#73

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #73 | 4970 words |

KAMI MENGIKAT Op yang masih pingsan di atas ranjang dengan Arka masih menyala di atas nakas, lalu buru-buru angkat kaki dari penginapan itu. Dia mungkin akan bebas saat petugas hotel datang untuk bersih-bersih, tetapi setidaknya kami punya waktu agar Op tidak mengekor.

Kami menginap di sebuah motel yang kamarnya bahkan lebih sempit lagi pada malam kedua sampai keempat, kemudian pindah ke semacam barak di mana kami mesti tidur bercampur dengan dua puluh Fervent di malam kelima. Aku mesti membeli topi dan menggelung rambut ke dalam, lantas terus-terusan berlindung di antara Truck dan Alatas agar tidak ada yang memerhatikan kalau aku perempuan. Lalu, kami pindah lagi ke hotel yang lebih waras selama beberapa malam.

Periode bulananku selesai di hari keempat, dan selama empat hari itu para anak cowok lebih berhati-hati di sekitarku. Truck mengurangi dosis marah-marahnya, Alatas lebih menjaga mulutnya, dan Erion jadi penurut sekali.

Di malam terakhir kami tinggal di Kompleks 12, aku terbangun dari tidur dan tak sengaja mencuri dengar percakapan Truck dan Alatas.

"—kenapa aku mesti mengalah lagi?!" Ini suara Truck.

"Leila pasti mencari ibunya," jawab Alatas. "Cuma orang bernama Ted itu yang jadi penghubung mereka. Kita mungkin harus menemui pemberontak—"

"Benar, 'kan, yang dulu pernah kubilang? Cewek itu, demi bertemu keluarganya, dia bakal ambil risiko menyerahkan kita langsung ke Herde!"

"Herde sudah tidak ada—"

"Tapi, T. Ed Company ini salah satu pendirinya!" potong Truck. "Jangan lupa, T. Ed punya sejarah panjang dengan NC! Sekarang, mereka bersama pemberontak karena kepentingan mereka sudah tidak sejalan dengan NC! Para pemberontak itu hanya salah satu alat yang bisa mereka buang kapan saja!"

Kudengar Alatas mendesah berat. "Kita berutang ini pada Leila, Truck. Kita pernah nyaris meninggalkannya untuk mati di bawah reruntuhan."

"Tapi, kita mengeluarkannya—"

"Erion yang mengeluarkannya," sela Alatas. Dalam hati, mau tak mau aku menambahkan, Kau yang mengeluarkanku, Alatas.

"Pokoknya," lanjut pemuda itu lagi, "kau, setidaknya, berutang ini pada Leila."

Bisa kubayangkan Truck memutar bola mata. "Buat apa?!"

"Kau menyuruhku menguburnya hidup-hidup waktu itu." Alatas mengabsen. "Lalu, kau menonjoknya. Dia beberapa kali menyelamatkan bokong kita semua—dari dua orang Corona di Garis Merah, cewek Icore, dan banyak lagi—tapi kau tetap menuduhnya ini-itu. Kau juga pernah beberapa kali mendesakku buat meninggalkannya saat Leila tidur, ketika kita masih di hutan Garis Merah dulu—"

"Yang akhirnya tidak pernah kita lakukan!"

"—aku yakin kau bakal menyeretku di tanah meninggalkan Leila andai saja cewek itu tidak tidur sambil memeluk Erion. Aku juga lumayan yakin waktu itu kau sering memikirkan cara menyingkirkannya tanpa ketahuan oleh kami—"

"Tidak sering!" bantah Truck, lalu suaranya memelan saat menambahkan, "Tapi, memang pernah."

"—dan kita tidak pernah memikirkan berada di posisi Leila sama sekali," pungkas Alatas. Tanpa kusadari, tanganku sudah memeluk lengan Erion yang tidur di sampingku. "Kita bahkan mati-matian bersikap cuek waktu dia menyingkir dan memikirkan masalah sanitasi sendirian—Leila tidak bisa pipis di pohon kayak kita, Truck. Kita juga tidak pernah memikirkan ... tahu, 'kan—masa bulanannya. Kalau kau ingat lagi, Leila benar-benar senang saat ada Meredith, tapi kita malah membujuknya meninggalkan cewek itu. Nah, kau bayangkan saja ada di posisinya selama ini—harus jaga diri bukan cuma dari Fervent lain, tapi juga dari kita."

"Seperti yang sudah pernah kubilang, kadang aku lupa Leila anak perempuan!"

"Intinya, Leila harus menemui Pak Ted itu. Dan ... jatuh ke tangan T. Ed barangkali lebih baik daripada Komandan," kata Alatas lagi.

"Sebenarnya lebih bagus kalau tidak ketemu keduanya," gumam Truck letih. "Tapi, kau benar—cepat atau lambat, kita bakal jatuh ke tangan salah satunya.Ck! Tapi aku masih kesal—T. Ed Company dan Komandan Binta, yang membuat kita kelimpungan begini, justru dipermainkan oleh seorang Teleporter bodoh!"

Belakangan ini, kami harus bepergian secara tepisah di jalanan yang sama—jalan dua-dua agar tidak menonjolkan diri sebagai keempat buronan. Aku dan Erion bahkan sempat kehilangan Alatas dan Truck dua kali dalam kerumunan.

Kami jelas tidak bisa putar balik ke gerbang yang mengarah pada koloni Calor—pasukan Komandan sudah di sana sejak empat malam yang lalu. Dan, kalau ingatan Op yang kubaca itu benar, arah tujuan kami ke gerbang menuju Kompleks 1 sekarang pun telah dihadang oleh kelompok pemberontaknya T. Ed.

Aku tak paham kenapa Alatas dan Truck masih saja berkeras berderap menuju Kompleks 1. Kurasa itu hanya solidaritas lawas dengan kawanan Herde mereka—kelompok pemberontak lainnya, yang lebih amatir, yang hanya dikoordinir oleh beberapa remaja, di mana Raios dan Giok termasuk di dalamnya.

Setiap kali aku mencoba mengungkit bahwa barangkali Raios sungguhan anak Komandan, dan cowok itu bisa saja cuma menjadikan kawanan Herde-nya sendiri sebagai alat untuk membantu daddy-nya, Alatas dan Truck jadi memasang tatapan hampa seperti menolak mendengar. Mereka tampak lebih senang berpegang pada ketidakpastian di mana Raios berposisi.

Kurasa, itulah yang terjadi saat seseorang tidak lagi punya tujuan atau rutinitas untuk dilakukan—Alatas dan Truck semata digerakkan kepercayaan mereka yang sudah usang, bahwa sekawanan Fervent remaja bisa balas menginvasi NC di Kompleks Sentral. Bagaimana pun, impian itulah yang mengawali usaha mereka saat kabur dari Herde. Sedangkan Erion hanya terseret oleh arus kedua lelaki itu.

Aku tidak punya suara di antara mereka—setiap kali aku mencoba memberi mereka pengertian, Alatas akan jadi diam, dan Truck mulai melayangkan tatapan khas yang mengatakan dengan jelas: Kau tidak pernah ada di Herde. Kau anak Kompleks. Kau pernah punya rumah, makanan tersaji di atas meja, dan orang tua yang lengkap selama 17 tahun hidupmu. Kau tidak tahu apa-apa di sini.

Meski mulutnya sudah berhenti mengatakan hal itu kepadaku secara langsung, tatapan mata Truck masih meneriakkannya keras-keras. Dan, dengan fakta bahwa ayahku pernah berada di antara orang-orang yang merenggut mereka bertiga dari keluarga masing-masing, suaraku makin terkesan tak penting.

Aku mengerjap lemah, terkantuk-kantuk. Aku tertidur lagi, mungkin sejam, lalu terbangun kembali saat lutut Erion menghantam daguku. Mimpi yang mengerikan melandanya—ada Komandan di sana, menyemburkan api dari kedua lubang hidungnya, membakar hotel saat kami sedang makan. Erion dilanda dilema—apakah dia harus menghabiskan burgernya dulu atau menghajar Komandan. Dia memutuskan untuk melakukan keduanya bersamaan—satu-satunya alasan lututnya menghujam wajahku sekarang.

Begitu kukembalikan posisi kepala Erion ke bantal, mimpi itu usai. Tak lama kemudian, dia membuka matanya, menguap, lalu meregangkan badan.

Sambil mengerjap lemas, mataku menyisir kamar. Semua bawaan kami sudah beres dalam tas-tas, siap dibawa. Alatas dan Truck duduk di sofa, masih meraba-raba jalur yang mesti kami tempuh dengan risiko celaka sekecil mungkin.

"—jalan dua-dua seperti kemarin," kata Truck. "Ada terlalu banyak fasilitas NC di timur. Paling aman gerbang utara, hanya ada proyek terbengkalai di situ—"

"Sebenarnya," potongku sampai kedua pemuda itu menoleh, "aku berpikiran kalau ... mungkin lebih baik kalau kita menghindari gerbang portal. Maksudku, kalau kita berjalan sedikit ke arah barat ... barat laut, misal, kita mungkin bisa menghindari kelompok pemberontak yang menghadang kita."

Para anak cowok menampakkan ekspresi yang hampir serupa: alis bertaut, mata lurus kepadaku, dan mulut yang membentuk ha? tanpa suara.

Terus gimana? Menembus tembok? tanya Erion sinis. Anak itu kemudian berjengit. Tunggu, kau tidak mau menyuruhku menembus tembok sungguhan, 'kan?

Truck menyuarakan hal yang serupa. "Lalu, keluar lewat mana? Phantom tidak punya fungsi menembus benda padat seperti namanya—"

"Benarkah? Phantom tidak melakukan itu?" Alatas terdengar terkejut. Dia kemudian melihat Erion dengan tatapan terluka, sementara bocah itu menyengir.

"Levitasi?" usulku.

"Tembok Kompleks terlalu tinggi," tukas Truck. "Jika Erion melakukan kesalahan manuver, tubuh kita mungkin remuk begitu sampai tanah."

"Tapi, Erion sudah sering melempar-lempar kita seperti pesawat kertas."

"Tidak pernah untuk mencapai atau jatuh dari ketinggian 120 kaki—setinggi itulah rata-rata tembok Kompleks setidaknya." Truck berdecak. "Energi Phantom Erion memang besar, tapi kontrolnya lemah. Kadang, Erion hanya mampu mengendalikan beberapa bagian dari badan kita. Asumsikan Erion mampu memperlambat kejatuhan kita berempat sekaligus, dan kita selamat dari dampak inersia, mendarat di atas kedua kaki seperti kucing dari ketinggian seratus kaki tetap tidak semudah kelihatannya."

Aku mengerjap. "Inersia—kelembaman?"

"Semisal, dia hanya mengangkat badanmu di bagian torso." Truck bergidik ngeri seolah bisa merasakan apa yang selama ini kami lewatkan. "Gravitasi akan mengakselerasi kejatuhanmu. Bahkan jika badanmu berhenti jatuh, bagian atas tubuhmu dari leher ke kepala akan tetap melaju ke bawah—seperti menginjak rem mobil tiba-tiba, sabuk pengaman mengencang di dada, tapi badanmu tetap terbawa ke depan—itulah inersia. Jika begitu, kita entah akan gegar otak atau patah leher."

Tanpa sadar, aku memeluk lutut di atas tempat tidur. Ingatanku menelaah lagi saat Erion membantai sekoloni Icore di pesisir pantai. Beberapa cewek itu memang mati sebelum menghantam tanah, dengan leher atau punggung pengkor saat Erion melempar-lemparkan mereka. Baru aku paham kenapa Truck anti sekali dilevitasi oleh Phantom Erion. Salah besar aku menganggap Truck takut ketinggian selama ini—yang dia waspadai adalah Phantom Erion sendiri.

Alatas menunjuk Erion dan berkata penuh nada peringatan dengan suara bergetar, "Kalau begitu, tidak boleh mengangkat kami lagi pakai Phantom."

Erion mengangguk patuh, tetapi menambahkan dalam hati, Kecuali terpaksa.

"Kalau begitu, kita pakai cara yang pernah dilakukan para pemberontak di Kompleks 4," usulku, setengah mati mencoba terdengar percaya diri. "Ingat saat Alatas tertembak? Komandan menyinggung sesuatu tentang penyerangan tembok selatan, dan dia menyuruh kita menghentikannya sebagai ganti pengobatan Alatas."

Truck akhirnya menyunggingkan senyum lebar. "Peledak."

"Tunggu," sela Alatas. Tangannya seperti menyetopku. "Kau mau meledakkan tembok itu ... sendirian?"

Aku mengangkat bahu. "Bisa kucoba."

"Tapi, kau jarang menggunakan Corona-mu."

"Yang mana keputusan bagus," sela Truck. "Kau tidak ingat bagaimana dia menyala seperti bintang waktu kita pertama menemukannya? Cahayanya sampai mengundang Icore! Itu bukan lagi low explosive, tapi sudah mendekati fusi nuklir!"

"Ledakan sebesar itu bisa membuat Leila sendiri terbunuh, Truck!"

"Tidak, aku bisa mengendalikannya!" potongku setegas mungkin. "Aku sudah menggunakan Peledak beberapa kali sebelum ini—begitulah caraku bertahan saat ayahku dan para Agen Penyemai peliharaan Binta mengejarku!"

"Bagaimana kalau NC keburu mengepung sebelum kita kabur?" tuntut Alatas. "Ledakan besar pasti setidaknya menarik perhatian helikopter mereka, atau drone."

"Setidaknya kita harus mencoba ini," kataku lagi. "Kalau kita tertangkap para pemberontak, entah apa yang akan terjadi. Sir Ted sendiri belum tentu di sini."

Alatas masih tampak tak menyukai rencana itu, tetapi Truck dan aku sama keras kepalanya. Maka, setelah mandi dan makan, kami bersiap meninggalkan hotel sambil meraba-raba rencana baru. Aku dan Alatas jalan lebih dulu, sementara Truck dan Erion menjaga jarak beberapa meter di belakang kami.

"Kau yakin tidak mau mencoba menemui para pemberontak dulu?" ungkit Alatas. Matanya menelaah orang-orang berseragam patroli NC dengan gugup.

"Tidak perlu," jawabku sambil menyembunyikan keraguan. "Kita tak pernah tahu apa yang mereka inginkan dari kita. Dan, Embre mewanti-wantiku untuk tidak memercayai Sir Ted sepenuhnya. Lagipula, Op saja bisa lolos, kenapa kita tidak?"

"Op lolos dari Binta dan T. Ed karena dia memang sudah di dalam kedua kubu sejak awal," ungkit Alatas lagi. "Menurutku, kita tidak bisa kabur selamanya."

"Tidak harus selamanya," kataku. "Hanya sampai kita tiba di Komples 1, 'kan?"—Sebelum Alatas mencari celah lagi untuk membujukku menghentikan rencana dadakan kami meledakkan tembok, aku bertanya untuk mengalihkannya, "Tidakkah Op seharusnya ikut rencana kalian juga mengambil alih Kompleks 1 dan Kompleks Sentral bersama Raios? Kalian semua satu Herde, 'kan?"

Alatas menggeleng. "Para Teleporter tidak pernah bilang mereka ikut rencana Raios. Mereka hanya setuju membantu teman-teman se-Herde masuk ke wilayah ini. Kukira, kau mungkin menemukan ingatannya saat di dalam kepala Op?"

Aku menggeleng sambil bergidik. "Aku tak bertahan lama dalam kepalanya. Isi pikirannya benar-benar random, seperti dirangkai oleh seorang penulis yang tidak tahu harus menulis apa."

Alatas mengangkat kedua alisnya. Dengan nada tertarik, dan tubuhnya mencondong ke arahku, dia bertanya, "Bagaimana dengan isi kepalaku?"

Untuk alasan yang tak kuketahui, wajahku terasa panas. "Entahlah."

"Tapi, kau pernah masuk ke pikiranku. Bagaimana rasanya—"

"Aku lupa!" Kusikut perutnya sampai pemuda itu menjaga jarak.

"Kenapa kalian lelet sekali?" desis Truck yang tahu-tahu sudah berada di belakang kami. "Cepat sedikit!"

"Erion—tukar tempat!" desakku seraya menarik anak itu sampai ke sisi Alatas, sementara aku mundur ke samping Truck. "Alatas jalannnya lelet."

Alatas menautkan alisnya tak percaya, tetapi dia tidak sempat protes lantaran Erion menariknya. Langkah anak itu, meski kecil-kecil, begitu ringan dan lincah. Mendadak saja, jarak kami sudah terpaut tiga meter.

Lalu, kudapati Truck tengah menelaahku. Matanya menyorot curiga. Aku hampir bertanya apakah dia ingin menghabiskan waktu dalam jalan kaki ini dengan adu mulut atau saling sikut, mengingat kami jarang sekali bersisian, tetapi lelaki itu justru memuntahkan pikiran yang mengusiknya begitu saja: "Kau naksir Alatas."

Lidahku seperti terlipat dua. "Enak saja! A-aku—aku tidak—"

"Tidak menganggapnya lebih dari cowok asing yang secara kebetulan mengeluarkanmu dari reruntuhan?" terkanya dengan wajah meremehkan.

"Truck—"

"Lebih klise lagi, tidak menganggapnya lebih dari teman?" lanjut Truck tanpa mengacuhkanku. "Setelah drama tangisan waktu di sarang Calor, dan beberapa hari belakangan kau tidak bisa benar-benar menatap matanya, kaukira aku bakal percaya alasan burik macam itu?"

"Aku juga sempat menangisimu di sarang Calor—tidak ada bedanya!"

"Jelas ada bedanya," omel Truck. "Sampai Erion saja paham."

"Hah?"

"Kita semua tahu di sini—Alatas dan kau sekarang taksir-taksiran."

Aku berusaha menukas, "Dengar, ya—" lalu kehilangan kata-kata. Benakku jumpalitan mencari kalimat agar Truck menarik tuduhannya. Namun, otakku buntu.

"Lupakan, deh," desah Truck kemudian sembari memijat pangkal hidungnya dengan lelah. "Apa yang kupikirkan ... ikut campur masalah percintaan anak muda bolot seperti kalian—"

"Truck." Aku mengingatkannya. "Kau seumuranku."

"Terserahlah!"

"Lucu sekali," dengkusku. "Kau ratusan kali mencoba membunuhku—"

"Cuma empat kali."

"—dan sekarang berusaha meyakinkanku kalau aku naksir Alatas? Apa itu semacam restu aku boleh di dekat kalian dalam keadaan bernapas?"

Truck mengusap matanya. "Asal kalian tidak bermesraan di depan mukaku."

"Karena kau jomblo dan sensitif?" gumamku.

"Karena aku jijik lihat kenorakan kalian!"

"Itu dinamakan sensitivitas jomblo, Truck."

Truck seperti hendak menamparku, jadi aku buru-buru tutup mulut.

Begitu kami sudah mengambil jarak aman dari peradaban Kompleks 12 dan berada di jalan beraspal retak-retak, barulah kami berempat bisa jalan lebih dekat. Jalan ini besar, tanpa trotoar, dan dikepung hutan yang renggang. Sesekali, mobil truk enam belas roda atau mobil box melintas, memaksa kami menyingkir ke tepi.

"Pabrik apa itu?" tanya Alatas seraya menelaah cerobong yang mengepulkan asap pekat di kejauhan. Beberapa bangunan yang lebih tinggi tampak benderang di bagian depannya, tetapi gelap dan dingin bagian belakangnya—seolah bangunan itu hanya dipakai separuh.

"Dulu di sini ada tempat produksi Arka, proyek artificial night, dan proyek gravitasi artificial." Aku mengingat-ingat catatan yang Embre berikan. "Lalu semua itu dipindahkan ke Kompleks Sentral. Tempat ini dibangun ulang untuk proyek botanikal atau apalah itu, tapi mandek karena alasan yang tidak diketahui."

"Kalau diberhentikan, kenapa pabrik-pabrik itu tampak aktif?" tanya Truck.

Aku mengangkat bahu. "Yang jelas, wilayah ini terbengkalai, hanya ada sedikit penjaga yang tidak terlalu efektif di sini. Jalur ini sering digunakan para Fervent buruh untuk kabur dari Kompleks 12."

"Sinikan catatan Embre," pinta Truck ketika jalan beraspal berakhir buntu.

Sementara Truck menelaah keseluruhan tulisan tangan Embre, Erion memindai hutan dengan X. Anak itu tiba-tiba terlompat ke arahku. Untuk sesaat, kami ikut menegang saat melihat rerumputan bergemeresik.

Lalu, seekor kucing kelabu-putih yang amat gempal dan berhidung pesek melompat keluar dari kegelapan. Matanya berkilat menatap kami dalam kegelapan.

"Oh, kucing kecil!" seru Alatas gembira, tampaknya buta akan ukuran gumpalan bulu hidup itu. Dia mendekati si kucing, mengelusnya dengan sayang. "Kaummu sudah sangat jarang ada sekarang. Kau peliharaan seseorang dekat sini?"

Entah kucing itu memang peliharaan buruh pabrik atau apa. Bulu kelabunya agak botak di leher dan bulu putihnya kotor sampai hampir kelabu seolah ia habis menjalani pertempuran dengan hewan liar lain, tetapi dia benar-benar gemuk seolah seumur hidupnya hanya mengenal daging.

Aku berjengit mundur ketika Alatas menggendong kucing itu ke hadapan kami. Mata Alatas berbinar hampir sama terangnya dengan mata keemasan si kucing. Bedanya, kucing itu punya tampang hampir sejutek Truck. "Boleh kita—"

"Tidak ada kucing peliharaan!" hardik Truck seketika.

Mereka seolah pernah melalui percakapan ini jutaan kali. Jadi, aku bertanya, "Alatas sudah pernah mencoba memungut kucing?"

"Enam kali," jawab Truck sambil masih mengawasi si kucing dengan tajam. "Tujuh, kalau Erion dihitung."

Hei! protes anak itu sambil memukulkan senter pada punggung tangan Truck.

"Lepaskan," perintah Truck. "Kita tidak ada waktu untuk binatang peliharaan!"

"Dia pasti bisa cari makan sendiri," rengek Alatas. "Tak akan merepotkan!"

"Kubilang tidak, ya tidak!" Truck dan bola bulu besar itu saling tatap sebelum kemudian si kucing menguap lebar, memamerkan taring dan lidahnya.

"Aku harus setuju dengan Truck untuk yang ini," kataku sambil bergidik saat kucing itu berkedip dengan pandangan malas. "Aku tidak begitu menyukai hewan."

Seperti menggodaku, kucing itu melompat turun dari pelukan Alatas, lalu menggesekkan bagian samping tubuhnya ke kakiku sampai aku terlompat.

"Singkirkan!" Aku melompat-lompat. Rambut di tanganku berdiri saat merasakan tekstur bulunya yang kasar dengan lumpur mengerak. "Ambil dia!"

Alatas menggendong kembali kucing itu sambil membelalakkan matanya terkejut. "Bagaimana bisa kau tidak menyukai kucing? Dia imut dan galak di saat bersamaan! Persis sepertimu—"

Aku memelototinya sampai Alatas menundukkan kepala dan tutup mulut.

Dengan helaan napas pedih, Alatas melepaskan kucing itu, yang seketika melompat turun dan melenggok menyusuri jalan beraspal ke arah kami datang.

Erion menatap liar ke sekitar saat kami melompati pagar kawat yang mengurung hutan. Banyak sekali yang bergerak di dalam hutan, beri tahu Erion.

"Mungkin itu Fervent yang mencoba kabur dari sini, kayak kita," kataku.

Tak lama kemudian, kami melihat tupai. Banyak tupai. Mereka berperilaku layaknya kucing tadi—mengawasi dari kejauhan seperti menilai kami berempat. Seekor kelinci hitam berlari memanjati pohon seperti cheetah, dan sekawanan kunang-kunang menyala kemerahan sewarna darah di antara semak tajam. Suara jangkrik dan hewan malam yang sudah berbulan-bulan tidak kulihat terdengar.

Makin jauh, makin tak masuk akal. Kami membaui aroma lavender, rawa, dan melati silih berganti. Dedaunan di atas kepala terus bergemerisik bahkan di saat tidak ada angin atau hewan melompat yang melewatinya. Buah-buahan kecil yang tak kukenali jenisnya terus berjatuhan ke tanah bersama daun kering berbintik.

"Ah, ini dia! Ferventic Nature Preserve." Truck membaca catatan Embre susah payah di bawah sorot senter Erion. "Botanical, zoological, & entomological ...."

Alatas berdecak. "Aku tidak bisa Bahasa Jerman, Truck."

Truck mengabaikan kebebalan Alatas dan terus membaca. Dia tak mengangkat pandangannya dari kertas-kertas itu sampai tersandung-sandung dan nyaris jatuh.

"Apa ini tempat di mana NC memelihara semua tumbuhan dan hewan yang jadi punya kekuatan super juga?" tanyaku. "Kalian bilang, hal-hal itu pernah ada dulu, tapi NC memusnahkan semuanya."

"Masuk akal," tanggap Truck. "Mengingat semua kejahatan NC, tentu mereka tidak pernah benar-benar memusnahkannya. Mereka pasti melakukan serangkaian ujicoba, memanfaatkannya seperti mereka membuat Arka dari Peredam."

Alatas menatap gugup ke sekitar kakinya. "Kalau benar di sini ada tumbuhan mutan ... bukankah berbahaya? Aku pernah mendengar tentang jamur beracun yang bisa membuat badan menggelembung dan meletus hanya dengan menyentuhnya."

"Mycology ada di hutan satunya, di sisi timur," kata Truck tanpa mengalihkan pandang dari catatan Embre. "Di sana juga mereka memelihara semua spesies tumbuhan dan jamur yang digunakan sebagai bahan baku PF13. Tentu saja tidak ada yang menjejakkan kaki di sana kecuali orang NC. Hutan barat yang ini kurang berbahaya—kalau tidak, mana mungkin para Fervent selalu kabur lewat sini ...." Truck menyipitkan matanya pada bagian bawah catatan itu. "Eh ... ternyata tidak terlalu aman. Syarat utama memasuki hutan ini adalah memiliki Cyone."

"Kenapa?" tanyaku waswas. "Ada hewan-hewan karnivora gila?"

"Hewannya tidak masalah. Mereka jinak. Wildlife yang menyimpan hewan karnivora ganas juga ada di sisi Timur. Tapi, di sini memang ada beberapa jenis tumbuhan beracun. Para Fervent yang kabur lewat sini selalu menyewa seorang Cyone bersama mereka."

Alatas mengangkat bahu. "Kita punya tiga Cyone di sini."

"Salah satunya egois—hanya berfungsi buat dirinya sendiri," komentar Truck tanpa mengacuhkan rengutanku. "Dan yang satu lagi tidak berguna."

Alatas dan aku berjalan lebih dulu menjauhi Truck dan lidah beracunnya. Namun, tetap saja kami tidak bisa terlalu jauh dari senter Erion. Sesekali aku berjengit saat menginjak lumpur, mengira aku melangkah di atas moluska mutan. Kakiku bahkan hampir menginjak seekor trenggiling ....

"Hei, lihat, ada *)Igvin!" seru Alatas seraya mengejar trenggiling itu.

Aku bertanya, "Siapa Igvin?"

"Entahlah." Alatas mengangkat bahu. Matanya melirik Truck, "Tapi kalau aku bisa punya trenggiling peliharaan, aku bakal menamainya Igvin—"

"Tidak ada hewan peliharaan!" bentak Truck sampai sekawanan burung bubar terbang dari pohon di dekat kami.

Alatas menyaksikan dengan kecewa saat trenggiling itu menggulung tubuhnya dan menyaru dalam kegelapan—hewan itu nyaris tak bisa dibedakan dengan buah-buah cokelat bersisik di sekitarnya ... kecuali buah-buah bersisik itu bukan buah.

"Kucing tidak boleh." Alatas menggerutu. "Trenggiling tidak boleh."

Aku mau pelihara beruang gunung, oceh Erion. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, kita sudah punya Truck.

Aku berbalik untuk mengajak Erion tos sambil tertawa. Raut penasaran Truck dan Alatas sungguh tak ternilai harganya. Mulutku gatal sekali ingin memberi tahu Truck perihal ucapan Erion, tetapi aku tidak mau jadi orang pertama yang kena amukan Mama Beruang.

"Hei ..." kata Truck seraya mendekatkan catatan Embre kepada kami. "Ini tumbuhan yang Embre bilang mesti paling kita waspadai—dia menggambarnya seperti bocah SD! Aku tidak bisa memutuskan apakah ini sulur gemuk atau kantung semar kurus dengan rambut gimbal—"

Sebercak noda kelabu jatuh dari langit, tersaji panas-panas langsung dari bagian belakang tubuh seekor burung tepat di punggung tangan Truck.

"Burung gob—" Kututup telinga Erion sementara Truck menyumpah ke langit.

Seolah ditantang, sebercak lagi jatuh di atas kening Truck. Lalu, satu lagi, yang kemudian meleleh ke lekuk hidungnya sampai aku menjerit jijik.

"Tidak—yang ini cuma air!" bantah Truck seraya menyeka wajahnya.

"Truck," sela Alatas. "Tidak perlu malu kejatuhan eek burung tiga kali. Setidaknya yang terbang itu bukan sapi—"

Lalu, Alatas juga kena. Lalu aku.

Lalu kami sadar bahwa yang berjatuhan kali ini memang hanya air. Air lengket yang berbau seolah sekawanan burung entah bagaimana berhasil melakukan terobosan dengan mencampurkan tinja mereka dengan awan mendung.

"Gerimis?" tanyaku terkejut.

"Ini pertama kalinya dalam enam bulan belakangan," gumam Truck takjub.

Kami berlari dengan dipimpin Erion. Tidak ada tempat untuk berteduh. Hutan ini tidak rapat dan tetes air seolah terus menemukan jalannya menerobos kanopi renggang pepohonan. Walau hanya gerimis, tetapi bau busuk airnya membuat napas sesak dan merusak kertas catatan Embre sampai tak lagi terbaca.

Seberkas cahaya senter lain bersinggungan dengan cahaya senter Erion, dan kami buru-buru berhenti. Erion mematikan senternya, lantas mengaktifkan Phantom. Kami mesti merapat ke sisinya dalam kegelapan, menyaksikan dengan ngeri saat sekumpulan orang menyusuri hutan dengan senjata api siaga.

"—ini!" seru salah satunya dengan suara teredam. "Cahaya itu dari sini!"

"Fervent liar? Lagi?!" tanya yang seorang lagi. Suaranya juga terdengar teredam, tetapi aku merasa mengenalinya.

"Tapi ini bukan keempat Fervent buronan itu, 'kan?" teriak satu lagi dengan panik. "Mereka akan menuju gerbang, 'kan?! Tidak ke sini, kan?!"

Para pemberontak, bisik Erion ke benakku. Anak itu mengirimkan gambaran yang dilihat oleh mata X-nya padaku, memperjelas sosok-sosok itu yang semuanya menggunakan masker dan mengenakan pakaian seragam: rompi dan celana loreng hijau-cokelat. Op mengenakan celana yang sama waktu menemui kami.

"Harusnya kita bawa Arka!" protes pria pertama. "Vre! Kembali ke markas! Ambil Arka! Entah ini Fervent buronan atau Fervent buruh biasa yang mencoba kabur—pokoknya, panggil bantuan!"

Kami memanfaatkan kericuhan mereka untuk mengendap di atas tanah becek. Erion menahan napas saat membimbing langkah kami menjauhi para pemberontak.

Setelah kami telah mengambil jarak cukup jauh dari orang-orang itu, barulah kami berlari dan Erion menyalakan senter lagi. Aku mengusap air hujan dari wajahku. Rambutku semerbak oleh bau busuk. Kakiku terus mempercepat langkahnya seolah aku bisa kabur dari rambutku sendiri.

Saat kami berhenti sebentar untuk mengatur napas, aku membaui aroma lain. Awalnya, kupikir ini masih air hujan. Aku tersedak, jatuh terbungkuk, dan muntah.

"Kenapa?!" pekik Alatas. Satu tangannya memegangi rambutku ke belakang sementara aku mengeluarkan isi perut ke tanah. "Ada apa dengan Leila?!"

Mataku mulai dipenuhi bercak kekuningan, tetapi saat Alatas dan Erion menyeretku, aku berhasil mengerjap dan melihat Truck menatap sesuatu di antara belukar. Pria itu buru-buru menutup hidungnya dan tersaruk mundur ke arah kami.

"Tumbuhan ... jamur—halusinogen—itu—" Truck tersengal. Dia meludah-ludah seolah lidahnya mengecap bau busuknya. "Mereka tumbuh liar di sana!"

"Bagaimana bisa?!"

"Mana kutahu?!"

Aku mencoba bangkit saat sesosok perempuan muda menembus hutan dan menyeringai ke arahku. Jeritanku pecah ketika sekujur tubuh gadis itu menyala dengan percik-percik listrik, matanya berkilat secara harfiah. Sudah sangat lama aku tak melihatnya sejak Raios menembak mati gadis itu, tetapi aku tidak mungkin salah mengenali wajah Amy, si gadis Icore yang mengejar kami di Garis Merah.

Aku menelungkup ke jaket Alatas dan mencengkram tangan Erion kuat-kuat sambil memekik keras. Suara para cowok dan gerimis tak lagi tertangkap oleh telingaku, tetapi aku mendengar suara gadis itu: "Kalau saja kau tidak masuk ke kepalaku saat itu, tembakan Raios takkan mengenaiku; kau membunuhku ...."

Mataku mengintip dari balik lengan jaket Alatas hanya untuk menyaksikan mayat ayahku di antara belukar. Tangannya terentang tanpa daya, kepalanya terteleng, lubang peluru di keningnya—matanya menatap hampa ke arahku dan bibirnya bergerak lemah untuk mengatakan, "Andai saja kau tak pernah lahir, Leila, aku tak perlu berakhir seperti ini."

Truck menyumpal mulutku dengan robekan kain untuk meredam jeritanku, lantas menggotongku di atas bahunya. Dia membawaku berlari, menjauhi hantu Amy dan ayah. Lalu, segerombolan orang menyeruak dari kegelapan hutan—para pemberontak. Mereka berlari mengejar kami, membuyarkan citra para hantu.

"Berhenti!" teriak para pemberontak itu. "Jangan ke sana!"

Kepalaku pening. Bahu Truck menumbuk perutku berkali-kali. Namun, guncangan ini menjernihkan penglihatanku. Jantungku bertalu-talu. Pikiranku terbuka, dan aku merasakan kebahagiaan besar saat melihat para pengejar kami mulai tertinggal. Kuludahkan sumpalan kain Truck sampai terlepas dari mulutku.

"Kalian tidak bisa mendapatkan kami!" teriakku seraya memberi para pemberontak itu salah satu jari terbaik yang kupunya. "Sampaikan pada Sir Ted bahwa program cacatnya telah membunuh sahabatnya! Dia membunuh—" Aku muntah ke baju Truck sebelum sempat mengucapkan 'ayahku'.

Leila! Kau kenapa?! Kudengar suara Erion di dalam kepalaku. Kau aneh!

"Oh, Dik, kau makan banyak, tapi tidak besar-besar juga!" racauku. Kuusap-usap punggung Truck yang kotor. "Mama, maaf aku memuntahimu!"

Truck menjatuhkanku ke tanah. Dia dan Alatas mengepungku seperti lalat yang mengerubungi sampah. Di belakang mereka, Erion mengaktifkan Phantom-nya lagi sampai aku bersorak kecil, "Yeay!" sambil bertepuk tangan.

Truck mengambil sebotol air, lalu menyiramkannya ke wajahku. Mereka menunggu sambil mengamatiku dengan cemas sampai, beberapa menit kemudian, aku jatuh menelungkup dan mulai mengelu-elukan perutku.

Perutku terasa kacau seolah lambung dan usus besarku mencoba bertukar tempat. Detak jantungku masih begitu cepat sampai-sampai aku bisa merasakannya di balik telinga. Sesekali aku masih terkekeh sendiri karena teringat para pemberontak yang tersandung-sandung mengejar kami, lalu meringis lagi.

"—PF13?" Kudengar Alatas bertanya. "Tumbuhan yang tadi itu?"

"Mungkin. Ini menjelaskan perubahan mood dan euforianya."

"Hanya karena baunya?!"

Alatas membantuku perlahan untuk meneguk air botolan. Aku tersedak dan sebagian besar air yang hampir tertelan pun keluar dari hidungku. "Aku mau pulang," isakku nelangsa seraya menekan perut. "Aku ingin ibuku ...."

"Ayo, kita berdiri dulu," ajak Alatas seraya menarikku. "Kau bisa jalan?"

Aku mengangguk lemah. Sensasi aneh dari depresi dan euforia mendadak itu surut perlahan sampai aku tak bisa mengingat lagi alasanku tertawa dan menjerit barusan. Kepalaku berdenyut, tetapi kupaksakan diriku untuk tetap bergerak sambil masih disangga oleh Alatas dan dituntun oleh Erion.

Begitu aku berhasil mengendalikan diriku lagi, kurasakan tangan Alatas gemetaran di lenganku. Aku menoleh, dan melihat wajahnya mulai menghijau. Alisnya mengerut letih, dan matanya menatap hampa ke depan.

"Alatas?" panggilku.

"Ya?" jawabnya dengan napas berat. Bagian bawah matanya mulai menghitam.

Saat aku akan menepuk pipinya untuk memastikannya masih sadar, pegangan Erion terlepas dari tanganku. Anak itu terseok di lumpur, jari tangannya menggaruk-garuk bagian depan lehernya yang kemerahan.

"Eri—"

"Aku menginjak sesuatu saat kita berlari tadi, tapi kudiamkan saja karena kupikir bukan apa-apa," ucap Truck sambil tersengal. Ini pertama kalinya aku mendengar Truck bicara sambil gemetar. Ketika aku menoleh, pria itu sudah jatuh bersimpuh. Dia menggulung kain celananya, memperlihatkan sebelah sepatunya yang meleleh seolah habis ditenggelamkan dalam cairan asam. Dia melepaskan sepatunya yang hancur dan memperlihatkan tiga lubang kecil di atas mata kakinya. "Sesuatu yang kuinjak itu ternyata menggigitku."

Aku berjongkok dan memeriksanya. Ada sulur hijau kecil yang meliliti jari kakinya, beriak dan bergerak menggelombang seperti anak ular, tetapi aku yakin benar itu bukan hewan.

Dengan tangkai kayu kering, kusingkirkan sulur-sulur aneh itu, yang langsung bergerak mengular di tanah seperti hidup. Ia bergerak menuju seekor anak trenggiling yang menggulung dan mulai melilitinya. Duri-duri menyeruak keluar pada kedua ujung sulur, lantas menancap pada kulit bersisik trenggiling yang semestinya tak tertembus semudah itu. Sisik-sisiknya mulai meleleh seperti kerak lumpur yang mencair, dan hewan penggulung itu pun mengurai badannya. Ia mati hampir seketika dengan tiga lubang kecil di punggungnya.

"Ikat," perintah Truck seraya mencengkram betisnya kuat. "Ini beracun. Ikat kakiku ... untuk memperlambat racunnya ...."

Tanganku masih gemetaran, Alatas tampak setengah sadar, dan leher Erion mulai membengkak, tetapi kami sebaik mungkin bekerja bertiga untuk mengikat kaki Truck dengan robekan kain dari lengan bajunya dan menarik kencang.

"Apakah pohon-pohon itu memang melengkung begitu?" tanya Truck sambil mengerjap ke sekitar. Kelopak matanya turun, matanya berputar ke atas, dan pria itu pun jatuh ke tanah dengan buih putih meleleh dari mulutnya.

"Truck ...?" panggil Alatas lemah. "Truck—ayolah!"

Begitu Truck tak sadarkan diri, Erion mulai memuntahkan cairan hijau ke tanah. Alatas melemas di sebelahku dengan titik peluh memenuhi wajahnya.

"Cyone Truck ..." lirihku ngeri sembari melirik mayat trenggiling kecil yang masih dililiti oleh sulur-sulur itu. "Cyone-nya tidak lagi menjaga kita."

"Menjaga?" tanya Alatas. "Dari apa?"

Aku menatap sekitar. Air hujan cemar, tumbuhan beracun ... bahkan Op menyebutkan banyak sekali radiasi di dalam hutan penuh Fervent. Saat kami pertama kali bertemu Embre, dia memperingatkan Truck yang sedang dehidrasi bahwa Cyone-nya bekerja dua kali lipat saat itu. Kalau Truck memaksakan dirinya, dia justru akan membunuh kami. Inilah maksudnya. Saat ini Truck berada di ambang kematian—racunnya terus naik. Kakinya tampak keunguan pada bekas gigitan, lalu warna ungu itu mulai naik perlahan.

"Racun itu bekerja lebih lambat; satu-satunya alasan Truck tidak mati seketika adalah Cyone-nya," kataku dengan napas yang mulai sesak. "Cyone-nya berada pada titik di mana ia bekerja maksimal untuk memperlambat racun itu dan tak lagi bekerja untuk kita bertiga. Dengan kata lain, kita tak terlindung di sini; tanpa Cyone Truck, di tengah-tengah hamparan tanaman beracun dan lahan radioaktif."

Aku dan Alatas menggotong Truck berdua. Erion, dengan leher dan lengan bengkak kemerahan, memimpin jalan. Cahaya senternya bergetar. Sesekali, aku dan Alatas berteriak bergantian, meminta tolong sambil terseok-seok.

Lalu, Alatas terjatuh, menyeretku serta ke tanah dengan Truck menimpa kami.

Erion menyorot kami dengan senternya yang makin redup. Wajah Alatas kehilangan rona. Bagian bawah mata kanannya bengkak dan nadi pada lehernya tampak menonjol. Kakinya berkedut aneh.

"Sana." Alatas mengedik ke arahku. "Duluan ...."

Dengan susah payah, kutarik Alatas. Kupaksakan diriku mengangkut Truck dan Alatas sekaligus, tetapi kami malah jatuh bertiga ke lumpur. Saat aku akan mencoba lagi, Alatas menepisku. Pandangan matanya tampak berjarak.

Dia melirik kakinya yang berhenti berkedut. Saat itulah aku tahu bahwa pemuda itu sudah tidak bisa berdiri.

Aku menahan tangis. "A, aku bisa membawa kalian—"

"Kami akan memperlambat kalian," sengal Alatas. Kelopak matanya yang satu lagi menggelap dan bibirnya membiru. Ada bintik-bintik keunguan menonjol di lengannya. "Pergilah, Leila. Sana, bawa Erion. Aku—akan jaga Truck di sini."

"Tapi—"

Alatas mendorongku sampai jatuh ke kaki Erion. Pemuda itu berteriak frustrasi dan menggunakan sisa tenaga terakhirnya untuk memanggil bongkahan besi dari tanah. Besi-besi berkarat menyatukan dirinya dan membentuk dinding yang menyekat di antara kami, lalu membentuk atap di atas kepala Alatas dan Truck. Akar-akar bertonjolan keluar dengan cepat, merayap pada logam seperti hewan melata, seolah mereka mencoba mencari celah menembus kubu logam tersebut.

Aku merangkak maju dan menggedor di sela-sela akar sambil terisak-isak.

"Aku akan kembali!" jeritku, berharap dia mendengarnya. "Aku janji!"

Kuambil alih senter Erion dan memaksanya berlari mengikutiku. Kulit lengannya penuh luka gores bekas digaruk, lalu mulai mengeluarkan nanah.

Kami berlari menebas hutan, menyorotkan cahaya senter ke segala arah. Aku menjerit, memanggil-manggil pertolongan. Erion menangis di dalam kepalanya, mencemaskan Alatas dan Truck, dan mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang masuk ke balik kulit lengannya.

Cahaya senter berkedip korslet di antara air hujan yang kian deras, lalu mati.

Erion menjerit ke dalam kepalaku. Tangannya mencakar lenganku, lalu kurasakan dia terjatuh. Aku meraba ke tanah dan mendapatkan badannya yang lemas. Napasnya panas. Kupaksakan diriku menggendongnya, tetapi seluruh otot di tubuhku seperti terbakar. Pepohonan seolah merapat di sekitar kami, dedaunan merendah dan menekan seperti atap yang akan ambruk. Dalam sekejap, aku mesti merangkak di bawah semak dan pepohonan sambil masih menyeret Erion.

Rasa sakit itu mulai naik ke dadaku, lalu leher. Rasanya ada tangan yang masuk ke mulutku dan mencoba mencabut jantungku. Aku sudah tidak bisa merasakan kehadiran kakiku hingga aku mesti mengayuh dengan siku. Selang beberapa detik kemudian, lidahku mulai membengkak di dalam rongga mulutku.

Begitu tanganku kehilangan tenaga, aku pun menyerah.

Terdengar bunyi langkah di tanah berlumpur. Wajahku disorot cahaya senter besar. Aku berusaha membuka mata, tetapi pipiku sudah membengkak sebelah. Mataku berair. Aku melihat moncong senjata yang diarahkan ke kepalaku.

"Fervent liar? Atau ...."

"Ini buronan yang kita cari, sepertinya dia sendirian—"

"Tidak—bocah itu bersamanya! Arka! Cepat!"

"Tunggu!" Sebuah suara yang amat familier menyela. "Mereka sekarat ...."

Seseorang mendesak kerumunan dan berjongkok di depanku. Dia membuka maskernya—seorang lelaki. Dia membungkuk dan tangannya menyibak rambutku. Aku mengerjap untuk mengusir air hujan dan air mata, lalu mendapati wajahnya yang memang tidak asing lagi. Matanya membelalak, mengenaliku juga. "Leila?"

Ryan?

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


*)Igvin: Anaknya Christine3099 dari cerita Free Indefintely

"Hei, lihat, ada Igvin!" seru Alatas seraya mengejar trenggiling itu.

Aku bertanya, "Siapa Igvin?"

"Entahlah." Alatas mengangkat bahu. 


Potongan adegan ini adalah sebuah pembalasan— /ga/ //coret

Potongan adegan ini adalah sebuah balas budi dari potongan adegan lain di cerita Free Indefinitely:

Dear Itin, potongan Alatas ngejar Igvin sebenarnya udah siap jauh-jauh hari, duluuuuu banget, tapi karena akunya mager /eh/ anu ... lama update, jadi baru sekarang dia keluarnya //plak





AWASSSSSSSSSSS

FANART SUPER UWU MAOOO LEWAAAAAAAAT

kiriman: Alulalyriss

Timakaci qaqaaaa UvU




Ini saya:

//dilindas Leila







Ini dedek Erion UwU







Dan ini 

...

..

.

Maz?

Ngana siapa?

Kok cakep?





Terus ....

Ini juga siapaaaaa O.o


//semaput unyu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro