Kabayan ke Jakarta 2075

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Alah siah euy. Meni gede gini kota teh," Kabayan berkomentar .

Dia baru sampai kota jakarta. Sebuah daerah istimewa yang pernah jadi ibu kota negara beberapa puluh tahun yang lalu, sampai akhirnya oindah ke Kalimantan.

Dia berdiri di deoan stasiun kereta cepat. Keatas melihat sebuah langit abu, tanpa warna biru sedikit pun, padahal ini jam 12 siang. Bukan, bukan mendung itu adalah awan dan poluis udara. Sangat parah disini, bahkan matahari cahayanya tersaring rapih sampai-sampai tidak terlihat cerah.

Bell berdenting dari sakunya. Itu adalah notifikasi dari smartphone. Ternyata telepon dari ambu, ibunya.

"Kasep, kumana atos nepi teu acan?" Ambu bertanya, seperti selayaknya ibu dia khawatir pada anaknya.

"Atos ambu."

"Alhamdulillah sing suksesnya di jakarta." Ambu terlalu khawatir seperti nya.

"Muhun, atos heula nya ambu. Bade ka kantor."

"Muhun jang, sibg sumangetnya. Mugi-mugi katarima gawe."

"Aamiin. Assalamualaikum, Ambu."

"Waalaikumsalam."

Panggilan itu berhenti. Kabayan mematikan smartphonenya, dan memasukannya lagi ke kantong. Kakinya berjalan ke sebuah stasiun Transjakarta.

Ada banyak orang, terlalu banyak malah. Setengahnya bukan dari jakarta dan tidak tinggal di Jabodetabek, seperti dirinya. Kabayan berdiri, tidak ada kursi kosong di sana. Disana penuh semua bahkan kursi untuk orang tua dan ibu hamilpun begitu, walaupun yang duduk adalah anak muda yang tidak hamil.

Transjakarta datang juga. Sebuah bis dengan dua tingkat. Yang bawahnya berbentuk seperti perahu, bahkan bagian depannya lancip, tidak mirip bus sama sekali. Lebih mirip perahu yang di beri roda.

"Padahal jaman dulu lebih bagus."

Kabayan menaikinya. Duduk di lantai bawah, polusi yerlalu kejam untuk anak desa seperti dirinya. Kendaraan itu melaju di jalur khusus, membuatnya aman lancar dari kemacetan.

Beberapa puluh menit kemudian, sebuah lautan muncul. Lebih mirip seperti bencana banjir yang menenggelamkan rumah-rumah. Tapi memang itu yang terjadi. Walaupun rumah-rumah itu tidak kelihatan karena airnya keruh.

Transjakarta, seperti yang tadi kubilang, berjalan tanpa hambatan. Kendaraan itu menerjang laut itu dengan santainya. Ternyata desainnya yang mirip perahu, bukan tanpa alasan. Transjakarta yang dulunya bis, sekarang adalah perahu berjalan.

Sebuah bangunan berbentuk lingkaran pipih pengapung di air. Transjakarta ke sana dan turunlah semua penumpangnya, tentu saja Kabayan juga.

Itu adalah stasiun, walaupun lebih tepat disebut pelabuhan. Seperti pada umumnya, orang-orang berlalu-lalang. Kabayan ke sebuah pagian tempat perahu yang lebih kecil. Setelah melihat jurusannya, diapun naik.

Itu adalah angkot air. Selayaknya mobil yang mengangkut penumpang dan mentem dengan sangat lama. Tidak ada siapapun kecuali dia dan si sopir arau mungkin nahkoda (?) entahlah.

"Mau interview, mas?" tanya si sopir atau nahkoda. Rupanya dia melihat Kabayan yang memakai kemeja putih rapih dimasukan dan celana bahan hitam, dengan sabuk yang formal, dan tas besar yang isinya sedikit.

"Iya, pa. Susah banget ya cari kerja di zaman sekarang." Jawabnya basa-basi.

"Gak cuma zaman sekarang sih mas. Kakek saya juga yang lahirnya 2005, baru dapet kerja di 2024. Satu tahun dia nganggur. Saya juga jadi sopir atau nelayan ini susahnya bukan maen."

Kabayan merasa tersentil. Dia sudah 1 tahun 6 bulan mengganggur. Padahal niatnya sudah mantap, dia masuk ke Sekolah Menengah Kejuruan. Namun ironisnya lulusannya jadi yang terbanyak di Indonesia. Banyak sekali jurusan yang tidak kompatibel dengan dunia kerja saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro