Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Putih sudah berlari menuju asal suara itu. Ibu tahu apa yang terjadi sehingga menyuruh adik diam di kamar karena kondisinya yang tidak sehat. Bahkan, ia mengunci kamar adiknya tersebut agar ia tidak melihat perilaku apalagi yang Ayah gilanya lakukan. Suara-suara mengganggu itu sedang mendobrak suatu tempat. Tempat termahal dan dipastikan selalu dikunci rapat-rapat untuk mencegah terjadinya hal seperti ini.

"Kau tidak akan bisa membukanya."
Putih berdiri di belakang punggung besar itu. Sudah lama ia tidak melihat punggung itu. Tidak sebesar terakhir kali bertemu walaupun masih cukup besar dan kuat mendobrak pintu rumah. Dan itu mengisyaratkan kondisinya.

"Ayah, kau tidak berubah."

Barulah lelaki itu berhenti berusaha mendobrak pintu yang berisi jahitan pakaian ibu untuk bangsawan.

"Berikan kuncinya."
Wajahnya merah ketika mengatakan itu.
"BERIKAN KUNCINYAA."
Berteriak kasar adalah hal lazim darinya. Putih sudah biasa dengan itu, barulah biasanya ayah sialannya itu mendekatinya untuk sekadar menjambak, menampar atau pun memukul.

Namun, seperti yang biasa terjadi sebelumnya. Ibu datang mencegah.

"Suamiku, hentikan. Tolong hentikan."
Ibu menahan tangan Ayah yang lebih besar darinya, menahan untuk menjauhkannya dari pintu tempat Ibu menyimpan gaun pesanan bangsawan.

"BERIKAN UANGMU KALAU BEGITU!" Ibu terperanjat sesaat, biasanya Ibu akan langsung mengiyakan kalau seperti itu, agar suasana rumah kembali tenang. Namun, saat ini ada anaknya yang tengah sakit dan membutuhkan obat—ia tahu, suaminya itu tidak akan peduli sekali pun pada anaknya itu. Ibu tidak bisa memberikannya.

Dengan nada memelas, dan air mata yang mulai berlinang, ibu mengatakan tidak dengan terbata-bata. Saat itu pula, tangan Ayah mengayun dari atas dan akan mengenai wajah Ibu. Namun, Putih mendorongnya, membuat tubuh ayah goyah dan terpental sedikit dari posisinya semula.

"KAMI TIDAK AKAN MEMBERIMU APA PUN! CEPAT PERGI ATAU-"
Putih menahan napas sejenak, berniat memuntahkan semua kata yang akhirnya berhasil ia pilah untuk diberikan kepada pria sangar yang sekarang menatapnya horor.

"KAMI AKAN MEMANGGIL PRAJURIT ISTANA UNTUK MENANGKAPMU!"
Napasnya putus-putus, tetapi ia harus mengatakannya lagi, karena itu belum mencapai sebuah klimaks dari perkataan yang ingin Putih ucapkan.

"IBU MEMILIKI BANYAK KENALAN BANGSAWAN YANG AKAN MEMBANTUNYA MENGATASI BEDEBAH SEPERTIMU!"

Putih mengatakan itu dengan sepenuh tenaga sampai badannya sedikit condong ke Ayahnya, seperti singa yang berusaha mengamuk di hadapan raksasa. Mungkin saja amukannya ini membuat nyali raksasa itu ciut, atau mungkin tidak berefek apapun.

Reaksi ayahnya, tidak meledak-ledak lagi. "Kau memanggilku bedebah? Siapa yang sebenarnya bedebah cilik, HAH?!" Namun, malah menjadi-jadi.

Ayah menjambak rambut Putih dan memukulkannya ke dinding, beserta memegangi pergelangan tangannya dengan kasar. Ibu berusaha menghentikannya. Namun, malah dipukul hingga ia terjerembap.

"Ulangi sekali lagi, kau panggil aku apa, HAH?"
Ayah menekan wajah Putih di dinding, membuat Putih kesulitan bernapas. Hidungnya saja berdarah.

"Bedebah sialan."
Emosi Putih ikut meledak-ledak, dan itu memperparah Ayahnya yang sudah tidak peduli lagi pada anaknya yang ia pukul-pukulkan ke dinding.

"Berhenti!" seseorang dengan suara menggelegar membuat Ayah putih berhenti melakukan tindakannya. Seseorang beserta temannya yang berseragam lengkap dengan beberapa orang yang mengacungkan pedang membuat Ayah melepaskan tangannya dari kepala Putih.

Ayah menatap tajam pada Ibu yang duduk terbaring di lantai dan Putih yang duduk bersimpuh dengan sandaran di dinding, lalu berganti pada orang-orang yang berada di luar rumah ini. Ia mendecih, jadi mengerti siapa pelaku yang memanggil prajurit istana bagian keamanan untuk datang ke sini.

Ayah ditangkap dan dibawa oleh mereka ke kantor keamanan.

Selepas itu, Ibu segera mendatangi Putih yang bersandar di dinding dengan lemas. Putih sedikit tersenyum sebelum jatuh pingsan. Ia merasa idenya untuk meminta tolong tetangga menghubungi pihak berwenang jika suatu hal buruk terjadi pada keluarganya adalah hal benar. Meskipun sampai mengorbankan banyak hal untuk membuat tetangganya rela mengorbankan waktunya demi keluarganya ini.

***
Tiga hari kemudian, Putih sudah baikan. Hanya saja badannya masih terasa sakit, meskipun begitu ia tetap harus pergi bersama pak Rowen, saudagar kain yang akan pergi ke kota sebelah untuk menjual kainnya. Ibu sudah melarang Putih untuk berangkat mengingat tiga hari yang lalu ia sempat pingsan dengan hidung mimisan.

Namun, ini demi adiknya. Ia harus membelikan obat untuk adiknya. Jika tidak, pengobatan yang wajib dilakukannya dalam seminggu ini akan sia-sia. Ia duduk di belakang bagian tumpukan kotak berisi kain. Ia hanya berbekal mantel dingin, dan tas selempang kecil yang berisi uangnya. Memakan waktu lebih dari setengah hari, mereka pun tiba di sana sore hari. Putih tidak menduga akan selama ini untuk mencapai kota sebelah. Kata pak Rowen, ia akan menunggu Putih di alun-alun pukul sembilan malam. Ya, alun-alun kota ini terletak di pinggir, seringkali menjadi tempat persinggahan pelancong atau saudagar untuk beristirahat.

Putih pergi ke arah kota, cukup lama untuk bertanya ke sana ke mari mencari toko obat, sampai ketika ia bertemu seseorang bersama temannya yang bertopeng dan baik hati menunjukkan jalan.

"A-anu, kak permisi, mengapa jalannya semakin sempit dan gelap ya?"

Putih menyadari keanehan dari kedua orang laki-laki yang lebih dewasa darinya ini mengarahkannya pergi.

Bukk

Suatu benda tumpul mengenai lehernya, ia terjatuh ke lantai. Ternyata teman orang yang menunjuki jalan berada di belakang Putih.

Mereka mengambil tas selempang yang ia bawa. Putih yang tengah setengah sadar berusaha mempertahankannya. Hal itu membuat pukulan lain melayang bertubi-tubi.

"Sudah, jangan keterlaluan, bagaimana kalau dia mati," kata temannya yang bertopeng. Seseorang yang pertamakali menunjuki jalan Putih—tidak memakai topeng— tersebut berdecih, dan segera membuang tongkat kayunya. Lantas ia mengajak orang yang bertopeng itu pergi.

"Pergilah dulu," kata laki-laki bertopeng yang kemudian mereka bersitatap. Seolah laki-laki bertopeng mengatakan 'aku masih punya urusan di sini, kau pergi dulu.'

"Baiklah, terserah apa katamu. Base kita pindah hari ini, kau cari sendiri nanti."

Laki-laki tidak bertopeng itu mengatakan seolah mengancam karena penuh keraguan, sedangkan yang satunya seperti telah memahami sesuatu.

Setelah kepergian laki-laki tidak bertopeng itu, laki-laki yang bersama Putih itu melepas topengnya. Menampakkan wajahnya yang sebenarnya mulus tidak seperti temannya tadi yang berbintik.

Di tengah keadaan seperti itu, terlihat emosi pemuda itu kacau. Ia menangis tiba-tiba dan membelai wajah Putih. "Ke-kenapa kau harus mirip dengannya?"

Putih tersadar sedikit dan mengintip apa yang ada di depannya. Kemudian ia kembali tidak sadarkan diri begitu ia mencoba memberontak dan dipukul kembali dengan berkali-kali oleh pemuda di depannya itu.

Putih yang setelah sekian lama, akhirnya tersadar. Badannya yang semenyakitkan itu, dipaksa berdiri, dengan pakaiannya yang berantakan ia kemudian berteriak minta tolong pada orang-orang yang terdengar ramai di luar sana. Ia berusaha berteriak, tetapi nihil. Entah karena suaranya yang tidak mencapai mereka atau mereka memang pura-pura tidak mendengar.

Hal itu, membuat Putih putus asa dan mulai ambruk ke tumpukan salju yang ternyata sudah mulai menggumpal. Ia terbaring menatap langit mendung yang menurunkan sesuatu berwarna putih sekaligus hitam. Putih menyesal sembari membayangkan wajah kedua orang tercintanya di rumah. Pula, dua wajah pemuda yang menjahati dirinya.

***

A/N
Oke. Ini saya publish ulang. Saya rasa ada kebocoran pov kemarin dan ternyata bener T^T

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro