🌙 Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Awalnya Erlya melangkah mendekatiku. Lalu mendadak menjadi berlari ke arahku sambil menerjangkan pisau makannya. Walaupun aku masih berhasil menghidarinya.

"Erlya, kumohon maafkan kakakmu ini," ujarku disela-sela menghindarinya.

Ia menyerangku terus hingga berhasil membuatku terhimpit ke tembok. Aku ingin menendangnya, tapi aku tidak tega dan tidak ingin menambah rasa bersalahku padanya.

"Aku akan memaafkanmu jika aku berhasil menusukmu hingga mati."

Erlya kemudian menusuk perutku, kurasakan sakit ketika kulit dan ususku bersentuhan dengan lancipnya ujung pisau.

Aku terjatuh dan ia mencabutnya lagi, ia terlihat ingin mengarahkan ke jantungku. Namun, seseorang menghentikannya disela-sela ketidakberdayaanku.

"Nona!" katanya sebelum aku kehilangan kesadaranku.

*

Perlahan kukerjapkan mata dan membukanya perlahan. Kepalaku sedikit berdenyut, mungkin karena kehilangan darah. Hanya saja bukan kepala yang kupusingkan. Perutku yang terasa nyeri itu yang membuatku meringis kesakitan.

"Kau sudah bangun?"

Kucari asal suara itu, ternyata itu adalah Velothia yang datang dari arah pintu.

Aku hanya mengangguk lemah. Aku sedang tidak ingin membuka mulutku hanya karena pertanyaan kecil seperti itu.

"Aku tahu, kau memang sengaja tidak membela diri." ia berkata sambil duduk di sampingku.

"Kudengar dia memang mempunyai gangguan kejiwaan, bukan?"

Aku memalingkan wajah, tak sanggup menjawab apa yang Velothia katakan. Aku tidak tahu dari mana ia tahu hal itu, yang jelas itu benar, ibu pernah memberitahuku hal itu.

"Yah, aku tidak peduli juga. Hanya saja ..., jangan harap karena kejadian ini. Kau tak jadi menemui raja. Nanti sore, kau harus menemuinya agar surat perintah bisa segera diturunkan."

Ia tersenyum kemudian beranjak dari kasurku.

"Jangan lupa, untuk minum obat yang kuletakkan di meja dekat sofa. Besok kau akan sembuh total," tukasnya yang kemudian melangkah pergi.

Aku saat ini mengkhawatirkan adikku lebih daripada jahitan di perutku yang diperban tebal. Sengaja, aku membiarkan diriku menjadi pelampiasannya.

Itu karena ..., sulit untuk dijelaskan secara detail. Yang jelas adikku tidak bisa mengendalikan emosinya. Dulu, ia dikeluarkan dari sekolah karena kasus serupa. Bahkan ia sampai membunuh orang. Aku tidak terlalu tahu jelas penyebabnya sampai ia tidak bisa mengendalikan emosi. Yang kutahu, itu berhubungan dengan ayahnya. Harusnya ayah membawanya ke dokter jiwa, tetapi ia tidak tega. Aku pun sepertinya juga akan seperti itu.

Ah, aku harus segera menemuinya. Pasti ia akan menangis sesegukan ketika ia sudah menyadari kesalahannya. Ibuku pernah mengatakan untuk segera menemuinya ketika kemarahannya sudah reda.

Aku menuruni ranjang, rasa nyerinya menyeruak. Kupegangi perut dan tertatih-tatih menghampiri sofa, lalu mengambil obat berbentuk kapsul yang berwarna kuning. Obat itu berada di dalam sebuah botol bening kecil. Kutelan kapsul itu lalu meneguk air dari gelas yang tersedia di meja. Aku memejamkan mata sejenak. Rasa nyeri di perutku perlahan menghilang.

Aku pernah mendengar kalau obat buatan perdana menteri ada yang mampu menyembuhkan luka dan pendarahan dalam semalam. Tidak tahu resepnya apa di dunia yang serba terbatas dan imitasi ini. Velothia benar-benar hebat.

Setelah merasa cukup baik dan cukup kuat untuk berjalan. Aku beranjak dari sofa tetapi sesekali rasa nyeri itu muncul. Kupegangi apapun sekitarku untuk menopangku. Aku berjalan keluar kamar sambil menggerayangi tembok.

"Kau akan ke mana?" Bon tengah bersandar dinding. Ia melipat tangannya menatapku, begitu melihatku membuka pintu dan menutupnya kembali.

"Tidak bisakah kau urusi hidupmu sendiri?"

Aku menekan bibirku. Untuk apa dia di sini dengan berpose seperti itu? Dia menyilangkan tangan kanannya seolah-olah untuk menyembunyikan tangannya yang diperban. Perban? Aku menjadi teringat seseorang yang menghentikan Erlya dengan tangannya.

"Kau tidak membunuh Erlya, kan?" tanyaku curiga kalau luka di tangannya itu karena ia juga membunuh Erlya.

"Kau pikir aku sekeji itu?" tanyanya yang disertai decihan tak mendasar.

Aku pura-pura tidak mendengar dan berusaha berjalan dengan berpegangan dinding. Bon menatapku kemudian memegang tanganku dan menaruhnya di bahunya.

"Kau mau ke adikmu? Akan kupapah."

Aku diam membiarkannya karena aku sejujurnya memang butuh pertolongan. Namun, aku tidak akan membuat harga diriku akan jatuh lebih dalam lagi dengan mengucapkan terimakasih kepada penjahat sepertinya.

Kami sampai di depan sebuah pintu. Bon melepaskanku, kemudian aku mengetuk pintu dan membukanya. Itu tidak dikunci. Keadaannya sangatlah gelap, tetapi aku menyadari kalau Erlya berada di sudut kamar ini. Ia meringkuk dengan keadaan kamar yang ternyata sangat berantakan. Selimut berserakan di lantai, sofa-sofa yang tidak teratur, dan sebuah vas yang pecah.

"Erlya...," kupanggil ia sembari masuk ke kamar dan menutup pintu. Aku tak ingin privasi keluargaku diketahui Bon, orang yang kubenci.

"Kakak?"
Ia mendongak menatapku. Detik selanjutnya ia bangun kemudian melangkah menujuku. Aku merentangkan tangan bersiap memeluknya. Segera, Erlya berlari menghamburkan pelukannya kepadaku. Dia cukup berhati-hati menghindari barang-barang berserakan.

"Maafkan aku kak. Huu huu maafkan aku. Aku kelepasan."
Ia menangis tersedu-sedu. Kuusap perlahan rambut hitamnya.

"Tak apa."
Aku mengelus-elus rambutnya.

"Ngomong-ngomong bagaimana kalau kita mengobrol sambil duduk dan melihat Eguzkiavile? Mumpung kita bisa melihatnya di sini."

Erlya mengangguk, ia memapahku pelan-pelan dan membawaku duduk di lantai--ia tahu perutku sakit. Ia menyibak gorden kamarnya lebar-lebar, kemudian ikut duduk di sampingku.

Meski pemandangannya berbeda dengan yang berada di kamarku. Langit yang tidak kelihatan warnanya masih bisa terlihat ada Eguzkiavile yang sangat terang di sana.

Awalnya kami membicarakan banyak hal, mulai dari teringat tingkah konyol tetangga kami hingga kemudian aku dan dirinya mulai menangisi orangtua kami. Aku dengar mereka dituduh memberontak karena tidak memberitahu soal misiku. Misi sebagai keturunan ke tujuh.

"Erlya ... Kau tahu darimana tentang misiku?"

"Nyonya Velothia yang menceritakannya."

Mendengar Erlya menyebut Velothia dengan sebutan nyonya lagi. Ada sesuatu yang membuatku merasa tidak suka. Namun, aku hanya bisa menyimpannya dalam hati.

Tok ... Tok ... Tok....

Kami menoleh, pintu dibuka menampakkan Velothia yang tengah tersenyum lagi.

"Dear, bukankah sekarang waktunya kalian untuk bersih diri?"

Kami melirik jam. Jam yang waktunya diatur menurut waktu terbit dan tenggelamnya Eguzkiavile dari pulau ini. Pulau cahaya.

"Masih pukul tiga ... Bukankah terlalu dini?" tanyaku.

Velothia menggelengkan kepalanya.

"Tidak dear. Aku tahu kau belum makan siang dan terlebih kondisimu seperti itu, akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bersiap."

Aku hanya menghela napas lalu berusaha berdiri yang dibantu oleh Erlya. Tak lama kemudian beberapa pelayan pun datang membantuku. Saat ini aku harus mempersiapkan mental bertemu dengan raja.

Kulirik Erlya yang kutinggal pergi dengan sedih.

*

Aku mengenakan gaun yang berbeda lagi hari ini, kali ini lumayan longgar mengingat luka jahitku yang diperban. Gaun itu sama seperti sebelumnya, panjangnya selutut dan terbuat dari kain sutera mahal nan langka. Kudengar dari pelayan, gaun yang kukenakan sebelumnya itu seharga 40 juta Qutam yang setara dengan seekor sapi dan seekor kambing organik. Mengingat dunia ini sudah sangat sedikit sekali ditumbuhi tanaman hijau. Jadi, banyak para peternak yang memberi makan ternaknya dengan rumput sintetis yang telah diolah sedemikian rupa. Lalu, hewan organik ... itu benar-benar sangat mahal.

Aku hanya meneguk ludah mengapa kemarin membiarkan pakaian itu sobek. Jika dikalkulasikan kembali, aku juga bisa mendapatkan sebuah rumah cukup besar di wilayah gelap.

Setelah dipapah sampai ke depan pintu besar aula raja. Aku harus masuk sendiri ke sana, ditemani Velothia di belakangku.

Dengan tertatih-tatih karena efek sakitnya perutku. Aku memberi hormat pada raja negeri ini. Raja saat ini adalah raja Ferdinand ke sepuluh. Lelaki paruh baya yang memiliki janggut tipis itu menyuruhku menyudahi penghormatanku.

Velothia melangkah ke depanku. Memberikan laporan kalau aku adalah keturunan profesor Welde.

"Apakah benar kau putri Erion?"

Aku membenarkannya dengan nada sopan, walaupun sejujurnya aku tidak suka bertingkah seperti ini pada raja. Raja yang dengan mudahnya menyuruh membunuh ibu dan ayah tiriku hanya karena tidak memenuhi panggilan.

"Apakah ia bisa dipercaya, Velothia?"

"Ya, yang mulia."

Aku sedikit melipatkan dahiku--tidak kentara karena jika melakukannya terang-terangan itu bisa memicu permasalahan--sebegitu tidak percayanya kah raja padaku? Hanya karena tindakan kecil kedua orangtuaku?

Brakk

Kami semua menoleh ketika pintu dibanting. Muncullah seorang gadis dengan wajahnya yang cemberut, bertubuh tambun dan gaun yang lebar mendatangiku dan Velothia.

"Velothia, kapan obatmu selesai? Yang katamu obat pengabul keinginan itu! Aku ingin segera memiliki tubuh cantik!" jeritnya kesal tetapi mendadak terdiam ketika ia menyadari keberadaanku.

"Hei, siapa gadis ini? Cih, dasar sok cantik di depan ayah!" imbuhnya sambil memelototiku dari atas dan bawah.

"Pu-putri Asalda!"
Seseorang datang dari pintu yang terbuka, itu pengawal yang terlihat kepayahan mengejar Putri. Sepertinya ia ditugaskan khusus menjaga putri itu. Tak lupa pula ia memberi hormat pada raja.

Raja kemudian berdehem,

"Putri Asalda, bisakah kau meninggalkan ruangan ini?" ujar Raja.

Gadis tambun yang dipanggil putri Asalda itu memasang muka masam dan langsung meninggalkan Aula ini. Diikuti oleh pengawalnya yang memberi hormat kemudian melangkah pergi dan menutup pintu Aula.

"Jadi, apakah kau sudah mengetahui tugasmu di sini, bukan?" tanya raja kembali.

Aku kembali mengiakannya karena memang aku sudah diberitahu detailnya oleh Velothia ketika perjalanan kemari.

Katanya, aku akan masuk ke sebuah labirin di perbatasan bersama tim yang anggotanya telah dipilihkan. Di sana, ada delapan area dan aku harus sampai ke area delapan karena di sana adalah tempat laboratorium milik profesor Welde. Katanya juga, di sana ada informasi-informasi yang dibutuhkan terkait dunia ini. Terutama dalam hal astronomi tata surya ini, karena terbatasnya alat sehingga sulit sekali untuk mempelajarinya. Catatan peninggalan yang ada pun juga masih kurang detail. Ketika kutanya apa hubungannya dengan badai yang akan terjadi. Velothia menjawab, timnya berusaha mengobservasi pola cuaca dan bencana di atmosfer Quartam tetapi tidak diketahui penyebabnya. Mereka tidak akan berhasil mempelajarinya jika mereka tidak mempelajari astronomi dasar tentang Eguskiavile dan Quartam.

"Kau sudah berumur tujuh belas kan?" pertanyaan raja membuatku tersadar akan lamunanku. Aku melirik Velothia, ia mengedipkan matanya secara cepat beberapa kali. Aku memahami maksudnya. Walaupun sedikit ragu-ragu akhirnya aku membenarkannya.

Velothia kemudian maju, menyerahkan beberapa berkas yang perlu ditandangani raja dan distempel.

Setelah selesai, aku dan Velothia pamit undur diri. Tubuhku langsung ambruk begitu keluar dari aula. Rasa nyeri yang sedari tadi kutahan di dalam kini sudah tak kuat lagi kutahan.

Aku dibantu berdiri oleh pelayan. Lalu diantar menuju kamarku. Kata Velothia besok kondisiku pasti akan lebih baik, aku hanya harus cukup beristirahat.

Kini aku sudah berada di kamarku dan waktu terus berjalan hingga larut. Aku tidak bisa memejamkan mata, meski besok aku akan pergi berkeliling pulau Cahaya ini, sekaligus diperkenalkan dengan tim yang akan membantuku.

"Kak, apakah kau sudah tidur?"
Terdengar suara Erlya dari balik pintu.

"Belum," ujarku yang kemudian dibalas dengan derit pintu yang terbuka.

Sambil menenteng bantalnya, Erlya meringis. "Bolehkah aku tidur di sampingmu?"

Aku mengangguk sambil mengingatkan untuk menutup pintu. Erlya menutupnya kemudian menelusup masuk ke selimutku.

"Kak, kudengar dari pelayan. Kalau kakak akan mengelilingi pulau ini? Bolehkah aku ikut?" ujarnya sembari mendekat kepadaku dengan memasang bantalnya di posisi yang nyaman.

"Aku kurang tahu, sepertinya boleh. Katanya besok hanya berkeliling dan mengenalkan anggota timku."

Erlya mengangkat tangannya sambil berseru, "yeah."

Aku hanya tersenyum melihatnya, segera kupeluk dia dan memberi tepukan kecil berulang-ulang di paha.

"Sekarang kau harus tidur! Kita tidak boleh terlambat bangun besok."

Aku menepuk-nepuk pahanya agar ia merasa nyaman dan terlelap seperti yang biasa ibu lakukan ketika aku kesulitan tidur.

Mengingat ibu, aku menyadari kalau saat ini tidak akan ada yang akan melakukan itu lagi untukku. Dan aku yang harus melakukan ini untuk seseorang yang aku sayangi.

Seseorang yang seharusnya saat ini mendapatkan kasih sayang ibu.
Seseorang yang seharusnya saat ini bahagia karena mempunyai kakak dan keluarga yang lengkap. Namun, ia hanya punya seorang kakak di sini. Maka, aku yang akan menjadi ibu sekaligus kakaknya.

Itu tekadku malam ini. Kukecup pelan dahi seorang bocah yang tertidur dengan wajah polosnya. Kunaikkan selimut dan aku berusaha terlelap di sampingnya. Bergabung dengannya untuk memasuki dunia mimpi.

Tbc~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro