Chapter 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Raja Chen terlihat cemas dan sangat marah. Ia mengelus cincin yang berada di jari telunjuknya, cincin dengan batu bersimbol penguasa yang terbuat dari giok. Kemudian, Raja Chen berdiri di aula istana sambil berteriak. "Penjaga! Penjaga!" Tetapi, tidak ada yang merespon panggilan tersebut. Ia menyadari, bahwa ia sendirian di tengah aula istana. Padahal, sinar matahari menyinari bagian dalam aula istana. Terasa hangat dan tidak suram sedikitpun. Namun, kondisi itu berubah ketika pintu aula terbuka lebar.

Victor berjalan masuk dengan percaya diri. Rora menyusul dibelakangnya. Suasana menjadi sunyi dan mencengkam. Raja Chen mulai panik, ia berdiri dari singgasananya. Melotot ke arah Victor.

"Kurang ajar! Akulah satu-satu nya Raja dari Negeri Daze ini. Berani-beraninya kau mengacungkan pedang mu ke arahku!" Raja Chen, sosok yang telah membunuh banyak orang, termasuk Ayah Victor salah satunya.

Tidak jauh jarak Victor dengan sang Raja. Ia menghentikan langkahnya, melirik Rora yang berada di samping. Kemudian berbisik,"Anda ingin saya membunuh dia?"

"Banyak orang yang meminta kepada saya untuk membunuhnya. Kuserahkan pilihan ini pada Anda, Jenderal. Apapun yang ingin Anda lakukan, akan Saya kabulkan." Lanjut Victor, ia tersenyum kepada Rora sebelum kembali tatapannya kepada Raja Chen.

Rora membalas senyuman Victor, lagi-lagi kenangan buruk itu terbesat pada ingatan Rora. Tetapi, sekarang Rora merasa lega karena penderitaan itu akan segera terbalaskan.

"Tidak, jangan bunuh dia. Cukup memenjarakan saja dia di penjara bawah tanah. Biar dia merasakan betapa tersiksanya rakyat Kota Yudu di bawah pemerintahannya. Biarkan dia mati kelaparan di bawah sana." Ucap Rora, sang jenderal menatap Victor yang berada disampingnya. Ia mengangguk, tersenyum puas dengan keputusan Rora.

Saat mendengar pernyataan itu, Raja Chen segera lari terbirit-birit--Victor mengangkat busurnya seraya membenarkan posisi anak panah yang ia ambil. Memusatkannya pada Raja Chen dan melepaskan panahannya. Kilatan merah terlihat ketika anak panah itu terbang, lantas mengenai pundak Raja Chen sehingga ia terjatuh ke dasar mimbar. Cincin yang digunakan terlepas dari jarinya. Ia mula meringis kesakitan dan berteriak tak karuan.

"Paman, sebaiknya Anda menyerah saja." Victor berhenti di hadapan Raja Chen, pamannya. Melihat cincin itu berada di sebelah kaki kanan Victor, spontan Victor menginjak cincin tersebut hingga hancur berkeping-keping.

Teriakan histeris terdengar, Raja Chen menangis dan memohon ampun kepada Victor. Ia menghiraukan hal tersebut, justru terpaku pada panah yang menancap pada pundak Raja Chen. Victor menarik panah tersebut, Raja Chen lagi-lagi berteriak kesakitan.

"Rora, kemarilah."

Victor menuruni tangga pada mimbar.  Hanya dengan mengambil dua langkah ke depan, Rora berdiri tepat dihadapan Victor. "Masih ingat dengan panah ini?"

Rora memperhatikan setiap detailnya pada panah yang berada di genggaman Victor.  Bulu panah berwarna merah, dengan mata panah bermata dua. Ini adalah desain yang digunakan oleh pasukan Raja Chen saat menyerang Rora lima tahun lalu. Rora ingat betapa sakitnya saat panah itu menembus kulitnya.

"Kamu masih menyimpan ini?"

"Ya. Panah ini yang aku temukan ketika mengobati lukamu lima tahun lalu."

Hanya dengan jentikan jari, Victor mematahkan panah tersebut. Dia tidak berkomentar lagi mengenai Raja Chen. Victor mengangkat tangannya, memberi kode untuk membawa Raja Chen menuju penjara bawah tanah kepada prajuritnya. Diikuti oleh para menteri.

"Ikutlah denganku, mari berjalan-jalan sebentar." Victor meraih tangan Rora. Membawa Rora menuju halaman istana.

※※※※


Menikmati berjalan di bawah matahari yang hangat, dan setiap sinar cahaya yang menyinari wajah mereka  membawa kehangatan kehidupan  yang baru mereka buat. Bagi Victor, mungkin ia ingin bernostalgia bersama keluarganya dulu. Mereka tiba di halaman istana. Berdiri di ujung jembatan panjang berwarna merah.

"Victor, kamu serius untuk kemari sebagai hal pertama yang akan kamu lakukan setelah merebut kembali apa yang seharusnya milikmu?" Rora mengernyitkan dahi. Victor mengangguk sebagai jawaban.

"Berjemur pada terik matahari adalah pilihan yang bagus. Sekarang, semua orang bisa berjemur dengan tenang."

"Bercanda mu lucu sekali, Yang Mulia-- atau harus kupanggil Kaisar Victor?" Ledek Rora sambil tertawa pelan. Ia melangkahkan kedua kakinya dahulu--sebelum akhirnya Victor menarik tangan Rora kembali. Menggenggam tangan sang jenderal.

"Ada yang ingin aku cari."

Victor menoleh, memperhatikan tiap inci halaman. Danau buatan yang terlihat jernih. Pepohonan yang hijau, serta bunga yang ditanam di halaman terlihat indah. Bebatuan berbagai ukuran diletakan dnegan simetris sehingga estetikanya bertambah. Victor lalu menarik Rora ke salah sath bebatuan di halaman. Bentuknya berbeda dari pada bebatuan lainnya. Saat Rora mengikutinya dengan rasa ingin tahu, Rora  menarik tangan Victor dengan ekspresi bingung.

"Jangan bilang kamu menyembunyikan mainan masa kecil mu, Victor?"

"Benar. Namun, itu bukan milik ku."

Victor meraih dan meraba-raba di antara celah kecil dua bebatuan. Lalu tiba-tiba memutar kepalanya, dia menyodorkan pedang berukuran kecil yang terbuat dari kayu ke tanganku.

" … astaga Victor, bagaimana kamu bisa menemukan ini? Aku ingat, dulu kakak ku membuang benda ini di danau yang berada disini."

Pedang kayu yang Rora ukir sendiri dengan kedua tangannya. Ketika sang kakak sibuk dengan urusannya di Istana Kerajaan, Rora menyibukkan dirinya untuk berlatih pedang diam-diam. Karena sang kakak tidak mengizinkan Rora untuk melakukan hal yang seharusnya yang tidak dilakukan oleh perempuan. Saat itu, Rora ketahuan oleh Kakak-nya. Karena kesal, pedang itu dibuang ke danau. Dan Rora, diseret kembali untuk pulang.

Victor menurunkan matanya tanpa sadar, menatap Rora lekat dan suaranya menjadi lebih lembut seolah menghibur Rora.

"Aku mengambil pedang tersebut ketika kalian berdua meninggalkan tempat. Ya, aku melihat perdebatan kalian berdua saat itu."  Jelas Victor kepada Rora. Ia tersenyum kepada sang jenderal dengan tulus.

"Terima kasih." Balas Rora, ia ikut tersenyum memandangi pedang kayu tersebut.

"Terima kasih juga karena telah berjuang bersamaku hingga dititik sekarang. Mulai sekarang, kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan. Akan kuwujudkan keinginan mu itu sebisaku."

Victor menatap kedua mata yang sangat familier baginya. Mata berwarna biru laut tersebut menyejukan perasaan Victor serta senyuman yang sangat Victor kenal. Dalam lima tahun ini, tanpa disadari mereka telah saling menggenggam tangan, berkomitmen pada hidup dan mati. Serta tali takdir yang mengikat mereka.

"Victor."

Rora memasukan pedang kayu tersebut pada saku celananya. Kemudian, ia mengangkat tangan kanannya, dan ia letakkan tepat dijantung Victor.

"Kamu."

"Ya?"

"Bagaimana jika aku menginginkan mu?" Tanya Rora pelan. Kedua mata biru itu, menatap Victor. Tatapan penuh keinginan egois yang Rora pendam selama ini, tanpa ia sadari.

Victor tidak mengelak atau melarikan diri dari tatapan dan perasaan Rora. Victor perlahan mempersempit jarak mereka, dan menatap Rora lekat-lekat.

"Bagaimana caramu ingin memiliki ku?"

Rora justru tertawa ketika melihat reaksi Victor. Ia perlahan memberikan jarak kepada pria dihadapannya, terkekeh pelan."Tidak, aku hanya bercanda."

"Lagi pula setelah ini, mungkin aku akan pergi. Akan lebih baik jika kamu memberikanku uang atau rumah untukku. Itu lebih berguna bagiku." Jelas Rora kepada Victor sambil tersenyum tipis.

"Setelah masuk ke dalam Istana, hidupmu mungkin akan berubah. Aku--tidak, kita telah mencapai kemenangan, tugasku sudah selesai."

Victor menatap Rora lekat. Pandangan matanya berkaca-kaca dengan emosi muram, namun Victor mencoba mengalihkan emosi tersebut. Nada suaranya tetap sangat tenang.

"Jadi kamu akan meninggalkanku sendirian disini, dalam kesunyian di singgasana ini?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro