zwein, kleine

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wilayah atap yang dimaksudkan di peta ternyata adalah atap tertinggi di tempat tersebut, terbagi dua bagian dengan gedung yang belum selesai dibangun, tetapi porsi atap lebih banyak ada di atas gedung utama.

Pintu menuju atap dihalangi dengan kursi-kursi dan meja yang tidak digunakan, tulisan hologram ada berpendar terang di atas pintu besi: Dilarang Masuk.

Eliza sekedar terkekeh. Bila ia ternyata didiskualifikasi nanti karena masuk ruang terlarang, ia akan berdalih bahwa ia tengah menikmati fasilitas yang ditujukan pada tamu - dan ya, tamu selalu benar, Eliza percaya kata-kata Madam-nya mengenai hal tersebut.

Lalu, bukankah tanda ini harusnya bertuliskan 'Dilarang Keluar' dibandingkan 'Dilarang Masuk'? Atap terbuka bukan merupakan ruang tertutup. Tapi, ah, sudahlah, itu tidak terlalu penting.

Eliza membuka pintu besi sepelan mungkin, ada perbedaan tekanan udara menahan pintu tersebut mengayun, sedikit berat untuk dibawa melawan arus. Terpaan angin, walau tidak begitu kencang, menafik wajah Eliza yang melangkah maju dari arah pintu. Atap itu dikelilingi oleh pagar berupa teralis besi berongga, dengan bagian belakang dibatasi oleh kawat tinggi untuk memisahkan daerah yang dapat disinggahi atau tidak.

Baru beberapa jam ia terkunci di suasana dalam ruangan dan ia sudah merindukan keberadaan angin, keberadaan sirkulasi udara yang mengalir lebih bersih. Ia memang bersungut menghadapi acara non-virtual yang membuatnya keluar dari sarangnya di rumah kecil keluarga Cardis, tapi dia tidak akan pernah menolak semilir angin dan kesendirian yang hakiki.

Gelap malam terlihat jelas di langit, polos tanpa ditemani sekelip pun bintang. Eliza tidak tahu pada awalnya Neo-Virtual Area sengaja memasang latar malam atau memang itu adalah alur waktu secara nyata, sampai ia akhirnya membaca jam yang ia telah diamkan sejak awal sibuk memperhatikan sekeliling ruangan: 21:22. Kemungkinan besar, citraan langit ini adalah asli.

Membiarkan pintu di belakangnya tertutup dan sejenak menangkap pemandangan luar, Eliza menghela nafas panjang. Ia ingin sekali membuka Sistema Cardis secara luas dibandingkan terus menatap layar tersembunyi. Sayang, ternyata Eliza tidak sendirian di sana. Suara senandung samar menelisik di antara sisip angin, sampai untuk Eliza dengar namun tidak untuk Eliza tebak judul lagunya.

Tidak ada yang mungkin melupakan surai merah muda itu dan bagaimana ia menyita perhatian khalayak dengan caranya yang biasa lagi luar biasa.

Di era ini, memang ada bangsawan yang masih berkutat dengan hal-hal lama seperti belajar memainkan musik, tapi Eliza baru pernah mendengar seseorang - organik, seratus persen manusia - memainkan piano tanpa bantuan apapun. Tidak ada AI yang mengiringi. Tidak ada AI yang terinstall pada piano tersebut untuk membukakan partitur, memilihkan lagu, atau bahkan memperlihatkan tuts yang perlu ditekan dengan warna-warna tertentu.

Eliza pernah melihat rekaman-rekaman lama yang ada di komputer milik Madam, tentang maestro-maestro musik membawakan satu orkestra dengan bantuan sebuah tongkat. Maestro itu tidak memainkan musik di hadapan mesin atau robot, tetapi ia membawa armada musiknya sendiri: sepasukan tentara berpakaian hitam dan putih, menggenggam senjata mereka masing-masing dan mengikuti aliran kemana melodi pergi, sekalipun pandangan dan konsentrasi mereka tidak buyar dari ayunan tongkat komandan yang menuntun kemana mereka harus menyerang, kapan mereka harus bersuara. Piano bernyanyi. Biola berdenging. Terompet memanggil. Perkusi menyalak.

Countess Kleine berpakaian hampir mirip dengan mereka - hitam putih, dengan pita berwarna biru mengencangkan antara kerahnya. Blazer hitam yang ia kenakan menggantung santai di atas bahu, dikaitkan oleh dua lencana: bros Society dengan daun dan pedangnya yang ikonik di sisi kanan, dan apa yang tampak sebagai lambang keluarganya di sisi kiri, bunga dengan banyak kelopak, sewarna merah muda dengan rambut sang Countess.

Tubuh kecil sang Countess tengah condong ke arah pagar teralis setinggi dadanya, kedua tangannya terlipat di atas pagar. Eliza baru menyadari perbedaan tinggi mereka ketika ia melangkah mendekat, perlahan, mencoba untuk tidak mengacaukan ritme sang pelantun. Countess Kleine terlihat tinggi, berwibawa, mampu menyandingkan dirinya di antara Duchess Sarachenia dan Earl Gaillardia, sejenak Eliza melupakan bahwa dia cukup pendek, hanya sebahu dari Eliza.

<ekspresi>Mungkin itu yang dinamakan berat dari sebuah karisma.</ekspresi>

Tentu, Sistema Cardis lebih cepat darinya untuk selesai menganalisa siapa figur di sampingnya itu, sampai ke beberapa tebakan lagu yang menjadi isi senandungnya. Untuk sekarang, Eliza ingin diam, ikut berpegang pada teralis penjaga, melihat hamparan bagian Divisio Regelia di bawah sana.

<peringatan>Terdapat hologram penyangga antara Neo-Virtual Area, diharapkan menjaga jarak aman dari sisi pagar, atau akan ada serangan panas menyengat di kulit.</peringatan>

Log itu akan berguna nanti untuk mengetahui bahwa daerah Neo-Virtual Area ini dijaga agar tidak terlihat dari 'luar', sehingga dapat dipastikan bahwa acara seleksi ini sempurna rahasia dan tertutup.

"Jadi, Baroness," Eliza tidak menyadari kapan lagu itu terhenti. Countess Kleine menoleh ke arahnya, punggung tangan kirinya memangku dagu. "Kamu juga menyukai pemandangan atap?"

Eliza menelan ludah. Seseorang berpangkat tinggi di KINGDOM mengajaknya bicara. Oh! Dia bahkan adalah seorang Admin! Orang nomor satu di KINGDOM (tentatif)!

"Harusnya saya yang bertanya hal itu, Countess. Bukannya melihat gedung-gedung pencakar langit atau mencari udara segar sesuatu yang tidak biasa dilakukan bangsawan?"

Mengingat hampir 50% kehadiran menumpuk di wahana rekreasi atau spa, ya, Eliza bisa menarik kesimpulan demikian. Juga, Eliza tahu persis perasaan anak-anak atau orang-orang yang mengidamkan bisa naik ke reruntuhan bangunan di Slums atau gedung yang tak terpakai untuk menatap KINGDOM dari sudut pandang tertinggi.

Ya, mungkin itu salah satu faktor mengapa Eliza memilih pergi ke <atap> dibandingkan <ruang hijau>, walau itu artinya pupus sudah harapannya untuk menyendiri bersama Sistema Cardis.

"Begitukah? Jadi kamu menyebut diriku aneh?" ia terkekeh.

"Tidak, bukan seperti itu-"

Countess Kleine mendekat, kini siku mereka bersentuhan di tepi atas teralis. Eliza kini bisa menginderai parfum yang Countess gunakan, citrus samar seperti dalam aroma teh Bergamot.

Senyum sang Countess naik, raut mukanya cerah bersahabat. "Lalu, seperti apa?"

"Err, yah. Tidak seperti bangsawan pada umumnya."

"Apa itu 'umum', Baroness?"

"Tunggu, Countess, apa anda sedang menguji saya?" atau ini yang dibilang orang-orang sebagai, bam! Pertanyaan spontan! Eliza telah memilih untuk pergi ke tempat yang salah dan bertemu dengan orang yang salah.

Ia menggeleng pasti, "Aku cuma ingin mengobrol denganmu," bahunya naik. "Baru kali ini aku menemukan seseorang yang berusia sama denganku."

Sebelah alis Eliza naik. Mungkin seharusnya ia memindai informasi dari Sistema Cardis dahulu agar ia merasa lebih siap.

"Anda ... tahu umur saya?"

"Lebih tepatnya; siapa yang tidak tahu mengenai satu-satunya Baron di Society Auction Ball tahun ini?"

Eh? "Anda bercanda, 'kan?"

Countess Kleine berdengung, kedua alisnya naik, "Aku sekedar pernah berada di posisi yang sama."

Eliza menarik satu layar dekat dengan jarak pandang matanya, padanan informasi singkat mengenai Countess Kleine sudah ada di genggaman.

Keluarga kelas Count pertama yang masuk di jajaran Society Auction Ball telah terpilih oleh Sistem. Keluarga kelas Count pertama yang menjadi salah satu Tiga Familia utama.

Berita-berita itu santer di tengah masyarakat pada waktunya. Nama dan kelas yang tidak biasa digaungkan kemana-mana. Saat itu, Eliza ingat, kelas Count dinyanyikan seperti pahlawan. Nama 'Dahlia Kleine' ada di mana-mana; banner berjalan di kota, tagline berita-berita daring, sampai pembicaraan di sebuah forum diskusi retas yang biasa Eliza akrabi. Tren diri wanita muda itu terus naik sejalan dengan saham keluarga Kleine yang kian menanjak di pasar mekanikal dan elektrikal, juga di jual-beli logam dan material pembangunan. Eliza ingat salah satu kantor berita membuat artikel panjang mengenai Dahlia dan memberi wanita bersurai merah muda itu panggilan sedemikian rupa; Metallurgy Princess--Putri Metalurgi.

"Anda ... tahu seberapa banyak tentang saya?" Eliza tak pelak bertanya.

Countess Kleine mengetuk-ngetuk jarinya di atas pagar, "Mungkin sebanyak yang diketahui orang-orang di pesta? Kamu belum lama menjadi kepala keluarga menggantikan kepala keluarga sebelumnya, dan tidak terlalu terkenal di lingkungan sosialita Divisio Tessa?"

"Itu sudah cukup banyak." Eliza bersedekap, menjaga ekspresinya netral. Informasi itu sesuai dengan apa yang ia coba profilkan untuk diketahui klien-kliennya. Tidak ada yang perlu tahu kalau dia berasal dari tempat sampah KINGDOM.

Senyum simpul Countess masih melekat, sinar matanya menguar seakan ingin mengetahui lebih. Entah kalau sang Countess hanya sekedar memajang topeng keramahan, atau memang dia sedang ingin banyak bicara.

"Kalau begitu, kamu bisa bertanya-tanya tentangku."

Eliza sedikit terhenyak, ia mencengkram pergelangan tangan kanannya. "Maksud anda?"

"Aku sudah tahu tentangmu. Biar adil, kamu boleh bertanya-tanya tentangku," balasnya santai. "Tentu mungkin bukan hal-hal yang terlalu pribadi."

Wanita yang aneh. Simpan Eliza dalam hati.

"Saya tidak berhak melakukan hal itu, Countess."

Eliza merasa Countess Kleine bersungut sejenak, pipinya menggembung, sebelum akhirnya ia menatap Eliza lebih tajam, sepatunya ia ketuk-ketuk di hamparan lantai ubin.

"Baiklah, bagaimana kalau kuubah pertanyaannya: apa saja yang kamu ketahui tentang diriku?" Countess Kleine tidak menyerah, namun ia kurang menyebalkan dari Madam bila sedang melempar pertanyaan.

Tentu, isi Sistema Cardis telah berfokus di satu kata kunci, yaitu 'Dahlia Kleine'. Walau begitu, Eliza tidak ingin membaca seluruh berita atau infografis dari A sampai Z.

"Anda ada di mana-mana, Countess."

Jawaban Eliza menuai tawa renyah dari sang Countess.

"Maaf, tapi aku bukan kamera pengintai di jalanan kota. Tapi baiklah bila itu yang kamu tahu."

Countess Kleine menarik pandangannya dari Eliza menuju hamparan kota di bawah. Metropolis ini hanya sebagian kecil dari KINGDOM, dan semuanya merupakan milik keluarga berkelas Duke dengan nama Regelia. Ada banyak pemandangan berbeda yang dapat dilihat dari banyak sisi KINGDOM, dan sangat berbeda antara mampu melihat sendiri dan melihat dengan bantuan satelit peta. Lampu-lampu yang tidak pernah absen dari tiap gedung pencakar langit bisa menandakan kota yang tidak pernah tidur. Atau, menandakan percikan-percikan energi dunia malam yang baru saja dinyalakan.

Eliza selalu melihat dalam tipe kedua dibandingkan tipe pertama. Ia tidak tahu Countess Kleine berpikiran apa soal kota atau mungkin lanskap yang terbentang di hadapan mereka.

"Indah bukan, pemandangan ini?"

Semilir angin menghentak lagi. Mereka tidak terlalu peduli akan gaya yang membuat rambut mereka ikut terhembus.

"Sejak diberlakukan jam malam, tidak terlalu banyak kesempatan untuk melihat pemandangan seperti ini."

Eliza menunduk, "Anda 'kan, yang memberlakukan jam malam?"

<kata benda>Jam Malam</kata benda>

<deskripsi>

Pemberlakuan pembatasan kegiatan luar ruangan di atas jam sepuluh malam, terkecuali orang tersebut telah dibekali oleh surat tugas. Hal ini merupakan salah satu dari beberapa naskah peraturan baru yang dibuat sejak terorisme siber skala besar sepuluh tahun silam. Peraturan ini baru saja disahkan dua tahun lalu.

</deskripsi>

Countess mengangguk, "Ya, karena semua ketakutan akan adanya lagi pecahnya kejadian terorisme siber," ia menutup matanya. "Karena bukan hanya jaringan virtual yang akan merasakan akibatnya. Bisa saja ada banyak bentuk kejahatan lain yang mengikuti. Ada api, ada asap."

Eliza merasakan tenggorokannya seketika kering. Sistema Cardis telah menangkap kata kunci tersebut dan mulai memunculkan beberapa pencarian yang relevan, Eliza mengabaikan seluruhnya dan memberi komando untuk menutup sebagian fungsi pencarian.

Terorisme siber. Api. Duke Lakspur. Slums. Ia tidak ingin mendengar hal-hal itu untuk saat ini.

Countess Kleine menatap ke arahnya lagi, kali ini dengan sedikit kerut di dahi. "Ah, apa topik ini kurang menyenangkan?"

Eliza mengangguk. Dalam hati mengutuk kondisi mentalnya yang mudah campur-aduk.

"Kalau begitu," senyum memudar sejenak dari wajah riang sang Countess, sebelum ia tampak kembali dengan topik baru.

Ia menatap Eliza dengan lembut, sinar dari hamparan gedung bertingkat yang terpatri ke wajahnya seakan mempertegas bayangan yang ada di ekspresinya, bukan mengaksentuasi kerlingan mata atau senyumnya.

Countess Kleine selalu tersenyum. Eliza menyadari hal tersebut baru saja: senyumnya selalu, selalu sama; senyum yang tidak pernah sampai ke matanya, dan bagaimana matanya tidak pernah berkerut ketika ia mencoba berbicara dengan ekspresif.

"Katakan padaku, sihir apa yang membawamu ke sini, Baroness?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro