#75

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #75 | 3980 words |

ADA TIGA orang yang menungguiku sampai bangun di ruangan putih berbau antiseptik itu. Satu wanita—yang langsung menginjeksikan sesuatu ke lenganku—dan dua laki-laki. Si wanita paruh baya dan pria di sebelahnya aku tak kenal, tetapi lelaki yang berdiri dekat pintu wajahnya amat sangat kukenali dan mengundang kepal tanganku bertandang ke sana.

"Yeay! Kau bangun!" sorak Op dengan suara tinggi. "Tidur nyenyak? Aku ingin menjadi pria baik dengan mencoba menggantikan pakaianmu tadi, tapi para perawat melarangku."

Si wanita dan pria di depan brankarku melirik Op dengan tatapan tak suka. Wanita paruh baya itu kemudian menatapku sambil menyunggingkan senyum sopan. "Jangan khawatir. Aku yang mengganti pakaianmu."

Bajuku diganti dengan piama katun tipis yang terasa ringan. Ada plester di punggung tanganku, yang artinya sempat ada jarum infus terbenam di sana. Aku menarik napas sedikit, tetapi itu saja membuat dada dan punggungku sakit. Wajahku terasa hangat, padahal kakiku dingin di bawah selimut. Masih ada sisa bintik-bintik kemerahan samar di kulit tanganku, dan badanku berbau obat.

"Mana teman-temanku?"—Kalimat pertama yang kulontarkan sejak bangun.

"Mati semua," ringis Op.

"Mereka di ruangan lain," jawab si wanita sementara pria di sebelahnya menyuruh Op keluar. "Mereka baik-baik saja. Salah satunya baru sadarkan diri sejam yang lalu, yang satu lagi juga beristirahat, dan yang paling kecil sempat bangun sebelum tertidur lagi karena obat penghilang rasa sakit yang kami berikan."

"Terima kasih," ucapku lega. Secuil rasa sesak di dadaku terangkat hingga akhirnya aku bisa bangkit dari bantal. "Boleh aku melihat mereka?"

Wanita itu melirik temannya yang berdiri di ambang pintu. Si pria menggeleng samar, lalu mengetuk pergelangan tangannya seperti gestur menunjuk jam tangan.

"Mungkin bukan ide bagus," beri tahu si wanita. "Aku baru saja memberimu obat kortikosteroid. Dosismu berbeda karena Cyone menetralkan dosis obat biasa ke tubuhmu. Jadi, aku khawatir efek sampingnya mengharuskanmu berbaring di sini selama beberapa jam lagi." Aku hendak menyelanya, tetapi dia buru-buru berbalik dan menghampiri temannya di ambang pintu. "Kami akan mengecekmu tiga jam lagi. Sementara itu, istirahatlah dulu, oke? Jika membutuhkan sesuatu, tekan tombol merah di sisi brankar—kami akan langsung kemari."

"Tapi—"

"Tenang saja. Cowok aneh tadi tidak akan masuk ke kamarmu lagi."

Terdengar suara Op di depan pintu. "Hei!"

"Tapi, teman-temanku—"

Pintu ditutup di belakang punggung mereka. Sepertinya kedua orang perawat itu memaksa Op mengikuti mereka karena kudengar lelaki itu mengomel, "Cuma menunggui teman yang sakit saja tidak boleh!"

Setelah keadaan jadi sepi, aku bengong selama beberapa saat. Aku tidak tahu sudah berapa hari aku di sini, atau obat apa saja yang mereka berikan selama aku tak sadarkan diri, dan aku sudah tidak merasa mengantuk lagi—hanya sedikit lemas. Dan lapar. Mungkin ... tidak apa-apa kalau aku keluar sebentar.

Di depan pintuku, lorong putih membentang tak berujung dari kiri ke kanan. Aroma karbol menguar dari lantai. Berbulan-bulan terbiasa di hutan kotor dan tempat-tempat tak higienis membuatku merasa mual terhadap bau steril tempat ini.

Sambil berpegangan pada tembok, aku menyusuri lorong ke kanan dan mengintip ke kaca kecil pada tiap pintu yang kutemui. Tidak ada siapa-siapa. Tempat ini seperti rumah sakit yang masih baru dan belum berpenghuni. Beberapa kali kudengar suara langkah kaki bergema dari tikungan depan, jadi aku buru-buru berbelok ke lorong lain.

Erion? Kucoba memanggil dengan telepati, tetapi tidak jawaban. Alatas, Truck, Erion—siapa saja di antara kalian yang dengar! Halo! Tes, satu-dua!

Setelah berbelok pada tikungan lorong keenam, aku tersesat. Aku merosot, duduk bersandar ke dinding koridor, merasakan kepalaku mulai berdenyut dan keringat dingin di dahi. Seluruh ototku terasa lemas, dan aku sangat, sangat, lapar.

Terdengar suara langkah banyak sepatu dari kananku, tetapi badanku menolak bangun. Ada yang menghampiriku, tangannya menyibak rambutku.

"Bukan hantu, kok," kata si pemilik tangan. Teman-temannya yang awalnya menjaga jarak akhirnya merapat dan mengerubungiku. Enam laki-laki, dan satu perempuan yang masih memegangi rambutku ke belakang. Mereka semua tampak seperti seumuranku. "Ini pacarnya Ryan yang tempo hari kita jaring."

"Fervent buronan?" tanya salah satu lelaki pendek berambut merah ikal. Pipinya mengerut saat matanya menelaahku. "Wajahnya beda."

Lelaki lain menyikut si pendek. "Waktu itu, 'kan, dia bonyok. Aku lihat fotonya yang disimpan Kak Ryan—aslinya cantik banget, nggak seperti zombie bengkak sama sekali."

Si cewek merapikan rambutku dengan tatapan iba, lalu memerintah temannya. "Panggil Ryan, deh."

Sementara salah satu cowok berlari ke arah mereka datang, si pendek rambut merah bertanya, "Tidak panggil perawat saja?"

"Mereka pasti sedang dikumpulkan untuk mengurus sampel yang itu, 'kan," kata si cewek dengan suara berbisik dan penuh penekanan pada akhir kalimatnya. "Dan lagi, nanti kita kena masalah kalau ketahuan keliaran sampai sini!"

Mereka baru akan mengobrol lebih jauh saat derap dua pasang sepatu datang. Si cewek menepi saat Ryan muncul dan berjongkok di depanku.

Pemuda itu tidak banyak berubah di wajah, tetapi badannya lebih ramping dan berotot dari terakhir kami bertemu. Rambutnya yang dulu sampai garis leher kini dipotong pendek, masih dicat pirang sewarna pasir pantai. Sepasang mata cokelatnya tampak lebih redup dan lelah dengan lingkar gelap di kelopak bawahnya, tetapi sorotnya tetap sama—seolah berjarak pada mulanya, tetapi perlahan-lahan memaut akrab pada mataku.

"Kamar inapnya yang mana?" tanya Ryan pada sekumpulan remaja yang masih mengerubungiku, yang kemudian mereka balas dengan gelengan kepala dan kedikan bahu. Pemuda itu berdecak dan melambaikan tangannya. "Ya sudah sana—sebelum kalian kulaporkan pada Sabang kalau kalian kelayapan kemari."

"Kau sendiri mondar-mandir terus di depan—" Si anak pendek tidak menyelesaikan kalimatnya setelah mendapat pelototan Ryan.

Setelah para remaja itu beranjak, barulah aku bersuara, "Kenapa kau di sini?"

"Senang bertemu denganmu juga, Leila," balas Ryan sambil berdecak. Satu tangannya menyelip ke bawah lututku, dan tangan lainnya di punggungku. "Hampir lima bulan kita tidak ketemu, kenapa kau tampak tidak senang melihatku? Aku di sini karena mencarimu. Saat mereka bilang kau jadi buronan, tentu saja aku mengajukan diri untuk ikut mencari, tapi yang boleh berangkat menghadang kalian hanya Fervent." Dia mendengkus. "Ternyata kalian mengambil jalur lain dan mendatangi tempatku patroli di sekitar markas."

Saat Ryan akan mengangkatku, aku menahan dadanya dengan siku. "Aku bisa jalan sendiri."

Ryan menarik napas dengan dramatis, lalu melepaskanku dan bangkit berdiri. Tangannya terulur untuk membantuku bangun. Aku menyambut tangannya dan berusaha mengangkat diri, tetapi kemudian terdiam.

"Aku tidak bisa berdiri."

"Leila!"

Meski jengah, kubiarkan Ryan mengangkatku. Setengah mati aku membuang muka darinya, dan merapatkan kedua kepalan tangan ke dada agar tidak perlu mengait lehernya, tetapi Ryan—seraya berjalan membawaku—berhasil membuatku menoleh. "Ingat uji nyali di ruko itu? Kau terpeleset di tangga sampai akhirnya aku mesti menggendongmu persis seperti ini."

Aku menatapnya lekat-lekat dan spontan berkata di depan wajahnya, "Kita sudah putus, 'kan?"

Langkahnya berhenti. Alisnya yang tajam mengerut, matanya balas menatapku dengan bingung. "Kenapa kau berpikir begitu?"

Kenapa dia bilang?!

Lalu, aku jadi terpikir ... kenapa aku berpikir kami putus dari awal?

"Kau memutuskan teleponku begitu saja!"

"Putus telepon tidak sama dengan putus hubungan, Leila!"

Aku memutar otak .... "Setelahnya kau tidak menghubungiku lagi! Kau bahkan tidak mau datang dan bilang selamat jalan atau sejenisnya saat aku akan pindah!"

"Karena aku marah waktu itu!" balasnya. Nada suaranya naik. "Padahal kau sendiri sempat janji bakal menetap di Kompleks 44, 'kan?! Tidak lama setelah itu kau malah pindah—menurutmu bagaimana?!" Hening beberapa saat. Aku terdiam, sementara Ryan sendiri mengatur napas. Dia mengerutkan alisnya dalam-dalam, masih terbawa emosi. Saat dia mulai berjalan lagi, barulah nada suaranya turun. "Aku hampir menghubungimu lagi buat berbaikan—tapi para monster itu menyerang Kompleks dan mengusir orang-orang normal dari rumah—"

"Para monster itu Fervent—sejenisku," sahutku defensif. Aku tidak pernah menyukai para Icore juga, tetapi mendengarnya menyebut monster dan orang normal secara terpisah entah kenapa membuatku tersinggung.

Wajahnya jadi beragah. "Jadi, kau selama ini tahu, tapi tidak memberitahuku?"

"Oh, ya—maaf," balasku sinis dengan nada suara yang juga naik perlahan-lahan. "Aku tidak bisa memberitahumu karena aku sendiri baru tahu setelah terkubur hidup-hidup di bawah beton!"

"Jadi benar, ayahmu menyembunyikannya selama bertahun-tahun—"

"Jangan kau berani membawa-bawa ayahku ke masalah ini."

Entah suaraku terdengar cukup mengancam atau mataku yang berkaca-kaca yang membuatnya tutup mulut.

Beberapa menit Ryan menyusuri lorong sambil menggendongku. Kami tidak saling bicara dan sama-sama membuang muka. Setelah menemui persimpangan, barulan pemuda itu buka suara tanpa mau memandangku, "Mana ruanganmu?"

Sambil masih merengut, aku asal tunjuk salah satu belokan lorong. Saat ada pintu, aku mengemudikan Ryan untuk mendekatinya, lalu mengintip ke kacanya.

"Bukan yang ini," kataku sambil bersedekap. "Jalan terus."

Mata Ryan berkedut. Rasanya puas sekali bisa membuatnya marah. Sambil berdoa dia takkan menjatuhkanku di tengah koridor, aku menghentakkan kaki dan membentak, "Kau tidak dengar? Ayo, jalan, Bung!"

Adrenalinku terpacu saat mendengar suara gemuruh marah dari dadanya. Ryan punya kebiasaan menonjok sembarang orang saat kesal. Tentu aku tidak pernah kena—tetapi itu dulu, saat aku masih pacarnya yang tersayang. Namun, pemuda itu ternyata tetap jalan membawaku meski rahangnya mengencang. Rasanya seperti cari mati dengan Truck. Bedanya, Truck takkan berpikir dua kali untuk melemparkanku ke seberang koridor dan menyerudukku pakai kepala kemudian.

Kami mendekati pintu lain. Pekikan tertahan di kerongkonganku saat aku mengintip ke kacanya. "Ini dia!"

"Tapi, ini mustahil kamarmu! Kamar ini ada penghuninya—"

Aku meloncat dari gendongannya, lalu mendobrak pintu dengan badanku. Syukurlah pintunya tidak terkunci.

Di dalam, Truck bersandar ke bantal besar di atas brankarnya, salah satu kakinya diperban dan terjulur keluar selimut. Tangannya memegangi gelas plastik berisi air mineral. Erion di brankar sebelahnya, tertidur dengan kedua tangan terentang dan selimut sampai perut. Alatas duduk di tepi brankar Truck dengan sebelah kaki melipat, tangannya mencomot puding dari troli makanan. Secara keseluruhan, Alatas tampak baik-baik saja—hanya rona keunguan di sekitar pipinya yang menunjukkan dia berada di lahan beracun baru-baru ini.

Kedua pemuda itu melongo sebentar seolah tak mengenaliku. Alatas kemudian tersenyum lebar-lebar. Dengan ketololan regulernya, dia berseru, "Hai!"

Aku tersandung-sandung mendekati mereka sementara Alatas langsung melompat turun. Ketika aku mencapai Alatas, hal pertama yang kulakukan adalah mencubit lengannya sampai biru.

"Setelah membuatku cemas setengah mati," geramku, "dan drama 'tinggalkan kami' di hutan, kau cuma berkata hai?"

"Maaf, Bu," cicitnya. "Tidak akan kuulangi."

Aku melepaskannya dan melihat bekas cubitanku, lalu menyesal sendiri. "Maaf ...."

"Akan sembuh setelah dijilat Truck." Alatas mengusap lengannya, sebelah matanya mengedip. Dia terlihat amat sehat untuk ukuran orang yang habis semaput dan minta ditinggal di tengah ladang radioaktif. Tangannya yang lengket bekas puding menarik tanganku. "Kau sudah makan? Sini, makan jatah Truck. Dia masih puasa habis dioperasi sesar. Truck tidak boleh makan sebelum kentut."

Aku menatap Truck dengan sorot tertarik sampai pria itu merengut membalas tatapanku. Katanya, "Kau tidak serius memercayai kata-katanya, 'kan?"

Aku mengedikkan bahu. "Hanya memastikan kalau selama ini kau tidak hamil besar, Truck."

"Teman Leila?" sapa Alatas pada Ryan yang masih berdiri di ambang pintu. Aku buru-buru menunduk. "Sini, masuk. Kami tidak menggigit."

Truck berdecak. "Tidak ada yang takut kau gigit, Al. Para perawat tadi takut pada Erion."

"Ya, aku tahu." Alatas mengeluh dengan nada kecewa sementara Ryan melangkah masuk dan bersandar canggung ke tembok di sisi brankar Erion.

"Kenapa mereka takut pada Erion?" tanyaku seraya menaikkan selimut anak itu ke dadanya.

"Biasalah," jawab Truck. Dia meneguk lagi air mineral di gelasnya, lalu melanjutkan, "Gosip berlebihan tentang bocah yang selamat dari Pusat Karantina, memusnahkan sekoloni Icore, menggerakkan sebuah kapal pesiar utuh, membuat ricuh pangkalan Binta di Kompleks 4, dan disembah sekoloni Calor."

Tanganku berhenti di atas selimut Erion. "Tapi ... itu semua memang benar."

"Cara mereka menceritakannya yang berlebihan," beri tahu Alatas. "Mereka bilang Erion membunuh para Icore sambil tertawa, sengaja menabrakkan kapal pesiar yang kita tumpangi waktu itu ke dermaga, dan memperbudak para Calor. Mereka membuat Erion terdengar seperti Raios-mini."

"Jadi, itu benar atau tidak?" tanya Ryan, akhirnya mendapat perhatian kami.

"Anggap begini, Bung," ucap Truck seraya menusuk Ryan dengan tatapannya. "Kau terjebak di sarang Icore—puluhan wanita yang akan menyetrummu sampai hangus atau memanggangmu untuk makan malam. Apakah kau akan membunuh mereka duluan, atau duduk saja di sana dan membiarkan mereka menjadikan jasadmu yang gosong sebagai pajangan di dalam bangkai kapal?"

Ryan mengangkat kedua tangannya tanda menyerah terhadap topik ini.

Saat Truck akan minum lagi, kudorong kakinya yang tidak diperban, lalu mencoba duduk di ujung brankarnya. "Truck, geser."

"Kau tidak lihat lukaku yang paling besar di antara kita?"

"Ya, dan kau punya badan paling besar juga di sini. Lalu kenapa?"

Brankar Truck berkeriut menerima bobotku, dan aku menghabiskan sisa puding yang dicomot Alatas. Sementara aku menggasak sisa makanan di atas troli, Alatas dan Ryan mengobrolkan sesuatu yang terlambat kudengar.

"—lalu Erion mengeluarkannya dari reruntuhan itu." Perkataan Alatas kudengar sepenggal disela kunyahanku. "Dan Leila meledak."

"Meledak ...?" ulang Ryan.

"Di depan wajahku," lanjut Alatas. "Tapi medan energi Erion melindungi kami berdua dari ledakan. Kalau Truck ... kau di mana waktu itu, Truck?"

"Aku? Aku mengais makanan sementara kalian memungut satu lagi—"

"Kalau kau berani bilang kucing liar, akan kududuki kakimu yang diperban," ancamku tanpa menoleh. Truck mendengus, tetapi tidak melanjutkan kalimatnya.

"Aku Alatas, omong-omong." Alatas berucap dengan kasualnya—seperti biasa, begitu mudah akrab dengan orang tanpa tahu bedanya kawan mau pun lawan. Tinggi mereka hampir sejajar—malah, Ryan terlihat sedikit lebih tinggi dari Alatas karena rambutnya. Alatas kemudian menunjuk Erion dan Truck bergantian. "Yang mungil ini Erion, dan yang besar banget itu Truck."

"Aku Ryan." Dia mengulurkan tangan yang kemudian dijabat Alatas dengan senang hati.

"Wah, cengkramanmu kuat." Alatas berpikir sesaat, lalu berkata lagi, "Ryan ... sepertinya Leila pernah cerita tentangmu."

"Benarkah?" Ryan menyengir aneh kepadaku.

Kucengkram sendok plastik sampai patah jadi dua saat Alatas bertanya, "Kau teman atau kakaknya Leila?"

"Aku pacarnya."

Truck menyemburkan air mineral dari mulutnya ke wajahku sampai aku terpekik. Dengan nada tak percaya, Truck bertanya padaku, "Pacar? Kau?!"

"Oh, maafkan aku karena normal dan bukannya pembenci lawan jenis sepertimu, Truck!" bentakku seraya menyeka bekas semburannya dari wajah dan leherku. "Dan terima kasih buat mandi gratisnya!"

"—dan, kalau tidak salah, Leila juga pernah meledak di depanku dan teman-temanku. Atau lebih tepatnya, meledakkan kue tart besar." Ryan ternyata masih bicara. Aku tak sempat menghentikannya ketika pemuda itu melanjutkan, "Itu terjadi saat ulang tahunnya. Kurasa, dia kaget karena aku menciumnya."

"Pipi!" Aku tak bermaksud melakukannya, tetapi tanganku tahu-tahu bergerak meraih gelas plastik di tangan Truck yang masih terisi sedikit, lalu melemparkannya ke wajah Ryan. Keduanya sama-sama memelototiku untuk alasan berbeda. "Kau main sosor pipiku begitu saja! Kau beruntung objek Peledakku waktu itu bukan mukamu!"

Dari sudut mataku, kulihat Alatas terdiam mengamatiku. Sementara Truck membentak, "Bawa pertengkaran ini keluar! Kalian bisa membangunkan Erion!"

Tepat setelah Truck meneriakkan itu, Erion langsung bergerak dalam selimutnya. Matanya berkedut, tangannya mulai menggaruk kulit lehernya yang masih kemerahan mengelupas.

"Erion, jangan digaruk." Aku buru-buru menahan tangannya, tetapi Erion masih setengah tidur dan alat bantu dengarnya tidak terpasang. Anak itu masih mencoba menggaruk sampai kemudian gerakannya melemah, dan tertidur lagi.

Aku berbalik bertepatan dengan pintu yang terbuka. Di ambangnya, berdiri seorang pria yang kukenali seumur hidupku. Terakhir melihatnya, Sir Ted bersama Binta, mengenakan seragam NC, menawarkan bantuan palsu sampai kami berempat terpisah. Kini, dia dikawal oleh dua pria berseragam jaket dan celana kamuflase.

Dia tampak lebih bungkuk dan kurus dari yang kuingat, matanya merah seperti orang yang belum tidur berhari-hari, mengenakan kaus putih dan jaket merah serta celana kamuflase—loreng hijau-cokelat yang entah warna itu merupakan identitas para pemberontak atau T. Ed Company.

"Leila?" ucapnya, separuh bingung. Aku bisa menangkap kengerian dari sorot matanya. "Bukankah seharusnya kau istirahat di kamarmu?"

"Oh, lihat, siapa ini," ucap Truck dengan sudut bibir yang terangkat sarkastis. "Pria yang sebelah kakinya digantung sungsang oleh Erion di Kompleks 4, benar?"

Dua pengawal Sir Ted bergerak maju seperti tersinggung dengan ucapan Truck, tetapi Sir Ted mengangkat tangan dan menghentikan mereka. Pria itu menarik napas, dan dengan sikap tenang membalas Truck, "Ya, aku pria yang digantung sungsang oleh anak itu."

Dia menoleh pada Ryan. "Kau yang membawa Leila ke sini?"

Ryan menunduk. Kedua tangannya saling genggam di belakang punggung. Ini membuatku terkejut—aku tidak pernah melihat Ryan menurut dan tunduk pada siapa pun, bahkan tidak pada ayahnya sendiri.

"Aku keluar sendiri," kataku, "Ryan menemukanku. Aku cuma—"

"Kalau begitu, mungkin seharusnya kau kembali ke kamar inapmu." Meski terkesan seperti usul, aku tahu yang diucapkan Sir Ted itu adalah perintah. Seumur hidupku mengenalnya seperti keluarga inti, dia tidak pernah memerintah siapa-siapa, terutama aku. Pria itu, tanpa mengalihkan tatapan dariku, mengedik pada Alatas dan Truck. "Aku perlu bicara dengan teman-temanmu ini, Leila."

Alatas dan Truck berpandangan. Aku bisa melihat dengan jelas sorot mata Truck yang meneriakkan, Apa kubilang.

"Tidak bisakah Anda membiarkan kami pergi saja?" tanya Alatas. Sebelah tangannya mencengkram selimut Erion. "Dalam keadaan seperti ini, kami tidak banyak gunanya—"

"Aku hanya ingin bicara," kata Sir Ted lagi. Dia mengedik pada Ryan, menyuruhnya membawaku keluar. Melewatiku yang masih berdiri mematung, Sir Ted berdiri tepat di sisi brankar Truck. "Kalian hanya perlu mendengar. Kalian boleh memutuskan untuk tinggal atau pergi setelahnya."

Aku tidak sempat mendengar kelanjutannya karena Ryan menarikku keluar.

Jantungku seperti berdetak di luar rongganya selama kami menyusuri lorong. Kalimat Embre, yang memperingatkanku untuk tidak memercayai Sir Ted, berputar-putar dalam kepalaku. Aku juga memikirkan Alatas dan Truck, yang kondisinya tidak menolong mereka menghadapi Sir Ted sama sekali. Erion lelap, dan, meski tampak baik-baik saja, aku tahu Alatas menahan gejala gatal dan mual yang dialaminya di hutan waktu itu—obat penghilang rasa sakit yang menidurkan Erion dan Truck sama sekali tidak mempan untuk Alatas. Dan Truck tidak menggerakkan kakinya sedikit pun sejak aku masuk.

Aku berputar dan mencoba kembali ke koridor kamar mereka, tetapi Ryan yang sejak tadi berjalan di belakangku menghalangi jalan dengan badannya.

"Apa yang salah denganmu?" tanyaku jengkel. "Kau tidak pernah menuruti perintah siapa pun. Dan, dulu saat pertama bertemu Sir Ted di rumahku, kau bilang pria itu mirip gelandangan yang kebetulan pakai jas!"

"Ya, itu setahun yang lalu." Ryan mendecak. "Mereka sudah memberitahuku tentang kekuatanmu, Leila. Aku yakin kau sempat masuk ke kepalaku dan melihat apa yang terjadi selama kau tidak ada."

"Hanya kilasan kau bergabung dengan pemberontak ini, yang dibawahi T. Ed." Aku mengerutkan wajah tak percaya. "Tapi, aku masih tidak mengerti kenapa."

"Untuk mencarimu," jawabnya seraya menunduk mendekatkan wajah. "Dan tentu saja untuk merebut lagi rumah kita yang dikuasai para monster it—" Dia menahan lidahnya, lalu meralat, "para Fervent dan NC."

"Nah, sekarang aku sudah ketemu." Aku mencoba melewatinya, tetapi Ryan terus bergeser menghalangi jalanku. "Tolong, aku hanya ingin melihat keadaan teman-temanku!"

"Irene, Pat, Blec, Hyena—kami semua temanmu! Kau tidak menanyakan mereka atau keadaanku sama sekali sejak kita bertemu tadi!"

"Seperti yang kautahu, aku bisa merasuki kepala orang dan mengorek privasi mereka—jadi aku tahu mereka baik-baik saja setelah mengorek isi kepalamu! Sekarang, biarkan aku lewat!"

"Kau sama sekali tidak seperti Leila yang kukenal!" bentaknya.

Tangannya menyasar kakiku. Aku tahu gestur itu. Terlalu sering diperlakukan bak sekarung kentang oleh Truck, membuatku sadar dia mencoba mengangkatku ke atas bahunya seperti membawa sak semen. Aku melompat dan menginjak tangannya. Hilang keseimbangan untuk sesaat, wajahku membentur bahunya. Jadi, sekalian saja kumanfaatkan benturan itu untuk menancapkan gigi ke sana.

"Argh! Dan sekarang kau menggigit!" raungnya saat aku menggelinding lewat dan langsung berlari menjauhinya. "Leila!"

Ototku masih terasa seperti adonan kue, jadi aku berlari secepat nenek tua memakai high heels. Ryan hampir menangkapku ketika aku menabrak salah satu pria yang mengawal Sir Ted. Aku sempat menyumpah karena bibirku tergigit, membuat Sir Ted berjengit dan Ryan berdengap.

"Leila," ringis Sir Ted dengan nada tak percaya, dan sekali itu aku seolah mendengar dirinya yang lama; Sir Ted yang lebih lembut, lebih halus, dan selalu lebih lunak daripada ayah. "Kau barusan bilang apa, Nak?!"

Aku mengulangi sumpah serapahku biar lebih jelas. Sir Ted berjengit lebih keras, dan Ryan di belakangku sepertinya sudah tidak bernapas.

"Mana mereka?" desakku seraya melongok ke balik bahunya.

"Masih di dalam." Sir Ted mengedik ke belakang. "Mereka akan tinggal setidaknya sampai kondisi mereka membaik."

"Apa?" gumamku.

"Mereka menyetujui tawaranku," kata Sir Ted lagi. "Hanya misi kecil, ditukar dengan imbalan yang pantas. Erion bangun di tengah diskusi, memasang alat bantu dengarnya, dan mengangguk saja selama dua pemuda lainnya berkata ya."

"Apa?!" Setengah tertawa, aku berkata, "Kau mustahil membujuk Truck—"

"Justru, Leila, anak itu yang pertama menyetujui tawaranku."

"Kau salah membedakan Truck dan Alatas," tuduhku.

"Si besar di atas brankar dengan kaki yang baru saja selamat dari ancaman amputasi, yang terus-terusan menggeram dan menatapku seolah aku daging bangkai? Itu Truck, 'kan?"

Aku mengerjap. Rasanya mustahil Truck, yang paling keras bilang tak mau, justru kini berbalik arah. "Kau memengaruhi mereka?" lirihku.

"Tidak sama sekali," jawab Sir Ted penuh kepastian. "Aku tidak akan menggunakan Brainware-ku lagi jika kau tidak setuju, Leila. Aku bahkan tidak tahu kau memikirkan apa saat ini. Lagi pula, kau bisa tanya mereka nanti, alasan mereka setuju—sesederhana bahwa tawaranku sangat mereka butuhkan saat ini."

Sir Ted berbalik. Kepalanya mengedik, menyuruhku mengekorinya, dan senyum ramahnya kembali. "Kalau kau sudah cukup istirahat, kurasa sudah saatnya. Dia terus-terusan menerorku sejak kau diangkut kemari."

"Dia?"

"Ibumu," ucap Sir Ted seraya tertawa renyah. "Dia akan membunuhku kalau aku menunda pertemuan kalian sehari lagi. Tidakkah kau ingin bertemu ibumu?"

Mulutku terbuka begitu saja. Air mataku menggenang. Dengan kaki gemetar, aku mengikutinya, dan tanganku terangkat untuk meraihnya—seolah-olah aku kembali jadi bocah 5 tahun, menggandeng tangannya untuk membeli boneka lumba-lumba yang ayahku sendiri tidak mau membelikannya.

Lalu, kilas ingatan—dan itu bukan ingatan bagus. Aku mengingat ayahku saat jarinya menarik pelatuk, air mata di pipi sampai dagunya, darah menyembur dari lubang di antara kedua matanya, dan tubuhnya menggeletak di hadapanku.

Kakiku berhenti.

"Leila?" panggil Sir Ted.

"Terakhir kali kita bertemu, kau bilang aku bisa bertemu ayahku," ucapku. Sekujur badanku mulai gemetar ketakutan. "Waktu itu berakhir bencana."

"Waktu itu aku bersama Binta," katanya dengan lirih. "Aku masih diterima di NC. Seluruh pergerakan pemberontakan ini belum ketahuan. Tidak ada seorang pun dari kami yang menyangka Binta akan menahanmu di sana bersama ayahmu."

"Lagi pula, kita bakal menemukannya," imbuh Ryan, sementara Sir Ted berjalan lagi menyusuri koridor. Pemuda itu menggenggam tanganku, dan kali ini aku terseret tanpa perlawanan. "Kita bakal menemukan ayahmu, Leila."

Aku menelan ludah. "Kukira, kau tidak menyukai ayahku."

"Ya, tapi bagaimana pun dia ayahmu," sahutnya tanpa menatapku. "Kita kesampingkan dulu perkara yang berat-berat. Kau harus bertemu dengan ibumu dulu—dia terus menghampiriku tiap kali aku pulang dari misi, bertanya apakah aku menemukanmu. Wanita malang. Yah, walau suaminya belum kembali, setidaknya kau pulang. Dia tidak perlu tinggal sendirian lagi sekarang."

"Tinggal ...?" kataku tercekat.

"Ya," tawa Ryan seolah aku baru saja melontarkan candaan. "Kau tidak berpikir untuk membuntuti tiga cowok tadi terus-terusan, bukan? Kau bebas sekarang, Leila. Kau sudah di rumah. Dan masih banyak waktu buatmu mendinginkan kepala—aku tahu kau cuma sedang marah padaku, tidak minta putus sungguhan. Caramu berusaha membuatku cemburu dengan cowok Fervent tadi? Menggemaskan—dan menyebalkan juga. Jangan lakukan itu lagi."

Ryan masih bicara, tetapi koneksiku terhadap suaranya seperti terputus. Kepalaku mendadak jadi ringan. Punggung Sir Ted di depan membimbing kami bersama dua antek-anteknya, tetapi aku merasa seperti disedot ke lubang hitam—tidak bisa menjauh atau berbalik seberapa pun kerasnya aku berusaha.

Ibu ... tentu saja aku akan melakukan apa pun untuk bersamanya lagi. Namun, pikiranku penuh oleh Erion. Dan Alatas. Bahkan Truck.

"Leila," panggil Sir Ted lagi sampai menarikku keluar dari lamunan. "Jangan pikirkan ini terlalu berat, oke? Tapi aku hanya ingin memberi tahu lebih dulu. Segera setelah kau merasa baikan, kami akan membutuhkan bantuanmu—kesaksian, petunjuk, atau apa pun itu untuk melacak ayahmu."

Tidak ada yang boleh tahu bahwa ayahmu sudah mati, kata Embre saat aku di sarang Calor. Ayahmulah penghubung keduanya—dia Agen NC sekaligus pemegang T. Ed Company bersama Timothy bersaudara yang tersisa.

Aku tak tahu Sir Ted berdiri di mana—NC? T. Ed? Ayahku? Binta? Rasanya semua itu terpisah jauh dan aku sendiri tak bisa memutuskan mana yang benar.

Kalau ada yang tahu ayah sudah mati ....

Kalau orang yang salah mengetahui bahwa ayahku sudah mati ....

NC tak memiliki apa pun lagi untuk ditakutkan, Embre mewanti-wanti dalam ingatanku. Bintara bisa dengan mudah meyakinkan orang-orang di Kompleks Sentral untuk memulihkan jabatannya, dan mengambil alih T. Ed Company seluruhnya. Jika sudah begitu, perang besar antara keduanya akan terjadi, dengan banyak Fervent yang terlibat ... dan manusia normal yang terjepit di tengah.

Sir Ted tersenyum lembut. Ryan merangkulku. Dan aku bersumpah derap kaki kedua pria yang mengawal Sir Ted terdengar seperti gema langkah Sepatu Bot yang menghantui mimpi buruk Erion di Pusat Karantina.

Aku mulai gemetaran lagi.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan




FANART SUPER IMUT DARI Seirin11_04 

"Gimana jadinya kalo Erion pergi ke 7 tahun yg lalu dan bertemu mereka bertiga? :> Kira-kira beginilah wujud Leila (10 thn), Alatas (12/13 thn), dan juga Truck (10 thn) di kepalaku. Trus, kalo Alatas umurnya 10 tahun, Leila dan Truck bakal semungil apa???"


P.S. Stay safe everyone (ノ*゚ー゚)ノ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro