Bab 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Padahal dia bilang akan selalu bersamaku, tapi setelah berdansa Eren malah pergi meninggalkan aku sendiri di ujung ruangan ini. Walaupun itu bukan maunya, dia di bawa pergi oleh para bangsawan lain. Wajar saja, dia kan Raja Kerjaan ini. Namun yang menyebalkan, tak lama Eren meninggalkanku, para semut ini segera mengerumuniku.

"Salam tuan Putri, tidak menyangka kita akan bertemu lagi di sini," ujar si lintah darat, Eletra.

Aku nenyengir, "Lama tidak bertemu Nona Eletra."

"Wah ternyata nona Eletra dekat dengan tuan Putri."

"Padahal ini pertama kali saya bertatap langsung dengan tuan Putri."

Wah ternyata ini alasan Eletra mengajakku bicara duluan. Sekarang dia baik, tapi jika diberi hati, dia akan meminta jatung. Akan lebih baik kalau ku basiminya sebelum tumbuh lebih besar.

"Tentu saja, hari itu kami bertemu saat di istana," ujarnya dengan riang.

"Wah saya fikir saat itu nona sedang menggoda yang mulia Eren," tusukku. Apa itu jaga image, aku kan ingin menjadi wanita jahat. "Apalagi saat itu anda datang di saat saya dan Yang mulia Eren sedang ingin dilukis berdua," aku menatao rendah Eletra.

Wajah Eletra langsung pucat, dan para gadis bangsawan yang di sampingnya saling berbisik satu sama lain. Jelas mereka sedang membicarakan Eletra. Dibandingkan membicarakan orang dari belakang, para sosialita ini lebih suka bergosip di depan orangnya langsung.

"Bukankah anda tidak terlalu cembur tuan putri?" Tanya seorang gadis bangsawan.

"Hmm, tentu saja. Siapa yang tidak cemburu jika tunanganya di goda wanita lain. Tapi tidak masalah, karena yang mulia Eren langsung meninggalkan nona Eletra dan pergi bersama saya," kali ini yang kukatakan fakta kok, fufufu.

Sudahlah, aku tidak mau terus dikerumuni oleh semut-semut ini. Dari kejauhan aku melihat nona Chaterine, aku langsung keluar dari rombongan ini dan mendekati Chaterine. Chaterine yang tahu aku mendekatinya, langsung menghampiriku duluan.

"Tuan putri, ada apa yang mulia…"

"Ini kan pesta Nona Phaloe, tentu saja saya ingin berbicara dengan bintang pesta ini," aku memotong pembicaraan Chaterine. Aku melihat balkon kosong di ujung aula. "Bagaimana jika kita berbicara sebentar di sana," aku menunjuk balkon teras itu.

Chaterine menurut, lagipula siapa yang tidak menurut di depan putri kerajaan Hujan yang juga tunangan Raja Matahari. Dia tampak gugup saat berjalan di sampingku. Aku langsung memegang tangannya, dan menyeret dia ke teras itu. Dia terkejut, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.  Di teras, udara segar langsung terasa, memang di luar sini lebih baik dari pada di dalam. Aku melihat Chaterine yang masih gugup.

"Tenanglah Nona Phaloe, ini kan acara kedewasaanmu, apa yang anda takutkan?"

"Hmm, saya tidak menyangka bisa bersama tuan putri."

Aku menghela nafas panjang. "Aku tidak punya teman di sini. Rasanya nona Phaloe cocok untuk menjadi teman saya."

Lagi-lagi dia gelagapan. "Tapi tuan putri, saya bahkan tidak punya gelar bangsawan."

"Apa itu perlu, gelar bisa di dapatkan dengan usaha bukan?" Lagipula saat kau menjadi wanita hebat nanti, gelap bukan apa-apa untukmu. "Ngomong-ngomong apa yang akan dilakukan nona setelah ini?"

Dia ragu-ragu menjawabku. "Saya ingin masuk ke akademi Teknik tuan putri," akhirnya sorot matanya sedikit bersinar.

Tentu dia ragu, karena perempuan di kerajaan ini tidak mendapat pelajar Teknis secara formal. Mereka hanya diberi pelajaran menari, melakuis, dan alat musik, atau terkadang menyulam. Sisanya pelajaran akuntansi dan politik akan di dapatkan saat mereka akan menjadi istri seorang bangsawan. Chaterine yang ingin masuk ke akademi Teknik tentu saja menjadi bahan tertawaan para bangsawan, dan orang-orang lain.

"Wah itu keren sekali nona Phaloe," drcakku kagum. Yang pertama aku harus mendukungnya menjadi penemu wanita hebat di benua ini.

"Eh… Tapi tuan Putri, wanita tidak bisa masuk ke sana," nada suaranya mulai murung.

"Sekarang memang tidak bisa, tapi butuh satu langkah untuk mengubah hal yang tidak bisa menjadi bisa," seruku. Di novel Chaterine harus berusah payah masuk ke sana, bahkan di awal dia sempat diusir dari rumahnya.

"Apa tuan putri yakin saya bisa?"

"Tentu saja, impian saya adalah menjadikan wanita memiliki hal sama dengan pria, terutama dalam pendidikan." Saat aku menjadi Miaa, banyak wanita hebat yang sederajat dengan pria, kurasa aku ingin melihat wanita seperti itu.

Aku menggenggam kedua tangan Chaterine, "Saya yakin nona Chaterine akan ikut bersama saya mewujudkan mimpi saya itu," lanjutku. "Jadi, maukah nona Phaloe menjadi teman saya?"

Matanya bersinar menatap ke arahku. Ternyata mengambil hati seseorang sangat mudah, apalagi dengan wajah cantik dan posisiku sekarang.

"Hmm, Rine, teman saya memamggil saya seperti itu," jawabnya malu-malu.

"Kalau begitu Mili, saya ingin Rine memanggil saya seperti itu."

Dia mengangguk dan akhirnya tersenyum padaku. Senyumannya sesaat membuat masa depanku sedikit cerah. Pokoknya aku harus keluar dari istana sesudah Rine masuk ke akademi. Aku akan membantunya menjadi murid akademi Teknik. Dan saat ia lulus, Rine akan berbalas budi padaku. Rencana yang hebat.

"Ternyata kau di sini bersama Nona Phaloe." Aku melinguk, Eren menatapku dengan datar. "Bukannya kau harusnya tidak jauh dariku?"

Aku merenguk kesal. "Siapa juga yang pergi meninggalkanku sendirian?"

Dia nenyengir. "Bukannya ada nona-nona bangsawan lain yang ingin menjadi temanmu?" Teman apaan, mereka semua adalah lintah darat yang licik.

Aku merangkul Rine sambil tersenyum. "Temanku adalah Rine sekarang."

Dia mendengus, dan aku menjulurkan lidahku padanya. Siapa suruh meninggalkanku bersama para semut itu. Mereka hanya tertarik mendekatimu melalui aku. Walau aku tidak peduli soal itu, tapi aku tidak terima dijadikan pijakan oleh mereka.

"Ayo ini sudah malam, aku masih ada kerjaan," keluhnya yang langsung menggandrungi tangannku.

Aku tidak sempat berpamitan pada Rine, aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Dia juga melambai dan tersenyum padaku. Habis ini aku akan mengajaknya minum teh di istana. Pasti menyengakan tea party ala-ala putri bangsawan.

"Kau senang sekali mendapat teman," ujar Eren.

"Tentu saja, dia temanku di pergaulan sosialita."

"Bukankah dayang dari Baron dan penari itu juga temanmu?"

"Tapi itu beda, apalagi Laya, sangat beda kelas dibanding dengan Rine."

Oh iya aku baru ingat, Lilia kuajak pergi ke pesta ini. Kami terpisah kereta kuda karena Eren bersamaku. Dan aku juga belum melihatnya sejak sampai di sini. Semoga dia baik-baik saja. Maafkan aku Lilia, pasti kau juga dikerumuni semut karena menjadi dayangku. Dan lagi, Eren masih menggenggam tanganku walau kami sudah keluar dari tempat pesta. Apa dia sadar dengan itu.

Seorang pelayan membuka pintu kereta kuda. Aku buru-buru masuk ke dalam, dan melepaskan genggaman Eren. Mataku terbelangak saat aku melihat buket bunga Edelweis di atas tempat duduk.

"Itu untukmu," ujar Eren acuh.

Aku terbengong melihat bunga itu, dan Eren. Padahal selama ini aku tidak pernah bilang bahwa aku suka bunga Edelweis. Satu-satunya yang tahu adalah Laya, pasti dia yang mengatakannya.

"Terima kasih Eren," ujarku riang.

Dia mendengus. "Lagipula kenapa kau suka bunga liar seperti itu."

Benar juga, di tempat ini Edelweis merupakan bunga liar. Tapi aku menyukainya sejak menjadi Miaa. Aku sempat ingin menanamnya di taman, tapi bunga Edelweis tumbuh Penggunaan, jelas tidak cocok dengan iklim kerjaaan Matahari.

"Bunga Edelweis adalah bunga yang tidak mudah layu, itu sebabnya dia disebut bunga abadi. Bunga edelweis menandakan cinta dan pengabdian yang mendalam.  Entah mengapa saat melihat bunga ini aku sangat tertarik padanya."

Aku ingat pertama kali aku melihat bunga Edelweis, aku dan Arin sedang piknik di puncak pegunungan. Saat itu disekitar kami ada banyak bunga Edelweis, tapi kami dilarang memetiknya. Bunga abadi yang melambangkan cinda yang mendalam. Entah mengapa sekali melihatnya aku langsung menyukainya.

Tiba-tiba Eren pindah tempat duduk di sampingku. Aku bergeser memberinya tempat, tapi dia malah semakin mendekat kepadaku. Hingga aku benar-benar terpojok. Aku ingin mengeluh kesal, tapi dia langsung menyenderkan kepalanya ke pundakku. Jangan bilang ini balas dendamnya saat itu.

"Sebentar saja, bisakah kau tenang. Aku lelah," gumamnya.

Aku menghela nafas. Terserahlah kalau menjadikan pundakku sebagai bantal. Siapa aku yang bisa menentang Raja. Aku mengangguk kecil, mengiyakan yang dia inginkan. Dan sejak itu tidak ada lagi percakapan sampai kami tiba di istana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro