Chap 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pukul 2 pagi pintu rumah Dimas sudah diketuk oleh seseorang yang terus-menerus memanggil namanya. Bapak yang sudah bangun pun langsung membangunkan Dimas yang masih terlelap di kasur.

"Dimas, bangun."

"Eh bapak?"

"Katanya kamu mau bangunin orang sahur. Itu temanmu sudah ngajak."

"Iya pak."

Dimas berjalan menuju pintu sambil membawa senter dan sarung. Dia membuka pintu dan melihat temannya.

"Sudah siap belum?" tanya Yandi.

"Sudah kok, ayo." kata Dimas.

Mereka bertiga pun langsung menuju pos kamling yang letaknya tak jauh dari rumah Dimas, tampak di sana sudah ada beberapa orang yang menunggu termasuk Supri yang sedang sibuk memeriksa kelontongan.

"Udah semua Rangga?" tanya pakde Burhan.

"Sudah pakde."

"Ya sudah kalau begitu ayo kita mulai." ajak Dimas.

Mereka pun mulai mengetuk kelontongan itu sambil meneriakkan kata sahur agar semua orang bangun. Di mulai dari pos kamling, masjid, kampung atas, dan kembali lagi ke kampung bawah tempat mereka tinggal. Jaraknya lumayan jauh namun niat mereka tak mampu terhalangi oleh jarak.

Warung-warung kecil yang awalnya tutup pun segera buka, menyediakan makanan dan minuman hangat untuk sahur. Tukang ojek dan beberapa warga yang bekerja di malam hari pun ikut sahur di warung kecil itu. Pakde Burhan yang sudah merasa bahwa mereka harus sahur mengajak anak-anak untuk berhenti sebentar.

"Anak-anak, kita sahur dulu yuk. Nanti keburu imsak."

"Iya pakde."

Mereka pun menuju warung kecil yang tampak ramai oleh pengunjung. Mereka duduk di sebelah kanan dan mulai memesan makanan.

"Silahkan pak dipesan."

"Iya mbah."

"Lho? Mbah Haryo jualan disini?" tanya Dimas.

"Kamu emang gak tahu?" tanya Supri.

"Enggak." kata Dimas.

"Ya ampun, mbah Haryo itu udah lama jualan disini tahu." kata Yandi.

"Kamu sih jarang main jauh, mainnya cuma di sekitar rumahmu aja." kata Supri.

"Haha, makanya sekali-kali ajak dong. Aku kan gak paham daerah sini."

"Iya juga ya, Dimas kan sekarang kuliah di Jakarta. Jadinya jarang main ke sini." kata Rangga.

"Di Jakarta tempatnya kayak apa sih Mas? Aku penasaran deh sama kota besar kayak itu." tanya Yandi.

"Tempatnya ya ..... bagus sih, tapi macetnya parah banget." kata Dimas sambil meminum tehnya.

"Katanya kalau di Jakarta itu segala apapun ada, kata Mbak Sarah di sana banyak restoran dan mall. Aku jadi penasaran." kata Supri.

"Kamu mah maunya jalan-jalan doang Supri." kata Rangga.

"Hahaha, ya gak papa kan? Mas Iwan sama Mas Radit juga pernah kerja di Jakarta. Dan sekarang mereka udah sukses."

Kedua orang yang sedang diperbincangkan itu pun langsung mendekati ke arah mereka yang sedang asik mengobrol.

"Kalian lagi ngobrolin apa sih? Boleh ikut gak?" tanya Mas Iwan.

"Oh ini mas. Lagi ngobrol soal Jakarta." kata Dimas.

"Jakarta? Tumben kalian ngobrolin itu?" kata Mas Radit.

"Iya mas, Supri jadi pengen kerja di sana mas. Biar bisa sukses kayak Mas Iwan dan Mas Radit."

"Supri, kalau kita mau sukses kita harus berusaha dan berdoa. Tempat dimana kita bekerja bukanlah penentu kita bisa sukses, tapi usaha kitalah yang menentukan." kata Mas Iwan.

"Iya bener itu. Lagian kamu mau kerja di Jakarta karena apa?" tanya Mas Radit.

"Karena mau ketemu Mbak Sarah. Aku kangen sama mbak, sudah lama dia gak pulang." kata Supri.

"Lah cuma ketemu sama kakaknya doang nih?" kata Mas Radit sambil menepuk kepala Supri.

Yang lain hanya tertawa, tak terasa adzan subuh pun mulai berkumandang menandakan bahwa waktu subuh sudah tiba. Mereka bergegas ke masjid di kampung bawah, sebelumnya mereka berterima kasih kepada Mbah Haryo.

"Mbah terima kasih makanannya ya." kata Rangga.

"Iya sama-sama, hati-hati di jalan ya."

"Iya mbah."

Mereka langsung mengambil air wudhu untuk bersuci dan melaksanakan sholat subuh secara berjamaah, setelahnya mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Dimas yang sedang berjalan bersama Rangga, Yandi dan Supri mulai mengajak mereka berbicara.

"Teman-teman, nanti pas buka puasa mau gak di warung Mbah Haryo?"

"Boleh saja." kata Rangga.

"Kamu kan baru saja sahur, kok sudah bilang mau buka?" kata Yandi sambil terkekeh.

"Ya aku bukannya kepengen cepat buka. Tapi mau buka puasa sama-sama tahu."

"Iya-iya aku tahu." kata Yandi.

"Ya sudah kalau begitu aku pamit dulu ya."

"Dadah." kata Supri.

Dimas menuju rumahnya, membuka pintu sambil mengucap salam. Bapak sudah berangkat kerja jadi di dalam rumah terasa sangat sepi. Dimas memutuskan untuk tidur karena dia mengantuk berat, dia memejamkan matanya dan tertidur di atas sofa.

Sementara itu Yandi mulai membantu ibunya berjualan di rumah, hanya warung sembako kecil yang dibuka di depan rumahnya. Udara hari ini tak begitu panas namun tak hujan juga, sejuk seperti pagi hari. Yandi menulis beberapa pesanan yang ada dan segera mengemasnya ke dalam kardus, untuk selanjutnya diantarkan oleh para pekerja di warungnya.

Supri yang tinggal di rumah sendirian mulai sibuk membersihkan pemakaman yang berada di samping rumahnya, ia menyapu dan mengambil beberapa dedaunan yang berserakan, mencabuti rumput liar yang sudah mulai tumbuh dimana-mana dan menyiram beberapa pohon. Memang kebanyakan di kuburan itu hanya ditanami oleh pohon bunga Kamboja dan Melati, bagi sebagian orang mungkin mereka bakal merasa bahwa kedua bunga itu sangat disukai makhluk halus, namun Supri menganggap bahwa kedua bunga ini hanya mempercantik area pemakaman saja.

Selain itu, Rangga tengah sibuk membantu ibunya menjahit beberapa pakaian. Mulai dari pakaian sekolah, seragam kerja hingga pakaian yang menurutnya rumit yaitu baju gamis yang memiliki banyak payet dan manik-manik. Setelah pekerjaannya selesai ia pun duduk di dekat jendela sambil menulis, entah apa yang dia tulis namun saat sang ibu ingin melihatnya dia langsung menarik bukunya.

"Nulis apa sih sampai emakmu gak boleh lihat."

"Enggak nulis apa-apa kok mak."

"Hmmm pasti nulis surat cinta buat pacarnya ya.."

"Nggak kok mak, kapan aku punya pacar. Dekat sama cewek aja jarang."

"Makanya cari cewek sana."

"Enggak ah, males." kata Rangga sambil berjalan meninggalkan ibunya yang fokus menjahit.

Di dalam kamar, Rangga mulai menulis tentang Mbah Haryo yang sudah paruh baya namun masih tetap bekerja. Anak-anak Mbah Haryo hampir semua bekerja di kota dan tak pernah pulang 4 tahun terakhir. Itupun kalau pulang hanya masalah warisan saja yang dibahas, sebenarnya Mbah Haryo bukanlah orang yang kaya yang punya tanah berhektar-hektar dan usaha dimana-mana. Dirinya hanyalah seorang PNS yang bekerja sebagai guru di salah satu sekolah SD.

Tanpa sadar air mata Rangga mulai menetes lantaran ia terharu dengan kisah hidup Mbah Haryo. Ia mulai mengelap air matanya dan pamit kepada ibunya untuk pergi.

"Mak, aku mau ke rumah Mbah Haryo dulu ya."

"Mau ngapain?"

"Mau ngebantuin mbah."

"Ya sudah, nanti sebelum dzuhur harus sudah pulang ya."

"Iya mak."

Rangga mencium tangan ibunya dan langsung pergi ke rumah Mbah Haryo. Sesampainya di sana, Mbah Haryo sedang sibuk memotong kayu jati dengan gergaji.

"Assalamualaikum mbah."

"Waalaikumsalam, Rangga."

Rangga mencium tangan Mbah Haryo dan mulai membantu memotong kayu jati tersebut.

"Kamu ke sini ada perlu apa?" tanya Mbah.

"Emmm gak tahu, pengen bantuin mbah aja." katanya sambil tersenyum.

"Oh begitu."

"Kayunya banyak juga ya mbah."

"Iya, pesanan akhir-akhir banyak yang datang. Dari Jakarta juga banyak."

"Jakarta ya..."

"Memang kenapa Rangga?"

"Ah enggak papa kok mbah."

"Oh iya, tadi pas sahur kalian bicara tentang Jakarta. Kalian mau kerja di sana?"

"Yah begitulah, tapi enggak tahu juga mbah."

"Belajarlah agar kau tak bodoh dan berimanlah agar kau tak tersesat. Dunia luar memang indah namun kenyataanya itu hanyalah sesaat."

Rangga mengangguk mengerti akan ucapan yang diucapkan Mbah Haryo kepada dirinya. Dalam diam Rangga berpikir bahwa Mbah Haryo adalah sosok guru yang bijak dan mampu menuntun anak muridnya ke jalan yang lebih baik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro