.TigaPuluhSatu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kobaran api sudah menyala. Usai kepalanya dilepas dan dibawa ke Istana sebagai bukti, sisanya akan dibakar.

Aku merasa lemas, tadi aku berkata kalau ini tidak akan membatalkan niatku untuk menghancurkan langit, dan membebaskan langit. Namun kini aku ragu. Apakah yang kulakukan ini bagian dari permainannya?

Bersamaan itu, sepertinya langit juga tidak mendukung kepergiannya yang tiba-tiba hujan cukup deras dan semua orang kemudian berteriak.

"Badai Kiavile! Berlindung!"

Aku buru-buru lari ke rumah, tetapi semua pakaianku terkena percikan hujan yang membuat sangat lengket dan gatal. Badai pertama tahun ini yang terlambat datang.

Sampai di rumah pun aku harus segera bebersih dan meninggalkan rumah, biasanya di saat seperti ini ada saja angin puting beliung yang memporak-porandakan seluruh rumah dengan hujan yang isinya bukan air, sesuatu yang berbau tidak sedap.

Namun, pergi ke mana aku?

Menjemput Lumine yang mungkin sudah terbangun dan membuat masalah? Atau apa? Bahkan dengan resiko tiba-tiba badai ada di depanku?

Bertahan bukan hal yang bagus tetapi pergi juga bukan hal yang bagus saat ini.

Tapi aku juga tidak bisa diam tanpa melakukan apa-apa.

Sebelum keluar aku memakai jas hujan dari plastik dan sepatu boot plastik, tas selempang kecil dengan bekal sekali makan dari jamur. Kota Marroiak membutuhkan satu jam berjalan kaki tetapi itu lebih baik daripada tidak melakukan apapun. Meski aku lupa memperhitungkang lengketnya jalan yang sisi positifnya akan tetap menempelkanmu dengan tanah apabila ada angin topan apabila hujannya tebal.

Aku sampai di depan rumah Zet dengan selamat setelah kurang lebih tiga jam, dan tentunya aku tidak berjalan sendiri--kalau berjalan sendiri mungkin bisa lebih lama atau kurang lebih sama. Kebetulan ada kusir kereta kuda yang membutuhkan bantuanku. Kami saling menolong dan membutuhkan bantuan untuk tiba di Marroiak dengan tenaga ekstra meski juga sempat istirahat sedikit sebagai imbalannya. Meluruskan kaki.

"Zet!"
Aku berulang kali meneriakkan nama dan memukul-mukulkan pintunya. Sampai ada yang membukanya, seorang wanita muda yang mungkin bisa kuketahui sebagai seseorang yang membantu Lumine. Dan kemudian wanita itu masuk lagi membawa Zet saat kembali ke hadapanku.

"Yang paling mulia."

Ia memanggilku demikian yang langsung membuatku memberengut marah.

"Bisakah seperti biasanya saja? Nona begitu."

"A-aku ti-"

Aku menatapnya tajam, dan ia kemudian mengalah.

"Baiklah, nona. Mari masuk, saya takut ada tiba-tiba seperti angin topan dadakan,"katanya yang kemudian kuikuti dan diantar ke ruang tamu tempat kami dulu berkumpul.

"Bagaimana Lumine?"

"Kami menyoba menenangkannya dengan doktrin Eguzkiavile yang akan memberkatinya suatu hari, tetapi ia tidak percaya dan mengatai kami gila. Ketika ia sendiri menangis terus seperti anak kecil dan meraung-raungkan nama gadis kecil yang dulu kemari bukan?"

Zet menjelaskan sembari menggerakkan tangannya mengingatkan kejadian sewaktu kami dulu menemuinya dan balasanku hanya mengangguk kecil.

"Baiklah, kalau begitu aku akan membawanya saja. Dia tanggung jawabku bagaimana pun," kataku sembari bangkit tetapi Zet tiba-tiba ikut bangkit dan menahanku dengan pertanyaannya.

"Bagaimana dengan pembebasan langit? Kapan Anda akan melaksanakannya?"

Aku terdiam sesaat.

"Sepertinya aku tidak akan melakukannya. Orang yang paling kubenci sudah tiada."

"La-lalu Anda akan membiarkan kami semua tersiksa dengan dunia yang seperti ini?" Zet gemetaran dan melangkah ke belakang sofanya lalu terjatuh.

"A-anda tidak bisa begitu!" Zet bangun lalu bersimpuh di lantai dan memegangi kakiku.

Aku ketakutan dan berusaha menendangnya yang membuat ia terjerembap dan kemudian aku lari masuk ke kamar yang diberitahukan ditempati Lumine. Itu dikunci dari luar, dan aku melepaskan kuncinya lalu membawa kunci itu masuk dan menguncinya dari dalam.

"Triste!" Lumine yang tengah duduk meringkuk di pojok kasurnya mendongakkan kepalanya menatapku. Ditemani lampu petromak yang menggantung di tengah ruang ini, aku masih dapat melihat wajahnya yang sangat sangat bengkak.

"Kau sudah menemukan Rin? Di mana dia? Kapan ke sini?" Dia bertanya seakan benar benar lupa apa yang terjadi. Atau memang bisa dibilang. Dia telah kehilangan akal sehatnya.

Aku terdiam cukup lama di belakang pintu meski Lumine menuntut jawaban. Kupertimbangkan hatiku lalu kuhampiri ia di kasur. Kupegang tangan robotnya yang kaku itu dan beringsut memeluknya.

"Rin sedang melihat cahaya Eguzkiavile, makanya ia tidak di sini," bisikku kemudian melepaskan pelukan dan mendorongnya untuk melihatku.

"Dia sedang di pulau cahaya? Melihat cahaya Eguzkiavile terlalu lama tidak baik untuk matanya. Suruh dia segera ke sini saja. Lebih enak hidup di wilayah gelap." Tatapan polosnya di tengah wajah yang bengkak itu kemudian menyadarkanku.

Ia mengajakku segera ke pulau cahaya untuk menemui Rin lalu mengajaknya kemari. Dan aku pun hanya mampu tersenyum.

"Lumine sepertinya kau kelelahan, bagaimana kalau tidur saja?"

Ia menangguk dan mengakui kalau mengantuk. Lumine pun kemudian membenarkan posisinya untuk tidur dan ia tidur seperti bayi. Seperti Rin. Yang susah bangun atau memang karena saat ini Lumine sangat kelelahan ketika ia tidak sadar aku membuka pintu kamar terlalu keras untuk keluar dan menutupnya kembali.

"Maafkan aku yang ragu sesaat Zet. Kupikir, aku memang harus melakukannya bagaimana pun juga. Kau benar, terlebih sebentar lagi efek samping buah itu masif. Setidaknya aku harus melakukan sesuatu untuk penghormatan pada mereka."

"Kau tidak menyetel radio sama sekali kah Triste? Di mana-mana itu sudah terjadi, tetapi berhubung badai. Sedikit orang yang dapat keluar untuk pergi ke rumah sakit."

Aku setuju dengannya, kupikir-pikir seperti kusir kuda yang membantuku itu. Ia sebenarnya juga tengah membawa teman kusir kudanya ke rumah sakit. Setelah itu aku meminta bantuan Zet dalam melaksanakan rencana ini.

Kami berdua butuh naik kereta kuda karena lokasinya jauh, satu orang mengalihkan penjaga, dan aku yang akan mengaktifkan semua roket untuk diterbangkan.

Jadi setelah ia mendengar rencanaku, ia berbicara dengan wanita yang merawat Lumine di ruang tengahnya. Sedangkan aku duduk di ruang tamu yang mana lama kelamaan membuatku tak sadar untuk tertidur karena kecapaian.

Ketika aku bangun aku ada di taman bunga berwarna-warni. Suasananya bukan kegelapan pekat Wilayah gelap Quartam tetapi juga bukan seterang di wilayah cahaya.

Suasananya hangat, bunganya di sini juga cantik-cantik. Lebih berwarna-warni daripada yang di taman istana wilayah terang.

Aku duduk di salah satu bangku dan berusaha menghirup suasana itu sampai tiba-tiba aku dikagetkan seorang anak kecil pirang yang jahil.

"Kau harus melihat sekelilingmu saat mau menyedot dalam. Bunga kerap kali membawa serbuk sari yang kalau tidak cocok dapat membuatmu alergi. "

Aku hapal itu, itu Rin. Anak yang lama tidak kujumpai itu kupeluk mendadak.

"Hei, kak Triste, tenang aku tidak akan ke mana-mana," katanya mendorong-dorongku yang memeluknya.

"Kau tidak akan ke mana-mana kan? Kau janji kan? Janji?"

Aku menyodorkan jari kelingkingku padanya.

"Iya, aku janji," katanya sembari menautkan jari kelingkingnya padaku.

"Aku membenci apa yang kau lakukan, kau tahu kan, kau pasti pernah memikirkannya juga, kenapa kita dilindungi cangkang itu karena eguzkiavile jahat," katanya tiba-tiba usai melepaskan jarinya padaku. Namun mendadak ada sesuatu yang aneh dari suaranya. Suaranya lebih berat.

"Tapi kau harus segera bangun nona Triste," kata Rin lagi tetapi dengan suara yang lebih berat.

~
._.,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro