🌙 Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terik Eguzkiaviale menerobos di sela-sela jari ketika menutupi wajahku dari terpaannya. Benar-benar panas dan terang. Walaupun Eguzkiavile tidak diketahui rupanya, lingkaran atau kotak, cahayanya itu memenuhi langit pulau cahaya ini.

Terpaan debu kadang memenuhi pernapasanku hingga membuatku terbatuk berulangkali. Hal itu menimbulkan rasa nyeri di perut yang terkadang muncul. Ya, luka di perutku sudah lumayan sembuh walaupun tidak seperti yang dikatakan Velothia kalau hari ini akan sembuh total.

"Kau tak apa kak? Mau istirahat?" tanya Erlya yang terus menggandeng tanganku di samping. Aku hanya tersenyum dan mengatakan baik-baik saja.

Saat ini kami sedang berada di luar istana, lebih tepatnya di suatu kota cahaya yang bernama Ereli.

Bon sebenarnya yang bertugas mengantar kami berkeliling, tetapi aku mengusirnya pergi. Ia pun kemudian memberi kami 200 Qutam untuk berbelanja.

"Kak apa perlu kita memanggil, Bon?" tanya Erlya di sela-sela langkah kami menelusuri kota ini, hendak ke pasarnya.

Aku berhenti melangkah menatap Erlya sambil menyilangkan tangan.

"Tidak! Kau sudah lupa dia yang memerintahkan memenggal ayah dan ibu?"

Erlya menatapku sejenak baru berbicara, "dia hanyalah kepala pengawal bukan? Yang memerintahkannya Raja."

Aku tahu itu, tapi aku tetap membencinya. Sifat baik hatinya pun aku tahu itu hanyalah topeng!

"Kakak tidak mempercayainya?"
Aku membenarkan itu dan terus mengajak Erlya masuk ke pasar tanpa membiarkannya berceloteh lagi.

Aku berhenti di sebuah kios yang menjual senjata, lalu mengajak masuk Erlya. Ada meja belati dan itu membuatku tertarik untuk melihat-lihat jejerannya yang dilindungi oleh kaca. Mataku kemudian tertuju ke salah satu belati.

Penjual kios berjanggut tebal yang sedari tadi berdiri di dekat meja kasir itu menangkap apa yang kuinginkan. Ia kemudian menghampiri kami yang berada tidak jauh dari meja kasir.

"Pilihan yang bagus nak. Belati itu belati Stiletto, mata pisaunya ramping, Bentuknya yang sederhana menjadikannya mudah disembunyikan. Model itu dulu terkenal di bumi. Hanya 120 Qutam."

Aku mengernyit, hanya 120 Qutam? Padahal aku ingin membeli dua. Modelnya yang ramping kupikir sangat cocok untuk melawan saat aku atau pun Erlya sedang terdesak. Siapa tahu Bon diam-diam berniat melenyapkan kami.

"Kalian berasal darimana? Dari tingkahmu seperti dari gelap, tapi pakaianmu...."

Aku melirik pakaianku dan Erlya. Sepertinya pakaian Erlya-lah penyebabnya. Ia mengenakan dress hijau dari katun yang cukup mahal, seperti milik kebanyakan penduduk yang kulihat di sini.

"Baiklah, 120 Qutam untuk dua buah belati Stilletto."

Bapak itu berujar dengan senyuman yang terus terpasang di wajah. Ia kemudian melangkah pergi ke dalam gudangnya untuk mengambil belati pesanan kami. Aku sengaja membeli belati sekadar berjaga-jaga. Aku ingin Erlya bisa menjaga diri ketika aku menjalankan misi nanti.

Bapak paruh baya itu kembali membawa dua belati bersama sarungnya. Kuserahkan seluruh uangku.

"Hei, tapi kau hanya perlu membayar 120 keping Qutam."

Aku hanya mengambil belati dan berbalik pergi sembari mengajak Erlya.

Bapak bertubuh agak gempal itu hendak menghentikanku tetapi berujung tidak jadi. Ia membiarkanku dan Erlya pergi. Bukan pergi kembali ke istana. Namun, ke suatu tempat yang ingin kukunjungi.

Menyusuri jalanan kota sempit, berbelok ke pertigaan dan berjalan lurus hingga mencapai pinggiran kota ini. Pantai, ya pantai. Kota ini memang paling dekat dengan pantai, juga merupakan tempat yang paling mudah diakses dari istana ke wilayah gelap.

Kupanjat dinding kayu pekarangan seseorang yang berbatasan langsung dengan pantai. Kutarik Erlya, aku merasa sebal dengan dressnya yang mencolok dan merepotkan.

"Bisakah lain kali kau menggunakan pakaian seperti biasanya? Sekali pun memang banyak yang mengenakan pakaian seperti ini di sini, tapi kau tahu itu terlalu merepotkan kan."

Dia terlihat sedikit memprotes. Namun, memilih untuk tutup mulut ketika melihat raut mukaku yang kesal.

Kami memutuskan untuk duduk di pinggiran pantai. Pantai ini berbatasan dengan laut bebas dan laut yang membatasi dengan wilayah gelap.

Dari sini kau tahu perbedaan mencoloknya, hanya wilayah ini yang terkena cahaya Eguzkiavile. Dan laut wilayah gelap terlihat seperti malam hari.

Perbatasan dijaga ketat oleh para pengawal. Terutama dermaga kapal yang berada tak jauh dari tempatku duduk. Katanya hanya orang-orang tertentu yang bisa lewat. Orang-orang yang cukup kaya untuk menyogok pengawal dan orang-orang yang menarik perhatian pemerintah-seperti jenius, berbakat, atau pun orang yang bermasalah.

"Kau tahu, Erlya. Aku benci mereka. Kemunafikan mereka membuatku muak. Sayangnya, aku tidak ada pilihan lain selain patuh. Ditambah dulu aku sangat memuja mereka. Menyedihkan bukan?"

Erlya menatapku kemudian menyentuh punggung tanganku dan menggenggamnya.

"Aku tahu apa yang mereka perbuat pada keluarga kita. Namun, bukankah kita hanya perlu menikmati kemunafikan mereka kak? Bermain dalam sandiwara. Bukankah itu menyenangkan?"

Aku menoleh menatap manik mata hijau cerah miliknya. "Menurutmu begitu?"

Dia mengangguk mantap. Aku hanya tercengang dengan jawaban Erlya. Semakin hari, aku menyadari kalau adik tiriku ini tidak seperti yang kukenal. Bukan adik tiriku yang polos.

"Hei."
Seseorang berseru, membuat kami menoleh. Bon tengah berlari ke arah kami. Tidak terlalu cepat, hanya sekadar berlari.

"Kita harus kembali. Nyonya Velothia menginginkan kau hari ini berangkat."

Aku menatap Bon tak percaya, pandanganku mengarah pada Erlya. Erlya juga tengah menatapku.

"Hari ini?" tanyaku pada Bon.

*

Ruangan besar dan gelap dengan cahaya penglihatan yang minim. Bau oli dan segala hal khas bengkel menyeruak memenuhi indra penciuman. Di sana ada beberapa orang yang tengah berlatih atau pun yang sedang mengobrol

Aku dan Erlya digiring Bon memasuki ruangan di bawah tanah ini. Kami menuruni tangga dengan hati-hati. Kupegangi tangan Erlya. Tangannya dingin, dia ketakutan.

Padahal beberapa waktu yang lalu ia memaksa untuk ikut, setelah mendengar mungkin saja ada peti harta karun di labirin itu dan hadiah besar yang akan kami dapatkan jika berhasil menyelesaikan labirin ini sekaligus mendapatkan informasinya.

Konklusi pemikiranku mengatakan, Erlya sangat berbeda dari Erlya yang kukenal beberapa tahun belakangan. Erlya saat ini lebih cenderung meledak. Apa kehilangan orangtua benar-benar seberdampak ini pada anak kecil?

Walaupun aku tidak mempermasalahkan itu, bagiku yang penting dia hidup bahagia. Karena hanya dia yang kumiliki. Aku sudah mengiklaskan orangtuaku agar mereka tenang. Hanay balas dendam saja yang belum.

"Kau pasti Triste, bukan?"

Seseorang yang bertubuh kecil dan ramping menghampiri kami. Ia memelukku kemudian melepaskannya dan tersenyum padaku. Hal mencolok darinya adalah rambut merahnya yang dibiarkan terurai nampak kusut.

"Aku Orleya, mohon kerjasamanya," ujarnya sembari menjabat tanganku.

Aku tersenyum padanya. "Aku Triste, dan ini adikku Erlya."

Orleya, wanita yang benar-benar ramah itu menyambut adikku serupa dan bersenda gurau dengannya karena nama mereka mirip.

"Kau tak ingin berkenalan dengan kami?" seorang laki-laki yang bertubuh besar itu tersenyum kepadaku. Seseorang yang menggepit tangan lelaki penyapaku itu menatapku dengan tatapan tak enak.

"Aku Merlein dan ini Kinara, Istriku."

Merlein, lelaki berambut cokelat dengan sebuah hiasan luka di wajah menatapku hangat. Berbeda dengan istrinya, Kinara wanita berambut hitam itu menatapku tak enak. Aku tidak tahu mengapa Kinara seperti itu padaku.

"Tiga anggota lainnya akan menyusul, sekarang kau bisa berlatih dengan mereka untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan berupa jebakan atau monster di misimu."

Aku menggangguk, kugaet tangan Erlya yang sepertinya masih dingin. Kugenggam erat dirinya. Ia menatapku saat berjalan. Kubalas elusan di kepala.

"Jangan takut, aku akan melindungimu."

*

Kami diantar menuju daratan wilayah gelap yang berbatasan dengan laut. Aku tidak menyangka ada sebuah labirin di bawah tanah. Pantas saja pengawal di perbatasan cukup banyak.

"Hati-hati, tangga ini cukup berkarat, dapat hancur kapan saja."

Bon mengkomando untuk hati-hati. Maka aku yang berada paling depan sendiri hanya bisa berjalan pelan-pelan memutari tangga yang memutar ini.

Dua petromaks yang dipinjamkan istana sudah dinyalakan sejak tadi, karena di dalam sudah benar-benar gelap. Sejauh mataku memandang hanya tampak ruangan besar yang kosong. Sesekali aku melihat tikus bercicit atau pun kelelawar yang menggantung di sudut langit-langit.

"Aku menemukan pintu," ujar Lumine, wanita yang kutemui di perpustakaan. Ia diikutkan misi ini oleh Velothia. Ia tidak mengikuti latihan persiapan yang dilakukan tadi.

Kami berdelapan melangkah menuju arah yang ditunjuk Lumine. Dua buah pintu besi berkarat. Ada dua kenop pintu, Merlein mencoba menariknya tetapi tidak berhasil.

"Apakah boleh kuhancurkan? Sepertinya ini mudah," ujar Merlein sembari mengetuk-ngetuk pintu, menguji kekerasannya.

Tiba-tiba kenop pintu itu bercahaya. Ada garis-garis cahaya hijau yang keluar dan menuju ke suatu arah. Sebuah lubang persegi dan ada kaca yang menjadi alas lubang itu juga mengeluarkan cahaya. Perlahan juga, ruangan ini menjadi terang. Lampu-lampu menyala.

"Velothia mengatakan, kalau kita tidak bisa menghancurkan sesuatu di sini terlebih dari luar. Jika hancur, semua data dan listrik tempat ini akan menghilang."

Aku mengangguk-angguk paham. Kecanggihan ini, sudah pasti orang hebat yang menciptakannya. Hanya saja yang membuatku bingung. Bagaimana cara profesor Welde menciptakan listrik di tengah keterbatasan sumber daya?

"Hei, tuan pemimpin sok tahu, apakah kau juga tahu bagaimana cara membuka pintu itu jika kita tidak merusaknya?" Lumine bertanya dengan nada sarkastik pada Bon. Entah mengapa gelagatnya membuatku menduga-duga ada hubungan yang buruk di tim ini.

"I-itu...."

Bon hanya diam tak menjawabnya, ia tidak tahu harus berkata apa.

Lumine mendecih. Lantas ia melangkah mendekati lubang persegi di dinding itu. Ia memasukkan tangan kanannya. Sinar hijau keluar dari kaca itu. Begitu hilang, muncul sebuah gambar dari cahaya yang menampilkan identitas Lumine.

Seperti nama, asal daerah, keturunan dari, akan sangat banyak jika disebutkan karena tulisannya terlalu kecil, bertumpuk dan sulit dibaca keseluruhan.

Semuanya hanya mampu terkesiap dengan apa yang di lakukan lubang persegi itu.

"Dari buku yang kubaca, kalau teknologi nenek moyang kita dari bumi sangatlah maju, seperti ini salah satunya."
Lumine mengucapkan sambil menguncir rambutnya.

Ia kemudian beralih memegang kenop pintu, dan menariknya. Pintu besi berkarat itu berderit, menampilkan sebuah ruangan besar lagi yang gelap.

Kali ini, ada bau menyeruak dari ruangan itu. Bau pesing sekaligus bau busuk yang menyengat.

Lumine merebut petromaksku dan memosisikan sedikit petromaksnya menerangi ruangan itu. Kami menyadari ruangan itu berkali-kali lipat lebih luas dari pada ruangan cahaya ini. Hingga cahaya kuning itu membuat kami menyadari sesuatu yang besar dan bermata merah.

Erlya yang sedari tadi di sampingku merapatkan diri lagi padaku sembari meremas ujung kaosku.

"Itu ..., apa?"

*

A/N
1447 kata. >.<
Ada banyak tokoh yang diperkenalkan di sini. Masih sisa dua orang yang belum saya perkenalkan. Daripada kalian nanti bingung, akan saya perkenalkan secara perlahan nanti. 😣

Okee sekian saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro