Tak berlangsung lama dalam keheningan, Helena dan Jelina datang. Kulihat Jelina sudah cukup sehat untuk berjalan sendiri. Mereka pun mendatangi kami. "Di sana ada jalan, tapi benar-benar penuh jebakan. Aku sudah mengeceknya," ujar Jelina, "ya, jika kita melewatinya kita harus siap untuk berlari dan menghindar sebisa mungkin," tambah Helena.

Tambahan Helena membuatku menoleh pada Bon. Bon yang mendengar penuturan Helena menatap seolah tak percaya pada mereka. Aku mengerti perasaannya saat ini.

"Kita hanya perlu menunggu Lumine. Biarkan dia yang memutuskannya saja." Semua mengangguk setuju, kami hanya perlu menunggu Lumine kembali.

"Kita akan pergi setelah aku berbicara dengan Triste, aku ingin kau ikut aku sebentar." Lumine tiba-tiba muncul dari pintu kayu, sepertinya ia sempat mengikuti pembicaraan kami sebelumnya. Ia kemudian berjalan menuju ke arahku dan menarikku. Aku menurutinya saja ketika ia mengajakku masuk ke dalam pintu cokelat. Di dalamnya sangat gelap, untungnya Lumine membawa petromaks. Aku dituntun Lumine ke ujung lorong ini yang merupakan pertigaan. Di sana sebuah tengkorak berpakaian tengah bersandar di dinding.

Lumine mendatangi tengkorak itu dan mengambil sesuatu dari balik pakaiannya. Aku menghampirinya ingin melihat apa yang hendak ia tunjukan kepadaku.

"Triste, ini kau dan ibumu bukan?"

Ada sebuah liontin yang dibaliknya terdapat foto kecil, itu foto ibuku dan aku saat berusia satu tahun. Foto itu persis seperti milik ibu dan aku di rumah. Milik ibu ditaruh di dompetnya, dan untuk milikku berada di dalam kalung yang kutinggal di rumah. Aku bertanya-tanya siapa tengkorak ini. Aku teringat kata Ibu kalau foto ini diduplikasi tiga kali. Satu untukku, satu milik ibu dan satu lagi milik ...,

Ayah kandungku yang hilang 15 tahun yang lalu.

Tbc~

[A/N]
1337 kata
Tidak banyak yang ingin aku sampaikan di sini. Seperti biasanya kalian dapat mengomentari plothole, kalimat tidak enak dll. Selain itu, mungkin ada yang menemukan kalau aku salah sebut. Seperti Helena jadi Helina. 😂😂
Terimakasih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro