Bab 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Upacara Matahari, Upacara Suci, ada banyak nama untuk acara ini. Semua orang berkumpul di sebuah gladiator bundar, dan nantinya pertunjukan akan ditampilkan di tengahnya. Hampir seluruh penduduk ibu kota di sini. Seluruh bangsawan juga ada, bahkan bangsawan dari negara lain. Upacara kali ini akan menunjukkan putri Milica yang menari agar hujan turun di kerajaan Matahari.

Eren menarik lengan kecil Milica, memasukkannya ke dalam dekapan tubuhnya. Tangannya mengelus kepala Milica dan satu lagi menggengam pinggang kecilnya. Walaupun dia sudah yakin semua berjalan lancar, tapi ada kekhawatiran yang muncul dalam benaknya.

"Eren, sudah waktunya," ujar Milica dengan wajah memerah.

Eren menempelkan bibirnya ke kening Milica, Milica yang terkejut mengangkat kepalanya, dan menatap Eren yang tersenyum sambil melepasnya. "Apapun yang terjadi aku akan bersamamu peri cahaya."

Langkah kaki terdengar dari lorong lain. Milica mendorong tubuh Eren, wajahnya masih memerah saat melihat Laya dan Lilia mendatanginya. Sepertinya biasa, Laya berpenampilan berani dengan menampakan pinggang dan pundaknya, bahkan punggungnya sama sekali tidak tertutup. Walaupun begitu dia acuh dan tetap memakai cadar transparan berwarna abu-abu. Berbeda dengan pakaian Milica dan Laya yang hampir menyerupai Chemise.

Lilia dan Laya membungkukkan badan pada Eren. Eren masih tetap tersenyum pada Milica, sambil menghampiri Laya. Dari dalam jasnya, Eren memberikan sebuah lipatan kertas pada Laya. Laya dengan tatapan dingin mengambil kertas itu.

"Dengan ini kau berutang padaku, ah kurasa tidak," jawab Laya acuh pada Eren. Lilia agak terkejut mendengar Laya berbicara santai pada seorang Raja matahari yang dikenal kejam.

Laya membuka kertas itu, dahinya nampak mengkerut. Dia langsung meremas kertas tadi dan melemparkannya ke obor yang ada di dekatnya. Dengan acuh ia berjalan mengabaikan Eren dan mendekati Milica.

"Ayo Tuan Putri kita mulai acaranya."

#

Semua tatap mata tertuju pada 3 gadis yang keluar dari dalam gladiator. Suara sorak terdengar dari seluruh masyarakat. Berbeda dengan beberapa bangsawan yang menatap sinis untuk menyaksikannya kegagalan putri Milica. Eren menatap Marquess Rusalxya yang sepertinya sangat menantikan jatuhnya putri cantik itu. Dia tidak tahu sekeras apapun dia mencoba, posisi Milica tidak akan tergantikan. Jika iya, makan akan sia-sia Eren mengulang waktu agar bisa membuat Milica berada di sisinya.

"Milica gengam tanganku," ujar Laya yang mengeluarkan tangan pada Milica.

Milica tersengir, "Kenapa, kau takut?" Milica juga meraih tangan Lilia.

Laya tersenyum. "Setelah ini kau akan mengingat hal-hal yang tidak dienakkan. Saat itu, jangan membenciku dan orang itu."

"Apa maksudmu Laya?"

"Kau akan tahu."

Musik terdengar, alunan halus dari petikan alat musik dan suara seruling. Ketiganya membungkukkan badan cukup lama, lalu mengangkat kepala dengan dua tangan terulur ke atas.

"Kami serahkan kenangan sedih dan bahagia ini pada Dewi!" Ujar mereka serentak.

Ketiganya beputar dan mulai membuat ritme tarian senada. Langkah-langkah mereka memanggil awan yang semakin lama semakin banyak dan menghitam. Suara gaduh terdengar di antara penonton dan wajah kekalahan nampak pada Marquess Rusalxya.

Milica membuka mata ketika satu tetes air hujan menjatuhinya. Dan yang pertama ia lihat adalah dirinya yang lain. Memakai seragam sekolah dengan rambut panjang terurai, berdiri sambil menatap gadis berambut pendek yang tersenyum padanya. Mereka adalah Arin dan Miaa. Jadi ini bagian dari pengorbanan ingatan yang dikatakan Laya. Miaa yang berdiri itu adalah perwakilan Milica, dan Arin perwakilan Laya.

Dua anak lugu yang malang, mereka saling memendam kesedihan satu sama lain. Terkadang salah satu lemah dan menangis di depan yang lain. Atau kadang menghabiskan malam bersama dan melupakan semua kesedihan satu sama lain. Walau kadang pula mereka saling berbalik dan menjalani kehidupan masing-masing. Keduanya berbalik, mengejar orang lain yang ada di sana.

Miaa memeluk tubuh anak laki-laki kecil dengan erat. Anak itu nampak malu-malu, tapi tetap menahannya sampai Miaa melepaskannya. Miaa tersenyum sambil membawa sebuah roti kesukaan anak itu. Lalu mereka pergi bergandengan menuju tempat teduh sesaat yang tidak pantas di sebut rumah. Terkadang saat malam mereka saling berpelukan. Menahan suara teriakan yang didengar dari luar kamar. Terkadang mereka menangis menahan lapar, atau sakit yang ditutupi perban seadanya. Dendam jelas terasa, tapi saat itu mereka bisa apa. Yang terpenting adalah mereka saling memiliki satu sama lain.

Hingga saatnya Miaa dewasa. Dia membawa pergi anak itu dari tempat mengerikan yang menghancurkan masa kecilnya. Dengan perasaan lega dan suka cita, Miaa membawa adikknya ke apartemen kecil dan membuat surga mereka sendiri. Mereka tidak lagi kelaparan. Mereka bebas melakukan apapun. Tidak ada lagi teriakam atau pukulan. Tempat di mana mereka bisa beristirahat dengan tenang tanpa merasa takut atau tidak enak. Dan mereka tidak keberatan jika selamanya menjalani kehidupan membosankan dan menenangkan seperti itu.

Di sisi lain Arin membalik badan, sebuah persimpangan jalan kosong yang agak menanjak. Lalu sebuah tangan terulur padanya, pemuda yang tersenyum dengan tatapan cerah. Dia memakai seragam yang sama dengan Arin. Dan tanpa ragu, Arin memegang tangannya. Jalan menanjak itu mereka lalui bersama. Di atas langit senja mereka bercerita dan tertawa. Bayangan mereka saling berjajar. Suara lembut, senyum cerah, tatapan hangat, melihat semua itu di depan mata, Arin merasa sangat bahagia.

Kenangan manis terukir bersama. Terkadang Arin melupakan yang lain, dan mengejar pemuda itu untuk memeluknya. Terkadang Arin mengabaikan segalanya, hanya demi bisa bergandengan dengan orang itu. Dan waktu terus berlalu, mereka tidak lagi mengenakan seragam itu, dan saling menempuh mimpi satu sama lain. Namun ada satu mimpi yang selalu mereka dambakan. Hari itu di saat senja membentang langit, Daniel nama pemuda itu berlutut di depan Arin, dan dengan senyuman hangat menyematkan cincin ke tangan Arin. Dan hari itu adalah hari paling membahagiakan bagi Arin.

Namun takdir kejam pada kehidupan mereka saat itu. Kebahagiaan yang selama ini didambakan berkahir begitu saja. Sebuah kenangan yang sempat terlupakan akhirnya kembali. Arin yang bahagia mendapatkan cincin dari Daniel berlari mengejar Miaa yang sedang membelikan kado untuk adiknya. Mereka sangat senang sampai tak sadar, sebuah mobil bergerak tak tekendali dan menabrak mereka berdua. Dan itu adalah akhit bagi kehidupan Miaa dan Arin. Semuanya berkahir hanya dalam satu kejadian. Itu semua salah satu benang takdir yang menarik mereka kembali ke tempatnya dulu.

Arin dan Miaa kini berubah penampilan. Menjadi seorang putri dengan pakaian kumuh, dan pelayan yang melayaninya. Kehidupan putri yang menyedihkan dan terus mengharapkan kasih sayang pada seseorang. Dan pelayan yang hanya diam menonton semuanya, karena dia tidak bisa apa-apa. Saat itu mereka tidak tahu, bahwa ada benang mereha yang mengikat keduanya. Dan saat putri itu mengorbankan dirinya untuk orang yang ia cintai, pelayan itu baru sadar bahwa dia selama ini salah menjadi penonton.

"Apa ini?" Tanya Milica.

"Ini kehidupan kita berdua, sebelum seperti ini. Maaf pernah mengabaikan anda putri Milica Amunrain. Di kehidupan sebagai Arin aku sudah menebusnya dan menemanimu. Dan saat ini aku akan membantumu di samping orang yang sejak awal kau cintai," ujar Laya.

Hujan mengguyur seluruh kerajaan Matahari. Semua orang kita tidak terpaku pada tarian ketiga orang itu, melainkan air deras dari langit yang turun dan membahasahi mereka. Laya dan Mili saling bergandengan. Mereka menari bersama. Sedangkan Lilia berhenti dan melihat tarian yang tidak diajarkan padanya. Bibir mereka saling diam, tapi dari gerakannya nampak mereka saling berbicara satu sama lain.

"Kau sengaja membutaku ingat ini?" Tanya Milica dengan wajah datar.

"Tolong jangan membenci saya tuan putri," jawan Laya seraya melepas genggamannya dan pergi meninggalkan area tengah gladiator.

Milica terdiam di sana, mengabaikan namanya yang diteriaki seluruh orang. Ternyata begitu rasanya kehidupan yang ia impikan dulu. Milica tersenyum dan menatap ke arah Eren. Dia sama sekali tidak membenci Eren, dia malah senang sempat merasa bahagia bersama adikknya sebagai Miaa. Dan merasakan kehidupan Milica yang menyengakan.

"Terima kasih sudah mengulang waktu untukku Eren."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro