.TigaPuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oh..., Hai, Triste," katanya tidak bersemangat yang membuatku sangat gemas dan marah. Namun itu semua kutahan, dan dengan segera kusingkap sedikit selimutnya lalu melihat kakinya yang membiru. Aku terkesiap.

"Tidak akan terjadi cepat karena aku makan banyak, lalu ... aku menunggumu, ada yang ingin kukatakan."

Ia juga menjelaskan lagi kalau dengan upayanya yang makan banyak, dapat menunda sedikit pembusukan akibat metabolisme yang cepat itu.

Aku menggeram.

"Kau bodoh! Bodoh! Bodoh!" Kumaki dia sembari memukul kecil bahunya yang sudah tidak berotot lagi.

"Aku tidak bodoh, karena aku memanglah pion prajurit. Setidaknya aku bersyukur aku yang seorang prajurit dengan kaki putung masih berguna dan bisa bergerak maju. Aku sudah melaksanakan misiku dengan baik."

Rasa ingin memukulnya keras-keras, kini sangat berada di puncak. Kuhentikan tinjuan kecilku di bahu dan meremas keras kain kaos di bahunya.

"Harga dirimu rendah sekali ya. Mendengar ini, aku jadi menyesal menjengukmu," cemoohku sembari berbalik karena tidak tahan lagi menahan amarah tetapi ia menahan tanganku.

"Anda harus mengunjungi nyonya Velothia. Dia ... dia ... Ibu Anda."

Bukan, aku tidak mempermasalahkan ucapannya yang tiba-tiba menjadi formal terlebih ketika ia mencengkeram pergelangan tanganku cukup erat. Namun, kata-kata gila yang baru saja kudengar ini membuatku yakin. Apa dia sedang mengonsumsi obat anti rasa sakit? Sehingga dia sedikit kurang sadar. Atau memang dia sudah gila.

"Kau mengonsumsi obat anti rasa sakit yang dapat berakibat halusisi ya? Itu kapan? Barusan atau-"

"Ti-tidak, Triste. Aku baik baik saja. Pembusukan yang sedang kualami ini tidak memiliki rasa sakit karena pembusukan terpusat saja. Ini tidak sesakit saat kakiku terpotong itu. Tapi yang kukatakan ini kenyataan--sulit memberitahumu secara detail dan berbicara formal padamu--tapi kuharap kau bisa menemuinya sekali saja sebelum dia pergi."

Aku menatap tajam akan omongan tidak masuk akalnya itu. Meski aku tahu kalau ia dan Rin kerap memberitahuku kalau Velothia sangat lunak padaku. Aku juga merasakan itu, tetapi kalau aku anaknya itu tidak masuk akal. Aku sangat menyangkalnya. Terlebih aku punya sertifikat kelahiranku, fotoku saat masih bayi, dan banyak lainnya.

Jadi aku putuskan segera pergi dari rumah sakit dan menganggap itu hanyalah racauan biasa. Namun, sebelum aku benar-benar pergi, aku mengecup dahi Bon.

"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu ke depannya. Kalau bisa hiduplah dengan baik. Dan ini sebagai perpisahan kita, aku menyayangimu sebagai temanku," kataku lalu pergi tanpa sedikit pun menoleh ke belakang meski Bon memanggil-manggil namaku atau pun ia yang mengatakan kalau perasaannya padaku tetap tidak berubah. Ia masih menyukaiku.

Namun terlambat, aku sudah bulat untuk pergi meski ia sempat memintaku tinggal di sisinya tadi.

Kilasan balik satu hari panjang di labirin itu menyeruak, dan aku bergetar olehnya. Tetap saja. Aku tidak akan goyah. Meski itu artinya, aku meninggalkannya di hari-hari terakhirnya.... dan aku sadar. Aku cukup kejam.

Permintaan terakhir Bon yang menyuruhku untuk mengunjungi Velothia, setidaknya akan kulakukan. Hal itu saja yang dapat kulakukan untuknya, karena aku harus bergerak cepat. Kudengar dia akan dipenggal besok akibat kematian dari Putri Asalda.

Aku pun berusaha menyelinap untuk memasuki penjara gelap dengan nyala kobaran api dari lampu minyak di dinding yang jarang. Listrik sengaja tidak dialiri sampai ke penjara dan ini menguntungkanku karena dapat dengan mudah menyelinap di kegelapan.

Di satu-satunya penjara Quartam yang terletak di wilayah gelap dan cukup dekat dengan wilayah cahaya, aku tidak menemui banyak tahanan. Aku tahu kebanyakan di sini setelah hukuman ditetapkan akan langsung dibunuh, dan tidak ada yang namanya hukuman penjara. Jadi ini membuatku mudah menemukan sel tahanannya di ujung. Saking sepinya.

Ia tengah duduk di sana, bersimpuh di lantai bersandarkan dinding gelap di pojokan. Aku tidak tahu apakah ia tidak khawatir kecoa menggerogotinya atau bagaimana. Ia duduk bersantai di sana ketika aku mengedarkan obor untuk melihatnya.

"Kau datang, sayangku," katanya datar.

"Aku hari ini mendengar informasi gila yang sampai detik ini sulit kupercayai. Namun, aku juga heran aku melangkahkan kakiku ke sini untuk memeriksanya," kataku berdiri lurus di depannya. Menampilkan bayanganku memanjang ke dalam sel penjara.

"Ah, kau sudah tahu itu rupanya. Kau mengikuti insting alamiahmu. Asalmu." Dia kini bangun dari duduk dan menyeret rantai bola besinya ke hadapanku. Ia berdiri di depanku yang hanya terpisahkan dengan besi penjara.

"Dan kuyakini itu hanyalah bualan. Aku dilahirkan oleh Ibuku, bukan dirimu."

Aku melihatnya dari bawah ke atas, aku tidak mirip dengannya barang sedikit pun meskipun aku memang hampir 90% mirip ayah. Kemiripan kita hanya terletak di tinggi fisik kita.

"Memang betul kau dilahirkan oleh ibumu, tetapi aku juga ibumu." Ia jongkok sedikit dan mengangkat bola pemberatnya untuk ia pindah. Ia sedikit kepayahan melakukannya.

"Kehamilan in vitro, Ibumu tidak bisa hamil, tetapi bisa mengandung, dan aku bisa hamil, meski tidak akan bisa mengandung karena ia tidak mencintaiku. Sekali pun aku telah memberikan semuanya. Ia memilih ibumu."

Ia mengatakannya sambil terus memindahkan bola pemberat dan berjalan ke sisi tembok paling dekat dengan pagar besi lalu duduk di sana.

"Apa maksudmu?"

Aku tahu kalau ibu sering tidak menstruasi saat ia masih cukup muda dan banyak wanita mandul di wilayah gelap, tetapi aku masih tidak paham konteksnya.

"Sel telur dariku, ibumu yang mengandung, dan ayahmu tetap ayahmu."

"Ayah tahu hal itu?" Aku melongo.

Velothia menggeleng. "Ini hanya antara aku dan Ibumu, dear. Kalau tidak bagaimana kalian masih bisa hidup berkecukupan di daerah gelap ketika ibumu sendiri hanya ibu rumah tangga dan ayahmu penulis buku yang hilang?"

Kini aku terdiam dan semua terasa masuk akal. Secara konteks ibu memanglah ibuku, tetapi wanita yang di seberang pagar besi ini, wanita yang ingin kubunuh, juga ibuku.

"Lalu mengapa kau mengganggu ketenangan hidup kami?" tanyaku mulai tidak terima kalau ia seorang Ibu bukankah dia harus mementingkan kebahagian anaknya.

"Ibumu mengkhianati janjinya. Ia tidak pernah menceritakan tentangku bukan? Bahkan menyuruhmu untuk tak pernah mempercayai orang-orang dari wilayah cahaya." Ia berbicara santai seakan itu sudah sewajarnya memerintahkan melakukan tindak kekejaman di depan mataku.

"Tetapi itu bukan alasan untukmu harus membunuhnya! Bisa-bisanya kau menghancurkan hidupku. Hidup bahagiaku!"

"Bahagia tidak ada yang abadi, dear, suatu hari pasti musnah." Dia meraup mukanya sesaat lalu tersenyum kecil.

"Namun, sebentar lagi kita akan menemui kebahagiaan abadi itu. Semua rasa sakit kita akan sirna," sambungnya yang kemudian beralih menatapku.

"Aku percaya pada putriku yang bisa mewujudkannya."

Mataku berlinang tak karu-karuan. Kuhentakkan kaki dan memutuskan untuk pergi.

"Persetan! Aku akan pergi."

"Bagaimanapun, aku tetap mencintaimu, dear, sayangku, putriku."

Suaranya seakan sudah jauh, tetapi masih kudengar.

Aku marah, sangat marah. Seharusnya lebih baik aku tidak mengetahui fakta seperti ini. Meski emosiku bergejolak sedemikian rupa ini tidak akan mengacaukan rencana yang kubuat meski harus kutunda dengan menonton kepergiannya. Pemenggalannya.

Bagaimana pun, aku menjadi ada juga karena bagian dari dirinya. Sosok aku ini, tidak akan ada kalau ia tidak memberikan sel telurnya demi sebuah perjanjian. Kalau tidak ada dirinya maka aku adalah sosok aku yang lain.

Ia tidak dipenggal di wilayah cahaya, orang-orang cahaya tidak mau melihat kotoran penjahat barang sedikit pun. Jadi, Velothia dipenggal di sini. Di Griss. Aku tidak mengerti padahal lokasinya cukup jauh dari letak penjaranya. Aku sedikit kepayahan juga mengikutinya dibawa kemari dengan kereta kuda. Dan ia berdiri di sana dengan panggung dadakan yang akan digunakan untuk panggung pembakaran setelah pemenggalannya sekaligus.

Aku kini berdiri di kerumunan orang yang menyaksikannya akan dipenggal, beberapa di antaranya dengan rasa nasionalisme tinggi mencaci makinya karena telah membunuh Putri negeri ini--rumor telah meluas tetapi tak banyak yang mengerti putri tiada seperti apa, beberapa di antaranya mencaci karena ia orang wilayah cahaya yang jahat seperti pada umumnya, dan tentunya beberapa saksi yang diutus kerajaan untuk mengonfirmasi kematiannya berdiri diam.

Ia melihatku di samping algojo yang tengah bersiap melepas pisau dari atas guillotine. Kepalanya sudah siap di bawahnya. Dan matanya hanya menatapku sembari berbisik hal yang kumengerti tetapi sangat kubenci.

"Aku ... mencintaimu ... sayangk-"

Kepalanya lepas.

Menyisakan kalimat yang belum usai terucap.

~
jujur aku nulis ini sambil mewek.
//jangan tanya kenapa.

dan ketika aku merevisi ini. masih mewek lagi. Triste kau jahat sangat T^T itu kasihan Bon sekarat lu tinggal! meski kau muak dengan kegilaannya terhadap hal sejenis prajurit lah dkk. Tapi dia. aaaarghhh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro