Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ja-jadi kau sendiri tidak tahu?"

Hitam memang membelakangi Putih, meskipun begitu Putih dapat menyadari gerakan gelengan kepala yang pelan dan penuh keraguan itu.

"Hitam. Sudah berapa lama kau di sini? Bisakah kau jujur dan ceritakan dirimu? Mungkin saja kita bisa menemukan solusi. Sebenarnya kita apa."

Hitam menengokkan sedikit kepalanya tetapi kemudian memilih untuk melangkah dan naik duduk di atas batu. Tak lupa ia menghadapkan tubuhnya yang duduk pada Putih yang sedang berdiri tidak jauh dari hadapannya.

"Kau adalah Putih dan aku adalah Hitam. Kita adalah itu."

Putih sudah tidak tahan lagi, dan bergerak mendekati Hitam. Dengan tatapan memohon dengan sangat agar Hitam tidak seperti ini.

"Tolong jangan berkelit dan membuat semua ini rumit Hitam," kata Putih memohon dengan sangat, "aku tahu kau menyembunyikan sesuatu."

"Aku tidak tahu juga. Yang kuingat hanya aku adalah anak pemilik pembuat topeng, dan seseorang yang brengsek begitu saja."

Putih sedikit berjengit ngilu mendengar perkataan Hitam yang cukup kasar serta kemarahan yang tak beralasan itu. Sekalipun Hitam berusaha menutupinya, Putih tahu itu. Ia kemudian hanya mampu mendesah berat, sepertinya ini belum waktunya Putih untuk menanyai Hitam lebih dalam lagi. Jika ini berlanjut, ia tidak akan tahu apa yang dapat Hitam perbuat. Putih tahu, ia tidak boleh mempercayai siapa pun di tempat asing ini. Sekali pun ia terus ditekankan kalau ia seperti bagian dari dunia kosong atau ruang kosong yang sebenarnya ia ketahui tidak hitam maupun tidak putih ini.

"Hitam. Aku ingin tidur. Aku bosan tidak tahu harus melakukan apa. Mungkin saja aku bisa bermimpi seperti ingatan masa laluku agar aku tidak terlalu bosan di sini."

"Kau tidak takut bermimpi buruk?"

Sempat ada jeda sebentar tapi dengan nada tidak ada pilihan lain Putih menyelinginya embusan napas.

"Jujur, ruangan ini saja sudah seperti mimpi buruk yang nyata. Lebih baik saat tidur aku bermimpi entah mimpi apa pun itu yang terpenting aku tidak di sini."

"Kau sangat takut berada di sini?"
Hitam menanyainya dengan raut mata yang sangat serius.

"Benar. Ini terlalu kosong, dan terlalu menyakitkan."

Putih berkata sembari duduk di lantai hitam, bersiap tidur lagi. Bukan di tempat yang terdapat genangan air putih.

"Sekalipun kau memimpikan hal mengerikan seperti dosa?"

Putih tidak menjawab, ia sudah memosisikan diri tidur membelakangi Hitam. Sekali pun ia tahu, Hitam masih saja terus memandangi punggungnya. Putih tidak punya pilihan lain.

"Selamat tidur, Putih. Kutunggu kau bangun sembari aku bermain langit," katanya dengan nada lemas.

Melihat itu, Putih sedikit iba. Ia ingin menemani Hitam. Namun, jujur saja. Sejak dirinya terbangun di dunia ini, mengobrol dengan hitam, kilas balik semasa hidupnya, menangis, dan hingga pura-pura tidur saat ini ...

Ia takut.

Ia takut akan kenyataan kalau dia benar-benar sudah mati dan terjebak di suatu tempat kosong yang sepertinya juga enggan membawanya ke Surga, alih-alih ke Neraka juga—lantaran menurutnya dunia ini mirip dengan sebagian dari dunia Neraka. Penyiksaan.

Setidaknya jika ia bermimpi atau mengalami kilas balik semasa hidupnya lagi. Ia tidak akan ketakutan lagi dan merasa tersiksa.

Dosa?

Putih tahu itu, mungkin saja itu bisa membuatnya ketakutan dan tersiksa lebih dari sekadar hidup di dunia hitam putih yang kosong ini.

Namun setidaknya, Putih bisa melupakan sedikit kenyataan ia berada di tempat antah berantah, sendirian dengan seseorang yang tidak ia kenal. Dengan semuanya yang berwarna hitam maupun putih.

***

"Cantik!"

Putih mengerjap.

"Kakak, gaun buatan Ibu memang cantik kan?"

Putih mengerjap sekali lagi, lalu tersenyum pada seorang gadis kecil berusia tujuh tahun yang mencoba mengangkat gaun sebesar dirinya dan menaruhnya di depan tubuhnya.

"Itu, sangat cantik. Aku yakin pemesannya memiliki gadis seumuranmu."

Gadis kecil yang mengangkat gaun itu, menurunkannya sedikit, lalu jadi mengembalikannya di tumpukan gaun yang lain.

"Nanti rusak kak. Kalau aku pegang terus. Kasihan Ibu kalau sampai rusak," katanya begitu mendapatkan tatapan mengapa ia melakukan itu.

Ibu yang melalui Putih dan adiknya di ruang jahit segera menghampiri dan memeluk kedua anaknya itu.

"Anak-anak Ibu sedang membicarakan apa sih di sini?"

"Itu, gaun yang dipesan oleh pemilik toko topeng kota sebelah," kata Putih sembari menunjuk gaun biru laut paling atas itu.

"Oh, gaun itu. Adik mau mencobanya?"

"Ta-tapi. Itu pesanan seseorang, bukan milikku."
Dia berkata takut-takut dengan menekankan kata pesanan.

Sedikit terbesit rasa bersalah, adiknya mengembalikan gaun yang ingin dicobanya karena Putih mengatakan itu pesanan orang. Adiknya, sangat sensitif.

"Mau coba lihat milik bangsawan? Lebih banyak dan bagus lho!"

Ibu menarik tangan kecil adik. Putih tidak ikut. Ia memikirkan gaun kecil seukuran adiknya yang dipesan oleh toko topeng kota sebelah. Putih merasa ada yang terlupa mengenai toko itu tetapi ia kemudian meletakkannya.

"Kakak!"

Ibu tiba-tiba berteriak memanggil Putih. Bocah dua belas tahun itu bergegas pergi ke ruang penyimpanan baju yang selalu dikunci rapat-rapat mengamankan dari Ayah.

"Kakak! Adikmu. Adikmu!"

Adik tergolai di pelukan ibu dengan mata ke atas, napasnya tersendat-sendat dan sedikit mengais-ngais leher. Sesekali ia terbatuk dan berusaha menahannya dengan memejamkan mata dan memukul dada. Ibu sepertinya panik karena tiba-tiba adik seperti itu.

"Ki-kita ke kamar dulu bu. Akan kupanggilkan dokter."

Mereka membawa adik ke kamar, adik meminta bantalnya ditinggikan dan kemudian oleh ibu ia mengompres lehernya. Putih yang sudah memastikan adiknya, pergi untuk menelpon dokter di sudut rumah.

Dokter datang dan memeriksa adik. Adik diberi obat, baru ia menemui Ibu. Putih dipinta membantu adiknya minum obat alih alih mengajaknya mengobrol bersama dokter.

Samar-samar tentunya Putih ikut menguping.

"Anak Anda terkena Asma. Aku ada sebagian kecil obatnya, tapi untuk seterusnya kau harus membelinya di toko obat. Kuyakin di kota ini, toko obat tidak memilikinya. Di kota sebelah, kota yang sedikit lebih besar dari sini. Tersedia."

Ibu hanya dapat menangisi sendiri sembari berulang kali mengatakan anaknya yang malang. Dokter itu kemudian pergi setelah mendapatkan bayaran dari Ibu.

Putih mengamati botol cokelat berisi pil putih di nakas. Adik Putih sudah meminumnya tadi, ia sudah agak tenang sekarang dan tengah tertidur.

Hanya ada empat biji total tersisa. Kata dokter itu, ini obat keras yang harus diminum 7 hari—sebiji tiap hari. Tidak boleh bolong. Lalu bagaimana dengan dua hari sisanya?

Putih mengamati botol cokelat itu dalam diam sampai-sampai ketika ia dipanggil ibunya. Ia tidak menyahut.

"Kak, kau tak apa?"
Ibu tiba-tiba memegang bahunya, tentu saja putih kaget seperti tersengat listrik. Sembari menaruh kembali botol obat itu, putih memegang tangan ibunya.

"Aku tidak apa-apa bu. Nanti hari ketiga akan aku belikan obat adik di kota sebelah."

Ibu mengerutkan keningnya. "Kau menguping? Lain kali jangan seperti itu lagi. Ayo ini sudah larut, mari tidur."

Ibu membelai rambut Putih dan menyuruhnya naik ke kasur di samping adiknya yang tengah tertidur tenang usai mengonsumsi obat. Ia mengecup kedua kening anaknya itu dan mengucapkan selamat tidur.

Sembari membawa stik lilin kamarnya pergi, ibu juga menutup pintu. Putih menyaksikan itu, kemudian bangun dan duduk di samping adiknya. Ia kemudian mengecup kening adiknya seperti yang ibu lakukan.

"Kau harus cepat sembuh."

Begitu katanya yang kemudian beringsut kembali tidur.

***

Putih mengamati perkembangan kesehatan adiknya di hari kedua ini. Meskipun sudah tidak separah kemarin, adiknya masih sesak. Mungkin obatnya perlu waktu untuk menyembuhkan adiknya. Kata ibunya obat yang diminum adik termasuk obat keras jadi adik harus betul-betul makan yang banyak dan memastikan jam minum obatnya teratur.

Siang ini, ibu tengah menjahit di ruang kerjanya. Putih menghampirinya untuk bertanya apa saja yang besok harus ia beli selain obat itu. Ke kota sebelah itu jarang sekali mereka lakukan. Mungkin ada yang ibunya inginkan makanya Putih bertanya.

"Tidak usah, nanti ibu yang berangkat saja."
Ibu berkata demikian tanpa ekspresi sambil menjahit dengan mesin jahitnya. Kakinya terus bergerak mendorong pijakan jahitan.

"Ibu masih ada jahitan kan? Lagipula ibu juga harus merawat adik. Aku tidak bisa melakukan itu semua bila aku yang tinggal. Besok aku akan pergi pagi-pagi."

Ibu menghentikan gerakan kaki maupun tangannya, ia kemudian nenoleh pada Putih.

"Tapi nak ... Apakah kau tahu jalan ke sana? Kau harus berjalan melewati hutan kecil karena kereta kuda penumpang jarang sekali melewati kota ini. Kalau ada apa-apa bagaimana?"

Putih menggeleng, sekali lagi ia kemudian memegang tangan ibunya.

"Percayalah kepadaku saja, bu."

Ibu menoleh tidak mau menatap mata Putih yang penuh kepercayadirian itu. Ia mengalihkan pandangan dan badannya, melepaskan pegangan Putih.

"Nak ... Sudahlah biar ibu yang berangkat. Jahitan ibu akan ibu selesaikan sekarang. Kau tenang saja."

Mendengar jawaban seperti itu, Putih tahu maksudnya. Namun, ia tidak akan membiarkannya. Ia tidak ingin membuat ibunya terlalu repot sedangkan ia sebagai anak pertama hanya diam saja. Dengan bekal informasi harga obat karena upaya mengupingnya. Putih pagi-pagi buta meninggalkan surat dan rumah sembari membawa uang tabungannya. Ia berencana sebelum matahari terbenam sudah berada di dalam rumah dan menceritakan pengalaman pertamanya berpergian jauhnya sendiri pada ibu dan adiknya.

"Nak!"

Putih menoleh, ia tertangkap basah. Rupanya Ibu Putih sudah bangun sebuta ini. Putih tidak ada pilihan lain selain menutup pintu dan mendekati ibunya yang berwajah kerut.

"Apa yang kau lakukan sepagi ini!? Di luar turun salju. Kau bisa mati beku, nak."

Ibu berkata khawatir sembari menurunkan stik lilinnya dan memeluk Putih. Putih tidak balas memeluk, ia merasa bersalah dengan membuat ibunya khawatir.

"Jika kau bersikeras ingin membelikan obat sendiri untuk adikmu. Ibu akan tanya kenalan ibu yang mungkin pergi ke kota sebelah dalam waktu dekat ini. Aku akan menitipkanmu pada mereka."

Putih meregangkan pelukan ibunya. Ia mengangguk setuju dengan tawaran ibunya. Sepertinya ini pilihan terbaik karena siapa yang memangnya tega membiarkan anak berusia dua belas tahun yang tidak pernah berpergian jauh harus pergi sendiri tanpa pengawasan orang dewasa.

**

Putih menggoyangkan kepala kelinci merah jambunya dan memeluk leher beruang cokelat. Adiknya tidak tahu mengapa tiba-tiba tertawa dengan hal yang dilakukan Putih pada boneka beruang cokelat milik adik Putih.

"Kakak lucu. Hahaha."

Putih tersenyum kemudian secara mendadak memeluk adiknya sampai-sampai mereka terjatuh ke kasur mereka sendiri.

"Adikku yang cantik dan manis ... Dalam waktu dekat kakak akan pergi ke kota sebelah. Adik ingin titip apa? Apapun itu akan aku belikan." Putih berkata dengan semangat.

Adiknya terlihat terdiam. Sedikit ragu-ragu tetapi pada akhirnya ia ungkapkan. "Aku tidak ingin apa pun. Hanya kakak yang pulang dengan selamat." Dia berkata diakhiri dengan senyuman. Bagi Putih, ia memahami apa yang adiknya pikirkan. Pasti adiknya sudah mengetahui apa-apa tentang penyakitnya sendiri.

Putih sungguh merasa ada yang membuatnya sedih. Ia hanya mampu memeluk adiknya yang kecil itu. Ia tidak tahu mengapa bisa adiknya sakit seperti ini. Kata dokter pun selamanya penyakit ini akan kambuh-kambuhan.

"Kak."

Ada yang memanggil, Putih menoleh dan meregangkan pelukannya dari adiknya. Ibu bersandar di pinggir pintu dengan mata sayu.

"Pagi ini aku sudah menemui Tuan Rowen, saudagar kain yang biasa pergi ke kota sebelah. Sayangnya jadwal pengiriman yang rencananya akan ia lakukan adalah tiga hari lagi saat pagi buta."

Putih mengerti maksud ibu. Itu artinya adiknya tidak akan memiliki cadangan obat untuk hari itu.

"Ibu saja yang pergi, nak."

Brakk

Suara pintu yang didorong dan dibanting kasar, derap kaki yang tidak teratur, dan bunyi berbagai benda yang berpindah serta seolah tertubruk.

Dia ...
Si penghancur gila itu ...
Datang lagi.

Jantung Putih berdegup cepat, dengan umpatan-umpatan yang berada di ujung lidah, dan kakinya yang gemetar tidak tahu harus bagaimana.

Sialan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro