TUGAS LO DAN TUGAS GUE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Lo?”

Pria di depanku membelalak, lalu memijat-mijat kening. Mungkin karena pengaruh obat. Atau karena terkejut akan kehadiranku?

“Ngapain lo ke sini?” tanyanya sambil terus memijat-mijat kening. Entah benar-benar pusing atau hanya akting.

Belum juga aku menjawab, tiba-tiba pria itu berhenti memijat-mijat kening lalu memicing. “Lo yang ngasih gue penawarnya, ya?”

“Emang siapa lagi yang bisa?” balasku, lalu menyeringai. Bukankah yang tahu tentang obat dan penawarnya itu hanya sesama penulis?

“Ah!” geramnya. “Tadinya gue udah pikir ini semua takdir Tuhan. Gue udah belajar ikhlas. Tapi sekarang gue sadar kalo ini ulah lo.”

“Emang,” komentarku singkat.

“Terus, lo mau ngapain ke sini? Mau ngetawain hidup gue? Mau ngetawain karena kisah cinta gue gagal?” cecar pria yang rambutnya mulai kembali gondrong itu.

Aku penasaran, dia pakai shampo apa? Padahal belum satu tahun, tapi rambut panjangnya sudah kembali lagi.

“Pertama, gue mau nagih ucapan terima kasih,” ucapku setelah menyeruput minuman. Harus kuakui, kopi di Kopi-Kopi ini sangat lezat. Pantas saja Qwincy selalu memesannya sebagai teman bergadang.

“Buat apa?”

“Karena berkat gue, hubungan lo sama bokap lo udah enggak kaya benang kusut lagi,” jawabku santai. “Harusnya, paling enggak gue dapat tiket liburan ke Swiss.”

Qwincy mendengkus. “In your dream!”

Aku menghela napas panjang, lalu melipat tangan dan bersandar di kursi. “Dasar enggak tahu terima kasih!”

Dengan kesal, aku mencermati pria di depan. Padahal dia selalu menagih ucapan terima kasih setiap kali merasa berjasa, meskipun sebesar zarah. Namun, dia pelit sekali ketika harus mengucapkan hal serupa.

“Buat apa gue berterima kasih sama pengacau?”

“Pengacau? Gue maksud lo?” tanyaku sambil menujuk diri sendiri.

“Panggilan apa lagi yang layak didapetin oleh orang yang ucah ngancurin masa depan gue di cerita yang dia tulis?”

“Eh, Gondrong!” Aku menggebrak meja. “Gue cuma nyiapin alur, latar, dan karakter-karakter di cerita. Sementara setiap keputusan yang ada adalah milik si tokoh. Jadi kalo masa depan lo hancur, kalo hidup lo berantakan, ya, itu gara-gara lo sendiri.”

Pria tidak tahu terima kasih itu malah membuang muka. Mungkin dia tidak bisa membantah kata-kataku. Atau mungkin dia terlalu malas berdebat denganku karena takut kalah?

“Jadi lo datang cuma buat minta tiket ke Swiss, doang?”

“Sekalian mau ngambil buku yang lo tulis. Yang judulnya…” aku membuka ponsel untuk mencari judul buku tersebut, “Petualangan Princess Lily dan Prajurit Spider di Hutan Hujan.”

Pria itu berdecak. “Kan lo udah tahu kalo buku itu enggak jadi diperjualbelikan!”

“Gue enggak berniat beli, kok. Gue mau ambil buku itu. Ponakan gue nagihin mulu. Kalo bisa, gue dapat yang edisi bertanda tangan. Karena ponakan gue nge-fans sama lo,” ucapku sedikit gengsi.

Bagaimana mungkin keponakanku sendiri lebih menyukai karya Qwincy daripada milik tantenya? Lalu, siapa yang akan membaca bukuku?

Mata Qwincy kembali membelalak. “What?”

Meski mata Qwincy terbuka lebar, aku tidak bergidik. Marah, senang, cemberut, senyum, memicing, melotot, pokoknya dia tampan dalam mode apapun. Aku tahu, kalian pasti iri karena tidak bisa bertemu langsung dengannya. Akui saja.

“Lo cerita ke ponakan lo tentang buku itu?” tanyanya yang kujawab dengan anggukan. “Bahkan pembaca lo aja mungkin enggak tahu judul buku itu, kan?”

“Suka-suka gue, dong!”

Pria itu mengacungkan dua telunjuk yang disilangkan. “Permintaan lo ditolak.”

“Padahal gue berniat baik, loh. Gue cuma mau ngurangin satu dari ribuan buku yang lo tumpuk di kamar apartemen.”

Yap! Setahuku, semua buku yang gagal launching itu dibeli oleh Qwincy dan ditaruhnya di kamar. Entah berapa rupiah yang dikeluarkannya. Dia bahkan rela mengubah ruang tamu menjadi apartemen studio, di mana kamar tidur, ruang tamu, ruang kerja, dan dapur jadi satu, agar buku-buku itu punya tempat penyimpanan tersendiri.

“Itu urusan gue!” ketusnya.

Aku menggeleng-geleng, lalu kembali minum seteguk. “Lo beneran enggak berniat distribusiin buku itu? Padahal, banyak yang minat, loh.”

“Lo masih belum puas Samu enggak mau ketemu gue lagi? Terus, lo juga mau gue dituntut sama dia?” cecar Qwincy.

“Dia enggak bakal nuntut lo kalo tahu buku itu adalah karya lo dan Rain, kalo tahu isi ceritanya buat nyemangatin anak-anak pasien jantung, kalo tahu seluruh keuntungan penjualannya untuk Yayasan Little Heart Warriors,” terangku penuh semangat.

Qwincy memalingkan wajah ke arah barista yang sedang sibuk meracik kopi pesanan pelanggan. “Samu enggak akan tahu tentang itu. Dia udah punya kesimpulan sendiri,” katanya dengan nada sedih.

Duh! Kalo saja saat itu bukan siang bolong dan pengunjung di Kopi-Kopi sedang sepi, mungkin aku akan berpindah duduk ke samping Qwincy. Memintanya untuk bersandar dan menangis di pundakku, sambil mengelus-elus rambut gondrongnya.

Jangan salah kira, ya! Aku menganggapnya sebagai adik sendiri, kok. Tidak kurang! Tapi lebih sedikit, boleh, kan?

“Ya…, makanya lo kasih penjelasan, dong! Penjelasan, kan, berfungsi untuk menghancurkan benteng bernama prasangka.”

“Gue udah enggak punya kesempatan buat ngasih penjelasan.”

“Emang kenapa?”

“Lo pikir gue masih punya muka buat ketemu Ocean? Apalagi setelah dia nikah sama Volcano.”

“Siapa bilang Ocean nikah sama Volcano?”

“Kalopun belum nikah, bentar lagi mereka juga akan nikah. Bisa-bisa gue diganyang sama dokter itu kalo berani dekat-dekat sama calon istrinya.”

“Sok tahu lo!” dengkusku.

“Emang iya, kan? Ngantongin golden ticket dari Om Rhenald, dekat sama Rain, dan di-oke-in sama Ocean. Volcano udah dapat semua.”

“Hei, Gondrong! Asal lo tahu, Rhenald enggak akan pernah nyetujui Volcano nikah sama Ocean. Sampai kapan pun!”

Kulihat Qwincy mengerutkan kening. Ah! Ekspresi berpikirnya hampir saja membuatku lupa kalo aku sedang marah.

“Makanya kalo nguping jangan nanggung-nanggung! Jangan setengah-setengah!” omelku sambil menahan diri untuk tidak mencubit pipi Qwincy. Bukan karena kesal, tapi karena gemas dengan raut wajahnya.

“Lo serius?”

“Kartu merah dari Rhenald dan plang forbidden dari Shally, lo pikir bisa ditaklukkan sama Volcano?”

“Jadi--”

“Jadi kalo lo enggak mau ditikung pria lain, buruan ketemu Ocean dan kasih penjelasan.”

“Tapi gimana gue ketemunya? Masa gue tiba-tiba datang ke rumahnya? Yang ada gue bakal dilempar pot bunga!”

Sejenak aku berpikir. Kata-kata Qwincy memang masuk akal. Tapi, aku juga tidak tega melihatnya terpuruk tanpa berjuang.

Trust me! Tugas gue adalah nyiapin latar dan alur. Sisanya, gue serahin ke lo,” ucapku bijak, “tapi--”

“Tapi apa?”

“Karena ini request lo, jadi enggak gratis,” ucapku. Aku tidak mau Qwincy menganggapku gampangan. Harus ada harga untuk membayar egoku.

“Hah?” Kening Qwincy kembali berkerut.

“Buku karya lo dan Rain. Gue mau jadi orang pertama yang punya buku itu. Dan, gue juga harus dapat bonus yang berbeda dari yang lainnya,” ucapku penuh makna.

Aku merasa tidak perlu menjelaskan bonus yang kumaksud secara gamblang. Apalagi, Qwincy punya daya ingat yang kuat. Bukankah di awal aku sudah menyebutkan tentang tiket liburan ke Swiss?

“Tenang aja, lo bakal dapat buku dengan bonus spesial yang membuatnya jadi edisi amat sangat terbatas. Pokoknya, super duper spesial karena hanya ada satu.”

“Buku dengan edisi amat sangat terbatas?” ulangku dengan mata berbinar.

Qwincy mengangguk. “Satu-satunya buku dengan dua puluh tanda tangan gue di setiap halamannya!”

Asyem! Dia pikir ponakan gue mau baca tanda tangannya doang?!

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Dear, Teman-teman Pembaca

Akhirnya saya lega bisa menyelesaikan 'RAIN' versi wattpad, setelah sekian banyaknya drama di dunia nyata (dari bolak-balik RS, kesehatan yang up and down, sampai bertambahnya urusan domestik) yang lagi dan lagi membuat saya kesulitan bercengkrama dengan Qwincy.

Memang masih ada beberapa hal yang belum terjawab, tapi udah ada spill-spill dikit, kan?

Yang ingin menuntaskannya, bisa melanjutkan membaca RAIN di Karya Karsa atau nanti di versi cetak (info tentang ini akan menyusul, baik melalui pengumuman di Wattpad atau di laman media sosial milik karospublisher dan saya). Pastinya, akan banyak revisi dan extra part.

Terima kasih untuk Teman-teman yang masih terus setia menemani Qwincy hingga hari ini. ❤️❤️❤️

Doakan semoga saya bisa menulis lebih baik lagi  ke depannya.

Salam hangat dari Qwincy yang lagi sibuk ngasih tanda tangan di 'buku spesial'. 😌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro