Chap 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rangga memotong kayu jati dengan teliti hingga tak terasa hari sudah menunjukkan tengah hari, menandakan waktu dzuhur tak lama lagi akan tiba. Rangga yang ingat pesan ibunya agar pulang sebelum dzuhur memutuskan untuk pamit pada Mbah Haryo.

"Mbah, Rangga pamit dulu ya. Sudah mau dzuhur."

"Oh iya. Hati-hati ya."

"Iya mbah." kata Rangga sambil menyalami Mbah Haryo.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Ah tunggu sebentar Rangga."

"Ada apa mbah?"

"Tolong tunggu dulu di sini. Mbah mau ambil sesuatu."

"Iya mbah."

Mbah Haryo masuk ke dalam rumahnya sedangkan Rangga duduk di balai depan rumah. Sambil melihat sekeliling, dia melihat beberapa kayu bakar yang terletak di samping rumah, beberapa peralatan seperti cangkul, arit, golok dan gergaji dan beberapa tumpukan karung berisi rumput. Tak lama kemudian Mbah Haryo datang sambil membawakan sebuah buku.

"Ini, buku catatan milik Mbah."

Rangga menerimanya dengan sedikit bingung. "Kenapa mbah ngasih ini ke saya?"

Mbah tersenyum, "Tidak ada apa-apa, mbah hanya ingin memberikannya saja ke kamu."

"Baiklah, saya terima ya mbah. Terima kasih mbah, assalamualaikum."

"Sama-sama, waalaikumsalam."

Rangga berjalan menuju rumahnya yang berada di kampung bawah, dengan hati-hati ia menuruni jalan tanjakan yang licin karena hujan. Sesampainya di rumah ia masuk dan mencari ibunya.

"Assalamualaikum, mak. Rangga pulang."

Sang ibu yang sedang membersihkan dapur pun melihat ke arah anaknya, "Waalaikumsalam. Sudah pulang."

"Iya mak."

"Ya sudah sana wudhu dulu, nanti kamu sholat dengan adikmu dulu ya. Emak mau beresin sedikit lagi."

"Iya mak."

Rangga mengambil air wudhu dan mengajak sang adik untuk sholat dzuhur berjamaah. Selesai sholat Rangga membaca buku yang diberikan oleh Mbah Haryo, dia membuka buku yang sudah menguning itu dengan perlahan agar tak robek. Di dalamnya terdapat beberapa catatan hidup dari Mbah Haryo semasa bekerja di kantor kelurahan. Pada tahun 70 an, ia bekerja sebagai sekretaris sebelum akhirnya di akhir tahun 70 dia diangkat menjadi seorang PNS.

Setelahnya dia menikah dengan seorang wanita asal Solo bernama Ratna. Namun sayang saat memiliki anak yang ke empat istrinya meninggal karena penyakit asma yang dideritanya. Kemudian anak-anak Mbah Haryo pergi bekerja di kota, ada yang bekerja di Riau, Kalimantan, Sulawesi dan Bandung. Tapi setelah 4 tahun bekerja dan masing-masing dari mereka menikah, mereka sama sekali tak mengunjunginya.

Mendengar kabar bahwa Mbah Haryo mendapatkan uang pensiun dari pekerjaan dulunya sebagai PNS sebesar 400 juta. Anak-anak Mbah Haryo datang untuk meminta warisan dari dirinya, mendengar pernyataan tersebut tentu membuatnya terkejut hingga anak pertama dan kedua Mbah Haryo melakukan pertengkaran karena urusan warisan. Hati Mbah Haryo sedih karena sudah lama tak menemui anaknya, namun saat bertemu mereka malah membahas masalah warisan.

Rangga membaca buku catatan itu dengan serius hingga dia dikejutkan oleh adiknya.

"Mas Rangga."

"Andi? Kenapa?"

"Mas lagi baca apa sih? Daritadi serius banget."

"Bukan apa-apa kok."

"Hayo Mas Rangga baca yang aneh-aneh ya...."

"Apaan sih kamu. Sudah sana tidur siang."

"Gak mau ah, aku mau main aja sama Yanto."

"Ya sudah sana. Mas mau tidur, jangan diganggu ya."

"Iya."

Rangga kembali ke kamarnya dan mulai tertidur pulas hingga waktu ashar. Saat ashar menjelang, Rangga membantu sang ibu untuk mengemas beberapa baju yang akan diantarkan ke pesanan. Yandi dan Dimas datang menemuinya.

"Assalamualaikum, Rangga." panggil Yandi.

"Waalaikumsalam. Eh kalian, ada apa?" tanya Rangga.

"Ngabuburit yuk sekalian beli makanan."

"Masih jam 4 lho ini, panas ah."

"Yee kamu tuh laki-laki, masa sama panas segini aja udah nyerah."

"Aku sibuk."

"Halah gayamu sibuk. Ayolah." ajak Dimas.

"Iya deh. Aku ajak Andi ya."

"Oke."

Rangga, Dimas, Yandi dan Andi pun pergi jalan-jalan mengelilingi kampung sambil berbincang-bincang. Tak jarang mereka kadang membantu beberapa orang yang lewat dan membutuhkan bantuan, hingga jam setengah 5 tiba.

"Eh sudah mau sore. Pulang yuk." ajak Yandi.

"Iya nih."

"Eh beli makanan dulu, katanya mau buka bareng Mbah Haryo." kata Rangga.

"Wah iya aku ingat. Kalo gitu kita harus cepat."

Mereka memutuskan untuk membeli beberapa makanan, mandi, berpamitan ke orang tua masing-masing dan bergegas ke rumah Mbah Haryo. Mereka sangat senang karena akan berbuka puasa hari pertama dengan suasana yang berbeda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro