#74

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #74 | 3998 words |

PAGI ITU Leila pergi, dan malamnya Kompleks 44 musnah.

Awalnya aku memang marah—aku tahu itu adalah keputusan ayahnya untuk pindah ke Kompleks 45, tetapi aku tetap saja merasa marah pada Leila.

Siangnya aku menyesal, tetapi masih terlalu gengsi untuk menghubunginya.

Sorenya aku jadi kepikiran, seharusnya aku membawa Leila lari sejak jauh-jauh hari—bodo amat ayahnya mencariku sampai ke ujung dunia.

Malamnya aku berubah pikiran—seharusnya aku mengepak barang dan ikut pindah bersamanya ke Kompleks 45. Aku bisa saja menyelundup ke bagasi mobil ayahnya, teman-temanku membuntuti pakai motor atau apalah. Kami pasti bakal melakukannya andai kami tahu malam itu akan jadi bencana.

Saat itu aku dan Pat tengah membetulkan pagar rumah si Tua Cao di dekat perbatasan. Sekeras apa pun aku memungkirinya di hadapan teman-temanku, aku sebenarnya memang bekerja pada tuan tanah bodoh itu untuk menabung, agar aku bisa keluar dari rumahku yang sekarang. Agar aku bebas dari keluargaku yang juga bodoh, dan menyusul Leila di Kompleks 45.

Dan, kalau memungkinkan, melancarkan rencana lawas membawa cewek itu lari karena, demi Tuhan, aku benci sekali pada ayahnya. Tatapan mata pria itu, dan caranya bicara, juga caranya berpakaian, sampai lagaknya saat berjalan, benar-benar menyerupai orang NC. Dan setiap kali kami membuat masalah pada petugas patroli, ayah Leila selalu membela rombongan lintah itu, seolah dia adalah salah satu dari mereka.

Jadi, ketika aku dan Pat baru saja selesai dengan engsel gerbang pagar rumah si Tua Cao, sebuah helikopter berputar tak terkendali menebas pepohonan dan mendarat di atap rumahnya, menyebabkan kebakaran dan mengakhiri 64 tahun jatah hidup si Tua Cao yang masih berada di dalam sana.

"Yang benar saja!" Pat membentak saat mobil jip NC berdatangan. "Pria itu belum membayar kami!"

Ketika pasukan NC berkumpul di sekitar portal Kompleks 44, kami mengira bahwa mereka sedang latihan tempur atau sejenisnya. Alarm bergaung, helikopter terbang rendah di atas kepala, dan pengeras suara memerintahkan kami berkumpul ke satu titik. Aku dan Pat terlalu jauh untuk mencapai tempat yang diperintahkan untuk kami tuju, maka kami menyelinap ke salah satu mobil jip yang diparkir, dengan kuncinya masih terpasang di sana, sementara orang-orang berseragam hitam tampak membatu di sekitar pagar kawat. Mereka bahkan mengabaikan rumah si Tua Cao yang tengah dilalap api.

Suara denging terdengar dari kegelapan hutan Garis Merah. Seluruh rambut di badanku berdiri. Tanah bergemuruh, ponselku mati, dan semua cahaya jalan redup bersamaan.

Orang-orang NC masih membentuk pagar manusia di perbatasan dan mengabaikan kami saat aku menyalakan mesin mobil jip. Tidak ada yang menoleh walau kami mencuri salah satu mobil mereka, kecuali satu orang petugas yang mendadak balik badan dan terbirit-birit melewati kami seraya menjerit, "Aku tidak bisa! Aku tidak mau menghadapi mereka lagi! Aku minta pindah tugas dari Herde bukan untuk mati di sini!"

"Pengecut sialan!" teriak salah satu temannya yang masih bertahan di belakang pagar kawat.

"Apa katanya?" Pat bertanya saat aku menginjak gas. "Herd—apa?"

Lalu, para iblis itu bermunculan dari hutan Garis Merah.

Dari kaca spion, aku menyaksikan ketika petir menyambar dari tubuh mereka—semuanya wanita, berlari keluar dari hutan sambil melecut-lecutkan listrik dari tubuh mereka. Pagar kawat ambruk. Dalam sekejap saja, separuh dari pasukan NC yang bersiaga di sana tumbang jadi mayat, entah hangus kesetrum atau tertelan retakan tanah yang entah sejak kapan terbentuk.

Pat membuka mulutnya lebar-lebar, tetapi tak sanggup mengatakan apa-apa. Tidak satu pun dari kami sanggup bersuara. Hanya ada mata membeliak dan napas tertahan, tanganku kaku di roda setir, kakiku seperti disemen pada pedal gas. Pat bahkan tak mempermasalahkan saat aku mengemudikan kami berdua menembus kandang ayam.

Kami terpaksa melenceng dari aspal jalan saat beberapa wanita listrik itu menginjakkan kaki di sana dan membuat aspalnya terbelah dua. Beberapa pos NC dan rumah-rumah di sekitarnya mengalami korsleting listrik. Api menyebar dengan cepat dari satu ladang ke ladang lain, rumah ke rumah, tiap-tiap kendaraan meledak. Kebakaran yang disebabkannya nyaris membuat Kompleks 44 serupa lautan api.

"Lebih cepat!" bentak Pat panik saat melihat sebuah mobil sedan yang baru kami lalui terbalik dan tangki minyaknya bocor. "Ryan—lebih cepat! Kembali ke jalan!"

Mobil jip berguncang. Aku bahkan tak tahu lagi apa yang kutabrak. Aku tak tahu kami di mana atau ke mana, tetapi Pat terus mengarahkanku, "Kiri! Kiri setelah sarang walet itu!"

Karena yang kulihat hanya api dan asap, aku membentak, "Sarang walet yang mana?!"

"Yang di depan—tunggu ... itu bukan sarang walet! Itu rumahku!"

Aku langsung banting setir ke kiri dan menikung tajam memutari kobaran api.

"Harusnya di sekitar sini ada lapangan tempat NC biasanya mengumpulkan kita! Mungkin orang tua kita di sana!" kata Pat panik. Tangannya mengepal pada tombol untuk membuka jendela mobil, tetapi dia tidak bisa melakukan itu kecuali ingin membuat asap masuk ke dalam. "Lurus saja! Jangan berbelok dari jalan!"

Aku menggertakkan gigiku dan berhasil menggeram, "Kau saja yang kendalikan roda setir ini kalau kau kira semudah itu!"

Kami menggilas sesuatu, mendengar suara teriakan seseorang, tetapi kami tak bisa melihat apa pun di balik asap. Aku menambah kecepatan dan berbelok untuk menjauhi api sampai Pat berteriak protes lagi.

Kami berhasil kembali ke jalan yang asapnya lebih sedikit. Lalu, kulihat pohon yang terbakar tampak miring di depan dan mulai jatuh ke jalan. Kugilas habis-habisan pedal gas sebelum jalan kami terblokir. Begitu berhasil melewatinya, pohon itu berdebum jatuh di belakang. Apinya membesar dan melalar, mengejar bumper mobil jip. Aku tidak bisa mengangkat kaki dari pedal gas kecuali ingin terpanggang hidup-hidup. Mobil jip meluncur menaiki bukit, tiba di puncak dalam sekejap mata, dan kecepatannya membuat mobil terbang menuruni bukit sampai melampaui ladang bersama kami yang berteriak di dalamnya.

Aku menginjak rem sementara mobil masih mengudara. Kucengkram roda setir kuat-kuat, berharap itu cukup untuk membuat mobil mendarat dengan selamat.

Saat asap hitam tersibak sedikit, aku melihat tanah gosong dan rumput yang menyala dalam kobaran kecil. Kusadari mobil meluncur ke tanah dengan posisi vertikal. Bumper bagian muka mobil akan mencium tanah. Aku dan Pat akan mampus dalam—

Mobil melambat dan berhenti jatuh.

Dalam posisi tergantung, aku dan Pat tidak bisa bergerak atau pun saling bicara. Isi perutku bergolak, darahku terkumpul ke wajah, dan sekujur tubuhku mulai sakit karena pacuan adrenalin. Selama beberapa saat, yang kami lakukan hanya menatap kaca depan dan tanah sampai mobil jip berkeriut. Mobil bergerak lagi perlahan, jatuh dengan mulus dalam posisi yang seharusnya. Saat roda jip menyentuh tanah, barulah aku teringat untuk bernapas.

"Bagaimana—" Pat akhirnya bersuara. "Bagaimana kau melakukannya?"

"Bukan aku—"

Asap hitam menipis di sekitar kami seperti disedot oleh sesuatu, lalu lenyap, sampai akhirnya aku bisa melihat lapangan di mana warga Kompleks 44 berkumpul. Di depan mobil, seorang pria berdiri dengan kedua tangan yang terulur ke arah kami. Udara berdenyar di sekitarnya.

"Keluar, Nak!" perintahnya dengan nada mendesak.

"Itu ...." Pat menyipitkan matanya. "Temannya si Tua Cao. Om-om aneh itu—kau ingat namanya?"

Aku menggeleng. Selama ini kami memanggilnya Om Teluk karena, pertama, orang-orang bilang dia punya rumah yang begitu besar dan megah di sekitar teluk pantai di Kompleks 45, tapi malah memilih tinggal di desa petani kumuh ini; dan kedua, dia satu-satunya orang yang masih senang memakai pakaian adatnya. Aku sendiri sering melihat pria itu terjun langsung ke sawah sambil mengenakan baju kurung teluk belanga kesayangannya. Sialnya, kami tidak bisa mengejek atau menarik baju panjangnya untuk bahan bercanda karena dia—seperti si Tua Cao—punya banyak uang dan mempekerjakan sebagian besar orang di sini, termasuk aku.

Pat dan aku terlalu lama bengong di dalam mobil dan tidak menyadari Om Teluk menghampiri kami sampai kaca pintuku digedor.

"Kubilang keluar!" Suaranya menggelegar meski terhalang kaca.

Kami buru-buru keluar dan mengikutinya yang berderap ke tengah-tengah lapangan. Di sana, warga Kompleks tampak berdiri kebingungan dan ketakutan tanpa membawa apa-apa kecuali anak-anak serta pakaian yang melekat di badan. Sebagian besarnya sudah dibariskan untuk memasuki bus-bus hijau-cokelat besar.

Aku baru akan bertanya apa yang terjadi dan ke mana kami semua akan diberangkatkan, lalu kusadari Om Teluk tidak mengenakan baju adatnya. Kaus loreng hijau-cokelat mengintip dari balik jaket hitam yang tak terkancing. Celana hitam panjangnya dekil dan bebercak lumpur, senjata api laras pendek berkilat dari balik sabuknya. Bahkan tanpa topi, aku kenal jelas seragam itu.

"Kau NC!" kataku dengan satu langkah tersaruk ke belakang. Pat ikut menelaah pria itu seolah baru menyadari pakaiannya juga.

"Tadinya," jawab pria itu pendek.

Aku meludah ke kakinya, lantas mendorong Pat ke kerumunan untuk mencari keluarga atau tetangga kami. Namun, belum dua langkah kuambil, kakiku seperti dipaku ke tanah. Lututku macet. Sepertinya hal yang serupa terjadi pada Pat.

Seolah ada makhluk lain yang mendiami badanku, aku berbalik dan melangkah mengekori Om Teluk. Pat melakukan hal serupa di belakangku.

Kami dipaksa memasuki sebuah bangunan tua bekas gudang penyimpanan hasil ladang, terpencil di antara pepohonan di pinggir lapangan. Jauh di belakang, api masih berkobar. Petir menyambar pada genting-genting rumah.

Di dalam bekas gudang itu, aku melihat beberapa orang yang kukenali, termasuk Irene—pacar Pat—duduk di salah satu kursi panjang sambil gemetaran. Badannya terbungkus jaket kebesaran, wajahnya coreng-moreng oleh jelaga, dan ujung rambutnya hangus.

Masih digerakkan entitas tak kasat mata, aku dan Pat duduk di samping Irene tanpa bisa berkata apa-apa.

"Sabang," panggil salah satu wanita berseragam NC yang menghampiri Om Teluk. Keduanya berdiri di hadapan kami dengan tatapan menilai. "Seberapa banyak yang mereka lihat?"

"Petugas di perbatasan melaporkan, dua anak ini melihat semua Icore masuk."

"Jadi?" desak si wanita. "Apa kita mesti meninggalkan mereka di sini?"

"Kita tidak menuruti perintah Komandan lagi, Zarah." Om Teluk—Sabang, atau siapalah namanya—menukas sambil masih mengamatiku. "Cepat atau lambat, warga Kompleks pasti bakal menyadari juga kehadiran Fervent—mungkin, sekaranglah saatnya. Lagi pula, runtuhnya sistem Herde membuktikan kalau kerja sama antara Kompleks Sentral dan T. Ed Company sudah berakhir."

Wanita bernama Zarah di sampingnya mengernyit. "Kompleks Sentral tidak menyetujui semua tindakan Bintara."

"Tapi mereka juga tidak melakukan apa pun terhadap pria itu." Sabang melipat kedua lengannya di depan dada. "Entah Kompleks Sentral berada di bawah kaki Komandan atau tidak, kita tidak lagi terikat apa-apa dengan mereka, Zarah. T. Ed Co memisahkan diri dari NC sekarang."

"Jadi, NC dapat semua Fervent yang kita latih di PFD," dengus Zarah dengan marah, "dan kita dapat warga Kompleks untuk ditanggung? Kau tahu, pasti lebih mudah kalau kita turuti saja perintah Kompleks Sentral untuk meninggalkan sisa Kompleks di sini dan membangun ulang fasilitas di Pulau Baru—"

"Pak Edison ingin kita mengabaikan perintah itu," tukas Sabang lagi. "Toh, NC sudah mulai mengurangi permintaan. Dalam hitungan bulan, mereka akan bangkrut, dan kita akan mengambil alih."

Aku menggertakkan rahang dan mencoba bersuara, tetapi bibirku tidak mau terbuka.

"Jadi ... kita bawa anak-anak ini ke seberang?" tanya Zarah dengan nada tidak suka. Saat Sabang mengangguk menanggapinya, Zarah mendengkus. "Kau yang jelaskan duduk perkaranya pada mereka, kalau begitu."

Wanita itu berderap pergi dan bergabung dengan kawanannya. Sabang berlutut di hadapanku, lalu berkata dengan suara berbisik, "Aku akan antar kalian ke keluarga kalian. Tapi, berjanjilah, di bus nanti kalian tidak akan membicarakan apa yang kalian lihat di perbatasan, oke? Warga Kompleks ini belum perlu mengetahui apa yang akan membuat mereka panik. Aku akan memberi tahu mereka saat kita semua telah berada di tempat yang aman."

Kakiku masih belum bergerak bebas meski aku sudah menguasai bagian atas tubuhku. Tanganku mengepal, hendak meninju seseorang, tetapi kakiku terpaku.

Lagi-lagi, aku melangkah di luar kehendakku mengekori Sabang. Pat mengikuti di belakangku seraya menggendong Irene di punggungnya.

"Orang tuaku mati," lirih Irene di bahu Pat. "Mereka terbakar di ruang tamu saat seorang cewek aneh muncul di depan pintu kami. Cewek itu menyetrum mereka dan membakar rumah."

"Aku yang akan mengurusmu," kata Pat singkat.

Rasanya tidak adil Pat sudah bisa bicara, tetapi aku tidak. Kugerakkan tanganku untuk memukul punggung Sabang, tetapi aku tidak bisa mencapainya karena kakiku masih bergerak dalam jarak aman darinya.

Begitu kami duduk di kursi bus paling belakang, Sabang berdiri di hadapan kami sambil berpegangan pada kursi bus di depanku. Aku bisa melihat orang tuaku dari jendela bus. Mereka berada di bus lain yang sudah penuh, dijaga ketat petugas NC, tampaknya siap berangkat lebih dulu. Ayah menatapku lama, sementara ibuku buru-buru meminta sesuatu pada seorang petugas NC. Ibuku kembali duduk setelah mendapatkan sehelai kertas dan menuliskan sesuatu di sana, lalu menempelkannya pada kaca bus agar terbaca olehku: syukurlah kau selamat. Nanti kami akan mencarimu, hati-hati, jangan

Bus mereka langsung jalan sebelum aku menyelesaikannya. Namun, kurasa aku tak perlu menyelesaikannya juga. Aku, toh, ragu-ragu mereka bakal benar-benar mencariku. Aku sudah membuktikannya 4 tahun yang lalu, saat aku dan adikku hilang di Garis Merah.

Umurku 13 waktu itu, dan adikku 10. Kami terpisah di hutan sehari semalam. Saat mereka menemukanku, hal pertama yang ayah tanyakan padaku adalah di mana anak bungsunya, bukannya keadaanku, atau apakah aku ketakutan setelah tersesat di hutan semalaman. Setelah menemukan mayat adikku, mereka menyiratkan bahwa aku adalah kakak yang tidak berguna—dalam artian, kematian anak bungsu mereka adalah salahku.

"Aku akan biarkan kau bersuara, Nak." Sabang mengembalikan fokusku padanya. "Tapi, jika kau berteriak, aku akan membungkammu lagi, mengerti?"

Begitu aku bisa membuka mulut, gigiku menggertak. Setengah menggigil, aku berbisik geram, "Sejak kapan ada NC di antara warga Kompleks?!"

"Sejak lama," jawab Sabang. Nadanya hampir prihatin sampai-sampai aku merasa muak. "Kaukira, apa itu NC, Nak? Alien? Kami juga warga negara. Kami warga yang bekerja—sepertimu, seperti teman-temanmu, seperti ayahmu, seperti petani dan pedagang lainnya. Hanya saja pekerjaan kami berbeda."

"Pekerjaan macam apa itu?" tanya Pat di sampingku. Tangannya merangkul Irene yang masih tersedu-sedu.

"Kalian pernah mendengar istilah Fervent?"—Kami menggeleng. "Kuganti pertayaannya. Kalian pernah mendengar cerita monster di Garis Merah?"

Bus kami, yang seluruh penumpangnya berseragam NC kecuali Pat, aku dan Irene, mulai jalan mengikuti bus orang tuaku. Sepanjang jalan meninggalkan Kompleks 44 yang menjadi lautan api, Sabang menceritakan segala hal yang mereka sembunyikan: Fervent, orang-orang yang memiliki kekuatan abnormal di dalam gen mereka. Kalangan tertentu mengenal 'Ledakan Fervor' yang mengawali kekuatan abnormal itu, terjadi lebih dari 5 tahun yang lalu. Namun, untuk kalangan yang lebih terbatas lagi, Ledakan Fervor hanyalah peristiwa meledaknya sebuah laboratorium yang tengah melakukan penelitian antimateri.

NC memprakarsai peristiwa tersebut sebagai awal mula Fervent. Namun, sesungguhanya bukan antimateri yang membuat para Fervent ada. Penelitian antimateri itu justru ada dengan andil para Fervent.

Pengguna kekuatan telekinesis (disebut Phantom) dan pengguna kekuatan listrik serta magnet (disebut Icore) terlibat dalam pembuatan partikel akselerator. Kecelakaan kecil terjadi, dan terjadilah ledakan. Disusul kecelakaan kecil lainnya seperti terbakarnya fasilitas penampungan orang-orang berkekuatan api (disebut Calor), dan kesalahan sistem pengajaran di Program Fervent Dasar (PFD), menyebabkan ratusan Fervent kabur dari program itu. Rantai peristiwa tersebut hampir menyingkap eksistensi para Fervent ke permukaan, maka NC membuatnya tampak seolah-olah 'Ledakan Fervor' adalah awal mula munculnya pada Fervent.

Kenyataannya, para Fervent sudah ada jauh sebelum itu.

Puluhan tahun—bahkan ratusan tahun silam, jumlah mereka naik dan turun secara signifikan. NC sendiri terbentuk bersamanya—mereka mengelola dan menyembunyikan eksistensi para Fervent selama ini.

"Dimulai dari organisasi kecil," jelas Sabang sementara kami terdiam karena tak tahu mesti mengomentari apa. "NC berkembang mengikuti zaman; menghimpun sumber daya manusia; mencaplok organisasi lain, kongsi dagang, perusahaan, dan pemerintahan negara-negara besar. Di mana pun populasi Fervent tumbuh paling pesat, ke sanalah NC pergi. T. Ed Company hanya salah satu dari sekian banyak perusahaan kurang beruntung yang berdiri pada jalur pijak NC."

T. Ed Company—tempat Sabang dan Zarah bekerja—menjadi bagian dari NC sejak awal abad 20. Mereka memegang peran besar dalam pemanfaatan Fervent dengan membentuk PFD atau Program Fervent Dasar. PFD merupakan sekolah khusus Fervent berbasis militer, di mana mereka menghimpun dan melatih anak-anak Fervent menjadi senjata hidup dan sumber daya.

Di sisi lain, Kompleks Sentral mengatasi pembludakkan jumlah Fervent dengan Program Herde.

"Herde seharusnya menjadi penampungan sementara sebelum anak-anak Fervent itu diidentifikasi—apakah mereka siap masuk PFD, atau dibiarkan membaur di antara manusia normal." Sabang akhirnya mengambil tempat duduk di sampingku setelah bus berguncang memasuki jalan dengan aspal rusak. "Tapi, saat Ledakan Fervor terjadi, sistem menjadi sedikit ... kacau. Bintara naik menjadi komandan, lantas mendesak penerapan darurat militer untuk menggantikan pemerintahan. Untuk mengatasi kekacauan, dia bilang. Dia mulai menyekat wilayah; Kompleks untuk manusia normal, sementara semua Fervent dijejalkan dalam Herde, yang kemudian dia sembunyikan jauh di kedalaman Garis Merah."

"Orang-orang yang mengangkat jabatan Binta itu bodoh," sahut Zarah yang duduk di kursi depanku. "T. Ed Company sudah merasakannya jauh-jauh hari, tapi Kompleks Sentral tidak mau dengar. Maksudku, orang buta saja pasti tahu komandan busuk itu punya agenda sendiri! Dia mendatangi desa dan kota-kota kecil di mana Fervent bermukim paling banyak, meratakannya dengan tanah dengan alasan bahwa warganya membangkang peraturan militer! Jelas saja warganya membangkang dan memberontak—Binta masuk ke wilayah mereka seperti penjajah! Setelah melenyapkan sebuah peradaban di kota tertentu, dia menandai wilayah itu sebagai Garis Merah, lalu mulai membangun basisnya dengan Herde, sementara warga yang terusir harus dijejalkan ke Kompleks yang sudah disiapkannya! Dan sekarang, seisi Herde yang memberontak!"

Aku menggeleng, lalu berhasil bersuara setelah cukup lama diam, "Tapi, kalian tetap saja bagian dari mereka! Kalian NC!"

"Dunia tidak sesederhana itu, Nak," tukas Sabang. "Ayahmu sendiri seringkali memasok hasil ladangnya pada kami. Dari uang yang kalian makan, kau adalah bagian dari NC—kau mau disebut begitu?"

Aku mendengkus. "Itu berbeda. Aku tidak pernah memakai uang ayahku sejak dia berakrab-akrab dengan orang NC—tidak sedikit pun!"

"Jadi ...." Pat mulai bicara. "Sekarang apa? Kalau orang-orang berkekuatan super itu memberontak ... tidak bisakah kalian, entahlah, bicara pada mereka? Bagaimana pun, nasib mereka bukan salah kita."

"Tidak adil," isak Irene lagi. "Kenapa mereka menyerang kemari?! Bukan kita yang salah!"

"Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan," kata Sabang seraya menelaah hutan dari jendela bus. "Anak-anak itu—dulunya mereka sama seperti kalian."

"Sampai PF13 diproduksi secara ilegal oleh Binta!" tukas Zarah menggebu-gebu. "T. Ed Company yang memiliki hak patennya! Tapi Binta menilai kalau dia juga bisa membuat pasukan melalui Herde, maka dia mencuri penelitian kami dan menerapkannya ke Herde, mengubah semua anak Fervent itu jadi subjeknya!"

"Obat itu semestinya hanya dikonsumsi satu kali seumur hidup." Sabang menjelaskan. "Di PFD, kami menggunakan PF13 untuk tiga keperluan. Pertama, kepada Fervent berusia lanjut, untuk melenyapkan Fervor mereka di masa pensiun. PF13 menihilkan Fervor dengan baik untuk Fervent yang sudah memasuki usia matang. Kedua, untuk mengidentifikasi seorang anak Fervent—apakah dia layak meneruskan program, atau dikembalikan pada keluarganya. Jika antibodinya membuatnya bertahan melalui proses kerja PF13, PFD akan mengambilnya. Jika antibodinya kalah, PFD akan menanggung pengobatan anak itu sebelum dikembalikan ke keluarganya. Dan ketiga, untuk keperluan penelitian.

"Dalam dosis tertentu dan jika ditangani segera, PF13 mendorong mutasi gen Fervent dan memfokuskan kekuatan mereka hanya pada satu jenis Fervor—dan ini hanya berlaku untuk Multi-fervent. Karena setelah proses itu, salah satu satu Fervor mereka akan melemah atau lenyap, guna meningkatkan konsentrasi satu Fervor lain."

"Tapi prosesnya amat sangat menyakitkan," beri tahu Zarah. "Binta tidak menggunakan takaran yang tepat. Hasilnya, PF13 berubah menjadi agen nonbiologis yang merusak dalam tubuh anak-anak Herde. Konsumsi jangka panjang dapat menyebabkan hal-hal yang serius seperti menumbuhkan sel kanker, merusak penglihatan, sampai mengganggu keseimbangan kimia di otak."

"Belum lagi trauma yang mereka dapat di tempat itu—petugas Herde memperlakukan mereka seperti reptil berbahaya," pungkas Sabang. "Dengan kata lain, para Icore yang menyerang Kompleks malam ini telah kehilangan jati diri mereka. Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan."

Zarah berdecak. "Sekarang, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah pergi meninggalkan tempat ini. Kita akan menuju Kompleks 45 dan pergi dengan kapal yang sudah menunggu di pelabuhan."

Hening selama beberapa lama. Hanya ada suara tangisan Irene, yang lama-lama juga memelan. Ketika aku menengoknya, cewek itu sudah tertidur di bahu Pat dengan mata bengkak dan jejak air mata sekitar pipinya yang menghitam oleh jelaga.

"Leila benar-benar memilih saat yang tepat untuk pindah," lirih Pat. Tangannya menangkup tangan Irene. "Kalau saja kita tahu bakal begini jadinya .... Aku tidak keberatan sama sekali nebeng sama ayahnya yang seram itu."

Aku bersandar ke sandaran tempat dudukku. "Kau tahu nama ayahnya Leila?"

Pat mengedik samar. "Tidak. Ayahnya, 'kan, jarang sekali membaur."

Aku menoleh pada Sabang, yang masih memperhatikan hutan. "Kau bilang, NC selama ini membaur di antara warga?"

"Hanya orang-orang tertentu," jawab Sabang tanpa menatapku.

"Kalau hanya orang-orang tertentu, pasti kau setidaknya hafal nama mereka, 'kan?" desakku. "Kau kenal Aga Morris?"

Sabang akhirnya menoleh. Bahkan Zarah ikut menengok dengan tatapan tertarik. "Dari mana kau tahu nama itu, Bocah?"

"Tidak penting," tukasku. "Jadi, benar? Aga Morris juga NC?"

"Aga Morris juga NC." Zarah mengejek sambil mencebikkan bibirnya ke arahku. "Aga Morris lebih dari sekadar NC, Bocah. Dia salah satu yang terpilih secara langsung oleh Ra, tahu?"

"Ra ...? Siapa?"

"Bukan siapa-siapa—hanya mitos konyol," sambar Sabang cepat. Matanya menatap Zarah tajam sampai wanita itu memutar bola mata dan berbalik ke depan. Sabang mengerlingku. "Anaknya yang kau pacari itu—gadis itu yang memberi tahu nama ayahnya padamu?"

Aku mengangguk samar.

"Apa gadis itu memberi tahu nama ayahnya ke teman-temannya yang lain?"

"Cuma aku," jawabku bangga. Leila hanya terbuka padaku—kehidupan lamanya, hubungannya dengan keluarganya, bahkan ukuran sepatunya pun aku hafal.

Sabang tampak tak yakin. Malah, aku menangkap kilat marah dan rasa tak percaya di matanya, seolah Leila melakukan kesalahan besar hanya dengan memberi tahu nama ayahnya padaku.

"Hei, Nak," kata Sabang pada Pat. "Kau tidak mengantuk?"

Pat menguap. "Sedikit."

"Kalau begitu, tidurlah dulu."

"Tidur dulu," ulang Pat, lalu kepalanya jatuh ke bahuku.

"Kau salah satu dari orang-orang berkekuatan aneh itu," geramku pada Sabang.

"Lulusan awal PFD." Sabang mengakui. "Aku yang bertugas mengawasi Aga Morris dan keluarganya di sini. Dia adalah sahabat atasanku. Jadi, aku tahu, bahwa Aga Morris juga Fervent—yang terbaik, malah. Apa pacarmu itu juga memberi tahu kekuatannya padamu?"

Aku tersedak. "Leila—apa?"

Sesuatu dalam tatapan Sabang membuatku ingin menonjoknya, terutama saat dia mendesah, "Jadi, pacarmu ternyata tidak sepenuhnya terbuka padamu."

Zarah berbalik lagi. Senyum jail terulas di bibirnya. Namun, dia tidak menujukannya padaku, melainkan untuk Sabang. "Kau bukan pengawas yang baik, Bang. Anak perempuannya Aga Morris tidak tahu kalau dirinya itu Fervent. Tapi, entah ya kalau sekarang. Mereka mungkin sudah bersiap untuk ke kapal, dan mau tidak mau pria itu mesti menjelaskan ke anaknya."

Sabang mengernyit. "Mustahil. Anaknya punya tiga jenis Fervor di dalam dirinya. Bagaimana bisa dia tidak menyadarinya selama ini?"

"Pak Edison melakukan segalanya, Bang. Jangan lupa, nepotisme tidak pandang derajat. Atasan yang kau puja itu juga sering melanggar aturan yang diciptakannya sendiri demi kerabat."

Selama berjam-jam, aku merenungi segala hal di bus—nasib kami ke depannya, teman-temanku, masalah NC dengan T. Ed Company, perihal Fervent, dan Leila. Terutama Leila. Sudah kuduga, ada yang salah dengan ayahnya. Semestinya aku tidak membiarkan Leila pergi.

Langit sudah mulai menampakkan semburat fajar, dan terjadi kasak-kusuk di bagian depan bus. Kudengar beberapa Icore dari Herde lain sudah tiba di Kompleks 45. Para petugas berseragam itu mulai menghubungi seseorang dan memohon penjemputan dengan drone berkapasitas besar.

"Santai sekali lagakmu," kata Sabang padaku. "Kau dengar barusan, Nak? Kita mungkin akan dihadang Fervent lain di ujung sana."

"Kalau aku berteriak atau menangis di sini, kelihatannya tidak bakal membantu banyak."

"Hmm." Kudengar pria itu terkekeh pelan. "Kau mau bergabung dengan pasukan khusus, Nak?"

Aku menoleh dan mendapatinya sedang menatapku penuh minat. "Aku sering melihatmu bekerja di tempatku dan Pak Cao—"

"Almarhum," selaku, "pria itu mati di perbatasan."

"—dan menurutku kau cukup cakap, terutama saat melihat caramu mengemudikan mobil itu. Kau bisa jadi prajurit yang tangguh."

"Aku tidak bekerja untuk NC atau bekas NC." Lalu, aku terpikir, selama ini aku bekerja membersihkan halaman belakangnya saat pria ini masih di NC ....

"Bagaimana kalau bekerja untuk memerangi NC?" tawar Sabang dengan piawainya memersuasiku. "Bukan tanpa alasan T. Ed Company menanggung warga Kompleks seperti ini. Kami tahu, banyak sekali pemberontak di Kompleks—kelompok orang-orang yang marah rumahnya diganggu, atau membenci NC karena anak-anaknya diambil untuk dijebloskan ke Herde. Orang-orang ini menunggu runtuhnya NC. Dan kami kemari untuk menawarkan bantuan. Kompleks Sentral dan Komandan Binta boleh jadi telah merebut semua sumber daya Fervent, tapi kita bisa menghimpun kekuatan yang jauh lebih besar daripada itu semua."

"Kupertimbangkan."

Kutatap jalanan yang terhampar di depan. Di suatu tempat di ujung sana, entah apa yang terjadi pada Leila. Gadis itu bahkan tidak tahu dirinya apa. Ayahnya sendiri menutup mata dan membutakan putrinya. Memikirkan itu saja membuatku tergoda untuk melompat dari kaca bus dan berlari mencari Leila.

Namun, itu tindakan bodoh. Aku harus membiarkan bus ini membawaku. Aku harus membiarkan orang-orang ini membawa kami lebih dekat dengan Aga Morris. Kucengkram kedua lututku sambil bertekad, jika aku menemukannya, aku tidak akan membiarkannya pergi lagi.

Aku datang, Leila.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan




NOTE: Mulai episode ini, istilah "Corona" akan ditiadakan dari cerita RavAges. Rasanya jadi kurang etis kalau saya mempertahankan penamaan ini sementara virusnya sudah jadi bencana dan membunuh banyak nyawa.

Saya belum ada niat menggantinya dengan istilah lain. So, let's just settle on "Peledak" for now. (Kalau kalian mau saran nama lain, silakan)

Mungkin kalau nanti ada waktu (dan saya sanggup), rencananya istilah Corona di chapter lain juga bakal saya hapus. Tapi, tidak dalam waktu dekat ini.

P.S. Stay home, jangan kelayapan keluar kecuali perkara hidup-mati. Kasian pekerja medis, kerjaan mereka sudah terlalu banyak tanpa perlu ditambah pasien yang tertular gara-gara nongkrong/jalan-jalan. Stay safe and be aware too, jangan panik, tapi tetaplah waspada.

Dan jangan nimbun masker ya ._.




Fanart Leila (kiri) dan emaknya Leila, Abiar Morris (kanan) dari Hamba Allah |\・ω・。)❤


Fanart Leila ama Alatas (biar Ryan panas) dari isy_eonni |\・ω・。)❤





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro