XVII: Porcelain Man

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Day 17
Buat cerita dengan setting Dinasti Yuan

Aku pernah kenal salah satu dari orang-orang itu. Yah, setidaknya sebelum aku mengetahui kenapa mereka bisa sampai di tanahku, apa tujuan mereka ke sini.

Tapi orang itu baik. Dia mengajariku banyak hal, tutur katanya ramah, dan bersedia membelikanku makanan kecil di pasar sebagai sogokan agar aku tidak bilang siapa-siapa kalau aku bertemu dengan pria itu.

Dulu tiap setelah bangun tidur, aku akan mengganti baju lantas berangkat ke pasar menemui ayah dan ibuku yang tengah berjualan masakan di pasar. Kaki-kaki kecilku akan berlari-lari kecil menyusuri kota pelabuhan yang ramai.

Begitu sampai di pasar, semua aroma tumpah ruah mulai dari aroma rempah, berbagai wewangian, hingga bau masakan yang kian memancing perut untuk bergejolak.

Suatu hari aku bertemu seorang pria yang pakaiannya menarik perhatianku. Pria yang gemuk itu memakai baju terusan berwarna putih kusam disertai sabuk berupa kain yang diikat pada perut buncitnya, serta sebuah topi bulat yang bertengger di atas kepalanya.

Dari pakaiannya, aku langsung mengenali asal orang tersebut, ia adalah orang-orang yang patut dihindari menurut Ibu dan Ayah.

Ia tengah berdiri di sebuah tenda yang berjualan tanah liat. Entah mengapa, pria itu dan sang penjual tanah liat terlihat akrab meski kelihatan berbeda.

Digentayangi rasa penasaran yang membuncah, tubuhku tertarik untuk mendatangi tenda itu. Aku berdiri di depan sang penjual tepat saat pria itu tengah melakukan transaksi. Dan tepat setelah lembaran uang itu diterima, sang penjual mendapatiku sedang memencet-mencet tanah liat yang ia jual.

"Oi, Bocah, kau hendak beli apa?" Seketika itu juga gerakan tanganku terhenti dan kepalaku tertoleh ke arah pria kurus itu—sungguh kontras dengan pria yang di depannya. Pria Mongol itu juga ikut menoleh dan tersebyum menatapku.

Aku meneguk ludah. "Tidak, Paman. Aku mau ke tenda itu." Aku menunjuk ke arah tenda tempat orang tuaku berjualan.

Pria berkumis itu tertawa dan berkata, "Ah, anak-anak ...."

Sang pedagang membiarkanku lolos. Aku pergi bersamaan dengan pria berperawakan tinggi besar itu. Rupanya arah jalan kami sama, ia berjalan persis di hadapanku sehingga aku tak sengaja membuntuti pria itu.

Aku terus celingak-celinguk di sepanjang perjalanan membelah kerumunan demi mencari tenda milik orang tuaku hingga di suatu titik di mana pria itu menoleh. Tubuhnya yang bak raksasa tentu saja mengintimidasiku yang kala itu masih berusia delapan tahun.

Dengan sebongkah tanah liat putih di genggamannya, ia bertanya padaku. "Oh, kau yang di tempat tanah liat tadi?"

Aku masih terpaku di tempatku, mengidentifikasi apakah aku harus menjawab pertanyaannya. Karena nada bicaranya yang penuh ramah-tamah, aku memutuskan untuk menjawab meski dengan suara gemetar, "I- iya, Tuan ...."

Ia tiba-tiba menjulurkan salah satu tangannya. "Mau ikut denganku?" Ia tersenyum lebar. Namun, rasanya semakin ia tersenyum aku semakin ketar-ketir dibuatnya.

Aku berulang kali menatap antara telapak tangannya yang lebar dan sorot matanya yang ramah.

Untuk memastikan, kutanya, "Ke mana, Tuan?"

"Aku hendak membuat tembikar," jawabnya sembari menepuk-nepuk segunduk tanah liat, "tak jauh, rumahku ada di sana."

Kupikir cukup meyakinkan jika ia membeli tanah liat karena ia seorang pengrajin tembikar, lalu Paman Pedagang Tanah Liat yang tadi juga tampak baik-baik saja dengan orang ini, maka karena aku juga tertarik dengan kerajinan tembikar maka kuikuti orang Mongol itu.

Kami sampai di rumah sederhana miliknya. Memang tak jauh, tapi suasana di sekitarnya kontras dengan hiruk pikuk pasar. Di sana terlihat tembikar-tembikar berkilauan yang menyambut dari mulai aku sampai di halaman hingga memenuhi seisi rumah mungilnya.

Di sana pria itu menyiapkan semua peralatan kerjanya, lantas memulai pekerjaannya. Hari itu aku hanya melihatnya bekerja sambil menemaninya mengobrol.

Tangan cekatannya terus membentuk tembikar sementara ia bertanya banyak hal padaku. Ia bertanya apakah aku mencurigainya, maka kujawab dengan jujur, awalnya aku memang tertarik pada pakaiannya tetapi aku tak bermaksud mengikutinya, hanya ingin ke tempat orang tuaku. Ia mengajakku ke sini agar aku tahu bahwa ia hanya seorang pengrajin tembikar.

Lalu kami berkenalan. Namanya adalah Tuan Yegu. Ia bercerita bahwa ia dulunya merupakan seorang pengembara yang tak punya tempat tinggal, lantas suatu hari ia merasa tak lagi muda dan tertarik pada seni rupa. Maka ia singgah di sini dan mulai membuat tembikar-tembikarnya dan menitipkan karya-karyanya ke seorang pedagang untuk dijual.

Mulai hari itu aku rutin sekitar seminggu sekali untuk ke rumahnya, terkadang hanya sekadar merecoki kerjanya tapi terkadang aku diajarinya membuat tembikar.

Ia sadar bahwa hubungan antara etnis kami tak begitu baik, maka tiap selesai membuat tembikar dan hendak menitipkannya pada pedagang ia memberikan "sogokan" berupa makanan apa saja agar aku tak bilang pada orang tuaku bahwa aku telah bertemu dengan seorang pria Mongol.

Hal itu berlangsung selama dua tahun sebelum akhirnya kegiatanku terendus juga oleh kedua orang tuaku. Mereka tak sengaja melihatku sedang dibelikan manisan oleh Tuan Yegu dan mulai menginterogasiku soal siapa dia. Kubilang bahwa Tuan Yegu itu baik, tetapi mereka tak percaya.

Pembicaraan kami kala itu didengar oleh tetangga lain yang kemudian diadukan kepada Kepala Desa. Setelah kabar itu meluas lantas para prajurit Mongol datang menemui kami dan aku ditanyai banyak hal tentang Tuan Yegu.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi melihat pria itu walau sejenak. Entah apa yang terjadi padanya, aku hanya mengenalnya sebagai seorang pria baik yang ramah, tak seperti para prajurit itu.

Saya pura-pura kaget pas liat tema, karena udah mencoba expect the unexpected dari awal. Tapi modyar juga waktu dapet tema ... Dinasti Yuan.

Belum pernah tertarik mempelajari sejarah dinasti-dinasti Cina atau kekaisaran Mongol. Jadi saya baru belajar hari ini juga, dan yang paling nempel ke otak cuma keramik Cina yang putih-biru itu. Jadi mohon dimaafkan kalau ada detail yang nggak sesuai dengan unsur sejarah.

Okelah nggak usah banyak omong ini udah mepet deadline.

Wednesday, February 17th 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro