Intermission 010: Emosi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Anak Spriggan dan Rook akan baik-baik saja, kok."

"Tapi Madam-" Muriel terperangah.

"Aku sudah menghubungi pihak ketiga saat 0027 dikabarkan masih ada di Level 4, ternyata berguna juga," pungkasnya. "Percayalah padaku, sekarang kita harus berfokus menyelamatkan mereka yang terluka."

Di antara mereka semua, hanya Madam Rook yang berkepala dingin. Natalia masih menggeram, tidak berbeda dengan Rosen yang matanya nyalang menahan kemarahan yang meletup-letup.

Mereka berdua merasa tidak berguna tidak dapat menghentikan Rook, Mei juga sama karena tidak bisa berbuat apa-apa saat Lianna menjadi tameng untuknya. Lagi Mei tidak bisa mengatakan kalau apa yang ia rasakan ini adalah 'empati' atau ia merasakan emosi lain.

Sementara Muriel dan Blair terkesiap mendengar apa yang dijelaskan Lucia tentang duelnya bersama Rook. Gloria datang dan mendorong Rook hingga mereka berdua terjatuh dari Pulau Melayang, perbuatan yang sangat sembrono dan entah apa motivasi Gloria melakukan hal itu, tapi Mei tidak bisa bilang Gloria adalah seorang bodoh untuk melakukan hal seperti itu. Dari ekspresi Muriel dan Blair, juga Lucia yang menunduk, mereka pastinya punya sejarah sendiri dengan agen bertudung putih itu yang tidak mereka sebutkan pada 0027.

Mei tercenung, tidak bisa mencerna segala emosi yang ada di sekitarnya. Ia juga tidak dapat mendeskripsikan apa yang dirasakannya sekarang. Apakah ia marah karena Lianna sudah diserang? Apakah ia merasa tidak berguna karena ia tidak dapat membantu Lianna? Apakah ia merasa bodoh bukan menjadi sasaran ujung pisau itu, toh dia adalah manusia buatan yang seharusnya lebih mudah diperbaiki atau malah dengan mudah dibuang?

Waktu tidak dapat diulang. Apa yang sudah terjadi tidak akan bisa direkayasa. Ia bahkan tidak berdaya untuk menolong Lianna, walau ia memiliki banyak pengetahuan dari sekedar melihat, meraba, mendengar, atau mencium. Mei merasa tidak tahu apa-apa sekarang - emosinya sendiri, bahkan apa yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan Lianna.

Panggilan darurat pada Pasukan Pengaman terdekat sudah diinformasikan, mereka akan datang ke lokasi untuk mengevakuasi mereka dari sana dan menyegel area Level 3, mereka harus menunggu sedikit lagi. Mei masih terduduk di samping Lianna, Rosen dan Natalia tengah menenangkan diri apalagi setelah Rosen tahu bagaimana kondisi Lianna sekarang - stabil, tapi ia kehilangan cukup banyak darah. Madam Rook sudah melakukan pertolongan pertama, namun luka Lianna sukar menutup. Blair tidak bisa menggunakan salep yang ia gunakan untuk menyembuhkan Lianna karena goresan itu termasuk luka terbuka yang rawan.

Lucia berlutut di dekat Lianna, ia menatap luka Lianna dengan wajah muram. "Blair, boleh saya minta Cincin Peri saya?"

Blair menatap Muriel. Muriel sepertinya menjadi pemimpin mereka sekarang saat Gloria absen. Muriel mengiyakan permintaan Lucia dan Blair pun mengambil sebuah kotak kecil dari dalam perkakasnya dan mengeluarkan sebuah cincin. Lucia mengenakan cincin itu kemudian mengarahkan tangannya ke arah luka Lianna. Sinar lemah kehijauan berpendar dari tangannya, dan beberapa memar mulai hilang, disusul kemudian bunyi peringatan menggema di Level 3 tersebut.

"Sihir?" Natalia terbeliak. Luka Lianna memang tidak menutup sempurna, tapi lecet dan lebamnya berkurang. Mei pun menatap Lucia dengan takjub.

"Saya tidak bisa sehebat guru saya, tapi seharusnya ini bisa sedikit membantu," ucap Lucia, menarik tangannya dan melepas cincin itu sebelum peringatan selanjutnya berbunyi. "Nanti saya akan bicara dengan Madam Morgana bila saya harus menempuh hukuman."

Madam Rook yang terkesima melihat sihir di hadapannya angkat bicara, "Kubantu kamu nanti, Florence."

Mei memeluk lututnya, pembicaraan dan segala emosi di sekitarnya ia amati sambil lalu. Sesekali ia memandang Lianna lagi, mengamati dadanya yang naik turun perlahan yang menandakan ia masih bernapas. Mei merasa napas itu melambat, tapi mungkin saja ia salah karena dirundung panik.

Mei lalu mencoba mengamati kondisi yang lain; Blair yang mencoba tenang sambil memeriksa luka Rosen dan patah tulang Natalia. Lucia yang mondar-mandir sambil menunggu, lalu Muriel yang berbicara dengan Madam Rook. Muriel tampak seperti menyadari pandangan Mei dan wanita bertubuh kekar itu menghampirinya dan menatap Lianna. Madam Rook turut menepi, ekspresi kalemnya tidak pernah berubah sedikit pun.

"Kamu tidak apa-apa, Mei?" tanya Muriel lembut. Mei segera menggeleng.

"Dibandingkan kalian semua, aku ..." Mei mendecak. "Aku hanya punya otakku."

Muriel menepuk-nepuk pundak Mei. "Semua akan baik-baik saja. Tadi kamu dengar, 'kan, Lianna tidak terancam nyawanya."

"Tapi-" Mei mengurungkan pendapatnya, ia kembali tertunduk. Ia mencoba untuk menghela napas panjang sebelum menatap Muriel lagi yang masih ada di hadapannya. "Tapi aku tidak bisa apa-apa. Aku bahkan dilindungi terus-menerus. Aku-"

"Aku paham kalau kamu merasa gundah," Muriel memegang tangan Mei. "Aku juga sama sepertimu, apalagi dengan kepala skuadron yang suka memendam masalahnya sendiri."

Mei memikirkan Gloria dan aksinya yang mungkin sekilas tampak 'heroik', namun tidak ada hal yang pantas disebut heroik yang menggambarkan aksinya itu. Mengorbankan diri sendiri hanyalah romantisasi yang banyak dijual di cerita-cerita lama, atau itu yang Mei pelajari setelah mencoba membuka Pustaka Antara dan melihat ribuan karya fiksi yang diperbolehkan ditulis di Kaldera.

Lalu, apakah yang Lianna lakukan sama seperti apa yang Gloria lakukan? Mungkin sama, walau alasan dan latar belakang yang menjadi landasan aksi mereka bisa berbeda. Tidak seharusnya Gloria jatuh bersama Rook. Tidak seharusnya Lianna menjadi tameng untuk melindungi Mei dari serangan Rook.

Andaikan Mei-lah yang diserang oleh Rook, apa Lianna akan merasakan emosi yang sama dengan apa yang dirasakan Mei saat ini?

Madam Rook membuka terminal miliknya, sepertinya bantuan sudah datang dari Level 1 Sektor 6 dan menuju ke sana. Muriel lalu mengacak rambut Mei dan membantu Mei berdiri.

"Jangan terlalu keras pada dirimu, Mei. Ini bukan salahmu."

Kalimat yang bermaksud untuk menenangkannya itu semakin membuat dadanya terasa panas.

Saat tim evakuasi sudah datang, Muriel dan Madam Rook yang menceritakan situasinya pada mereka, dan petugas terkait mulai melakukan proses penyegelan lokasi dan membawa tandu untuk membopong Lianna.

Andai. Andai saja ia bisa melakukan sesuatu. Sesuatu untuk menolong mereka semua. Andai memorinya utuh.

Fragmen yang sudah kembali padanya adalah 'Salamander', juga 'Urodela' walau dirinya belum terbiasa merapal kata itu tanpa ingin merasa tidak enak. Lalu kata kunci 'alkemis' menarik untuknya. Namun tiga kata itu belum lengkap untuk memicu pikirannya. Masih ada yang terasa hilang, dan bila Mei memikirkan itu, ia merasa makin tersiksa.

Apakah lebih baik untuk tetap menjadi yang 'tidak tahu'?

Setelah Madam Rook dan Muriel usai menjelaskan dan evakuasi dilakukan, Madam Rook menghampiri Mei. Ia menepuk punggung Mei sekali, lalu dari balik kacamatanya, mata hitam itu memicing, "Kamu pasti akan menunggui, anak itu, 'kan? Nanti kita sebaiknya bicara."

Saat meratap Madam Rook lebih dekat, Mei mengerjap. Sebuah fragmen tertangkap di sensorinya.

Hydrargyrum - Aether.


🛠


Lianna, Rosen, dan Natalia segera dibawa ke Sektor 0 atas permintaan Madam Rook dan mendapatkan pelayanan di Rumah Sakit yang dikepalai sang Madam. Lucia menderita luka-luka kecil, ia hanya meminta untuk lukanya dibersihkan, kemudian mereka bertiga izin untuk pergi ke Sektor 2 dan menghadap Morgana Lysander terkait peringatan sihir di Level 3. Karena pelanggaran itu, yang menggiring mereka ke Sektor 2 adalah pasukan keamanan, dan Mei yang tidak terluka dibanding mereka berempat menunggu di ruang tunggu lantai 2 tersebut hingga Rosen dan Natalia selesai diobati.

Mei memikirkan keadaan mereka bertiga, juga ia memikirkan fragmen yang baru saja didapatnya, dua kata yang menjadi satu kesatuan. Hydrargyrum, inderanya segera menangkap kalau itu adalah sebuah katalis 'penting', dan Aether adalah sebuah cabang sihir. Fragmen itu kemudian bercabang menjadi beberapa pokok pikir yang masih kosong di benak Mei, namun ia tahu kalau Hydrargyrum dan Aether ini berkesinambungan.

Apa ini artinya ia sudah dekat untuk memperoleh kembali memorinya? Atau masih ada lagi fragmen-fragmen yang lebih besar untuk ia cari?

Pintu yang membatasi antara area pengobatan di lantai 3 yang ada di dekat Mei menggeser terbuka, Rosen yang lengannya sudah diperban dan Natalia yang kini menggunakan bebat dan bidai muncul dari balik pintu. Natalia yang wajahnya tadi tidak karuan juga menerima plester di beberapa bagian wajahnya. Ia perlu menyipitkan matanya untuk melihat dekat karena tidak ada kacamata.

"Ah, sori, Mei. Sudah lama menunggu?"

Mei segera berdiri menatap Natalia dan Rosen dengan kalut. Rosen tersenyum pahit dan menangkup pipi Mei. "Kita membuatmu khawatir ya? Sudah, tidak apa-apa."

"Maaf aku telat, Lianna nggak seharusnya-"

"Sudahlah, Natalia. Itu bukan salahmu." ucap Mei. "Dibandingkan kalian berdua, aku–"

"Yak, stop! Kalian berdua nanti malah main salah-salahan," Rosen menepuk pundak mereka berdua. "Kita cari makan dulu, yuk? Ini udah mau malam. Lianna kata Madam Rook belum bisa dikunjungi sampai perawatannya selesai."

Natalia melirik ke arah Rosen lalu menarik lengan Mei. "Oh, aku ingat ada kedai makanan enak tidak jauh dari sini. Kita kesana aja?"

"Oke, deal."

Rosen mengiyakan. Ia juga menarik lengan Mei dan kini Mei diapit oleh Rosen dan Natalia. Mei merasa seperti anak hilang, tapi ia tidak keberatan. Mereka berdua mungkin butuh kebersamaan seperti ini ketika barusan mereka nyaris merasa hilang akal atau ditelan emosi. Mei pun sama, ada banyak sekali yang ia pikirkan sekarang, tapi tidak ada gunanya bila ia terus berpikir tanpa beristirahat, mencari udara segar, atau mengobrol dengan yang lainnya.

Mei berharap Lianna bisa ikut berjalan dengan mereka lagi di waktu dekat, kembali menjadi bagian 0027 layaknya biasa.


🛠


Kedai yang disebut Natalia berjarak kurang lebih lima menit dari utara rumah sakit. Kedai itu menggunakan bekas kontainer yang ditumpuk-tumpuk menyerupai apartemen kecil dan memuat beberapa kedai yang menjajakan jajanan, berbagai minuman hingga makanan berat. Tumpukan kontainer itu memanfaatkan lahan kecil sisa dari pembangunan rukan vertikal di sampingnya dan menjadikan tempat itu cukup apik.

Natalia seperti biasa bersikeras untuk membayar, walau kali ini Rosen lebih cepat darinya karena tangan dominan Natalia patah. Natalia akhirnya menyerah dan duduk bersama Mei di salah satu meja-meja pojokan, jauh dari riuh-rendah pekerja-pekerja yang baru saja pulang kantor dan mampir makan malam. Rosen yang akan mengambil pesanan mereka dan membawanya ke meja, sementara Mei mengurus pesanan minuman. Mereka berdua menolak keras ketika Natalia berusaha membantu dan menyuruhnya tetap duduk manis.

"Aku tidak menyangka akan melihat sihir, walau itu sihir sederhana," pungkas Natalia ketika mereka mulai membicarakan skuadron Angia. "Jadi mereka seperti menarik energi dan segera mengaplikasikannya menjadi kekuatan, menarik."

"Kamu mengerti cara kerja sihir, Natalia?" tanya Mei.

Mereka bertiga masing-masing memesan segelas besar teh hangat. Rosen tampak di kejauhan membawa nampan berisi mangkok besar nasi lauk. Lampu kerlap-kerlip di tengah kedai itu mulai dinyalakan seiring matahari terbenam.

"Tidak, sih. Aku cuma menarik kesimpulan saja," balas Natalia. "Aku baru pertama kali mendengar sirene anti sihir Kaldera, kukira itu mitos."

Mei mengingat sirene yang berbunyi saat Lucia menggunakan sihirnya. Sihir itu sederhana namun sedikit banyak lecet di luka Lianna segera tertutup. Kalau menurut Lucia, 'gurunya' lebih hebat lagi darinya. Jadi kalau guru Lucia-lah yang menyembuhkan Lianna, apa luka itu akan segera tertutup?

"Lucia hebat sekali, ya, bisa menyembuhkan dan bisa bertarung ..." suara Mei sebagian menghilang seraya ia melempar pandangannya ke pelataran kedai itu. Rosen menaruh mangkok makanan mereka di depan masing-masing sesuai pesanan. Namun Rosen lalu mengambil alat makan Natalia sebelum Natalia sempat meraihnya.

"Ros. Nggak begini."

"Tanganmu lagi sakit, sekali-sekali aku suapin gapapa dong?"

Semburat merah yang tidak biasa menyebar di pipi Natalia. "Ga enak dilihatin Mei."

"Ya terus kenapa?" Rosen mencibir. "Atau mau disuapin Mei saja? Nanti kamu malah tambah malu."

Mei terkekeh, Natalia mengernyitkan dahi. "Lebih mending disuapin Mei bukan daripada mantan ..."

"Diam, ah. Aku udah pegang sumpit nih. Udah tinggal mangap aja juga masih ribut. Nih, aaa ..."

Mei tidak lagi menahan tawanya ketika Natalia menyerah untuk kesekian kalinya hari ini dari titah Rosen. Biasanya Natalia akan segera berkilah, tapi kali ini dengan tangan dominannya patah, Natalia mudah dilumpuhkan Rosen. Natalia mengunyah makanan sambil membuang muka, sementara Rosen menyuapinya sambil berseri-seri.

Mei masih tidak percaya saat Lianna bilang kalau mereka berdua ini adalah mantan kekasih yang terpisah karena berbeda pendapat. Menurut sumber yang Mei baca, hubungan mereka mungkin diibaratkan seperti air dan minyak, tapi yang selalu Mei lihat adalah bagaimana mereka berdua saling melengkapi.

Kejadian-kejadian kecil yang membuatnya hangat selalu menjadikan Mei bersyukur sudah ditemukan mereka. Mereka-lah yang membuat Mei mudah belajar lebih menjadi manusia, walau sampai saat ini dirinya belum mampu mencerna apa itu 'emosi'. 'Emosi' yang dirasakan seseorang tidak bisa dipisahkan menjadi sebuah spektrum. Terkadang ada beberapa bagian 'perasaan' yang turut timbul ketika seseorang menyuarakan 'ekspresi'.

Tadi saat Mei meratap apa yang telah terjadi, perasaannya campur aduk antara sedih, kesal, merana, dan geram; juga beberapa emosi abstrak lainnya yang Mei belum bisa beri nama. Emosi-emosi itu sejenak tampak mirip, tapi memiliki spektrum berbeda, seperti warna yang sama-sama hijau tapi memiliki nomor hex yang berlainan.

Saat ini, ketika ia mengamati Natalia dan Rosen yang bersenda-gurau dengan Natalia meminta Rosen lebih cepat karena dia tidak bisa menahan malu, dan Rosen yang terlihat senang sekali berkesempatan menyuapi Natalia, Mei merasakan hangat. Hangat, haru, bahagia, senang; dan ada beberapa yang timbul di benaknya berkaitan dengan kondisi-kondisi semirip ini. Emosi-emosi yang juga sekilas berada pada spektrum sama.

"Rosen?"

"Ada apa, Mei, mau disuapin juga?"

"Kamu kenapa bisa suka sama Natalia?"

Rosen terbatuk keras. Begitu juga Natalia. Rosen pun segera mencari gelas teh miliknya dan minum untuk menenangkan diri.

"Kamu kok tiba-tiba nanya begitu sih!?" sergahnya, kini Rosen pun bersemu merah layaknya Natalia.

"Aku penasaran, soalnya Lianna kadang bercerita tentang kalian."

Rosen dan Natalia saling bertatapan, si pemilik rambut pirang kecoklatan pun menjawab, "Yah, aku suka Nat yang ... mudah diajak kompromi? Kayak, kalau pas serius, ya serius. Bercanda ya bercanda. Terus ..."

Mereka berdua makin menatap jauh dari satu sama lain, Mei hanya menaikkan alis, ia lebih berfokus menunggu kelanjutan jawaban Rosen.

"Itu aja sih? Haha ... ha," Rosen lalu menyenggol Natalia. "Kamu jawab juga kek, apa gitu. Bantu aku!"

"Yang ditanya siapa, minta jawab ke siapa," Natalia berdehem. "Kurasa Mei tengah mencoba mendefinisikan rasa sayang."

"Apa, kamu sayang aku?" cibir Rosen.

"Dulu, Ros. Dulu," cecar Natalia. Penegasan di kata yang berulang. "Eh, tapi kalau dipikir-pikir, ya, sekarang masih sayang, sih?"

Rosen terbatuk, makin keras dari yang sebelumnya. Mei melongo. Natalia sepertinya sadar akan implikasi dari apa yang sudah ia ucapkan dan menutup mulutnya dengan tangan kirinya, lagi-lagi Natalia membuang muka jauh dari memandang Rosen.

"–sayang sebagai teman, toh kita berdua sudah lama bersama sejak masih jadi Scavenger," Natalia berkata cepat, seakan ingin meluruskan sesuatu. "Terus entah kenapa jadian, dan nggak lama kemudian putus. Setelah putus sempat nggak ngomong, sampai akhirnya ketemu Lianna."

Mei bingung ia harus bertanya di bagian sebelah mana dari penjelasan itu. "Sayang sebagai teman?"

"Iya," Rosen masih sibuk minum, jadi Natalia yang melanjutkan. "Ada yang aneh? Konsep sayang itu bukan melulu soal cinta-cintaan, lho?"

"Tapi mungkin beda lagi kalau misal, hmm," Rosen menimpali, akhirnya, setelah tehnya tandas. "Misal kamu ingin terus bersamanya, begitu? Atau kamu ingin sesuatu yang lebih dari sekedar teman?"

"Contohnya?" Mei mengernyit. Rosen dan Natalia saling berpandangan, mereka seperti dua insan yang hendak bersembunyi di satu tempat saking malunya.

"Maaf, Mei. Aku juga bingung menjelaskannya sebagai ... sesuatu yang konkrit," ujar Natalia. "Kurasa itu lebih menjadi sebuah hal yang naluriah."

Naluri, Mei mencari kata itu di benaknya, serangkaian kegiatan refleks terkoordinasi, masing-masing terjadi apabila yang sebelumnya telah diselesaikan; reaksi yang tidak bergantung pada pengalaman.

Tapi ketika ia mengalami serangkaian emosi yang ia sendiri tidak bisa jelaskan, apakah boleh melabelinya sebagai dorongan naluri?

"Oke, sudah ya Mei sesi memalukan ini," potong Rosen. "Kalau nggak Nat keburu kabur sebelum makanannya habis."

"Apaan sih Ros, aku bukan bayi."

"Tapi aku tahu kamu mau kabur."

Mereka bertiga tertawa bersama, menghabiskan makanan sembari membicarakan hal-hal ringan, berharap ketika mereka kembali ke rumah sakit, mereka sudah bisa mengunjungi kamar tempat Lianna dirawat.


🛠


Perawat yang ada di area pengobatan meminta Rosen dan Natalia yang terluka untuk pulang dan beristirahat ketimbang menunggui Lianna yang belum juga siuman.

Lianna tidak menderita luka sayat yang dalam. Bekas cabikan di lengannya sudah tertangani. Luka-luka itu sudah dijahit dan menutup, kemungkinan akan meninggalkan sedikit bekas. Kesadarannya belum kembali karena syok saat ia terluka dan kondisi kekurangan darah. Ia tidak dalam bahaya dan kondisinya cenderung stabil. Untuk saat ini, ia diharuskan banyak beristirahat hingga lukanya sembuh total.

Setelah perawat memarahi mereka, Rosen dan Natalia menurut untuk pulang, meninggalkan Mei di ruangan itu sebagai penunggu. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan di luar sana langit gelap tanpa bintang seakan hujan akan turun.

Mei memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya lagi untuk melihat ia masih di ruangan yang sama, duduk di kursi di samping tempat tidur Lianna, memegang tangan itu lagi seperti saat Lianna mengalami 'mimpi buruk'. Namun kali ini pernapasannya ditunjang mesin, dan beberapa kabel penanda yang tersambung dengan layar yang menunjukkan antarmuka tanda-tanda vital pasien tergambar di seberang sisi kasur. Dua kantong darah dan satu kantong cairan tersambung di kateter. Lianna belum juga membuka mata.

"Apa aku mengganggu?"

Suara lembut terdengar dari ambang pintu. Pintu itu digeser pelan dari luar, menampilkan sosok Madam Rook dengan pakaian serba hitamnya kini terbungkus oleh jas putih. Penanda nama bertuliskan 'Edda K. Nibelungen' tersemat di dadanya sebagai 'Direktur Rumah Sakit Sektor 0'. Wanita yang memiliki sorot mata dingin kini lebih berwibawa dalam elemennya, ia mengantongi kedua tangannya di saku jas, berjalan tenang mendekati sisi kasur Lianna.

"Apa yang anda perlukan dari saya, Madam Rook?" tanya Mei, ia tidak melepas pegangan tangannya dari Lianna.

Madam Rook berulas senyum. "Kamu paham posisimu, bukan? Dan alasan mengapa kamu harusnya dijaga oleh pihak Lysander atau mungkin di pihak Hitam ketimbang harus jatuh ke tangan Putih?"

Mei menatap Madam Rook getir, "Kalian semua menginginkan saya, ya. Apa itu artinya kalian tahu siapa saya sebenarnya?"

Madam Rook bersedekap, "Saya hanya bisa mendasarkan teori saya pada fakta yang ada, tapi satu hal yang bisa saya ketahui dari asal-usulmu hanyalah ... kamu adalah manusia buatan."

Mei menelan ludah, ia tidak bisa merasa gentar sekarang, walau Madam Rook sangat mengintimidasi dengan sekedar melihatnya dengan tatapan penuh evaluasi. Seperti menantikan saat yang tepat untuk angkat bicara.

"Manusia buatan yang ditemukan di peti dingin Sektor 6. Bila semua pihak di Kaldera tahu hal ini, mereka akan menyangka kamu adalah sebuah teknologi baru yang disembunyikan," Madam Rook memulai eksposisinya. "Tapi tidak hanya kamu dan pihak 0027 menolak suaka dari Lysander dan Lysander tidak bersikeras, tetapi juga Infantry yang menolak tawaranku untuk menjadi penjagamu, seakan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhmu atau peran yang kamu mainkan—artinya tidak ada yang tahu apa sebenarnya dirimu."

Di balik kacamata berbingkai bulat itu, mata hitam Madam Rook layaknya mata elang yang mencari mangsa. Dan kini Mei, terpisahkan dari beliau di seberang tempat tidur, adalah mangsanya yang sudah terperangkap, tinggal menunggu waktu sebelum sang pemburu selesai mengutil si mangsa.

"Saya pun awalnya tidak terlalu tertarik dengan keberadaanmu, hingga ada sebuah keganjilan yang membuat saya bertanya-tanya, dan sekarang hipotesis saya terbukti."

Wanita itu melepas kalung yang ada di lehernya, menggantungnya selayak jarum bandul untuk Mei lihat jelas. Ada cairan perak hampir tidak berwarna di dalam sebuah tabung di ujung kalung itu.

"Aethernus," rapal Madam Rook. Benang-benang keperakan muncul di jari-jemari beliau, membentuk seperti sarung tangan di antara buku-buku jari. Ia lalu mengarahkan tangan tersebut terbuka di atas tubuh Lianna. "Complexio."

Benang-benang perak itu menghimpun di dekat Lianna layaknya sebuah bola padat yang statis, mengumpulkan sesuatu yang kasat mata, sebelum kembali hilang ke dalam tabung. Cairan di tabung itu sedikit bertambah. Mei menatap proses itu tanpa mengedip.

"Saat kulihat Hagen tadi, proses lukanya melambat, darahnya tetap keluar tapi tidak bisa dibilang darahnya berhenti, seakan ada sesuatu yang sudah membuatnya 'diam'," jelas beliau. "Yang dapat melakukan hal itu adalah sihir Aether dengan kemampuannya mengontrol ruang dan waktu."

"Sihir? Tapi ... tidak ada tanda peringatan di sekitar anda dan ... Lianna bukan penyihir." sergah Mei.

Madam Rook, seperti telah mengetahui segalanya, dengan tenang mengurai jalan pemikirannya. "Aether adalah sebuah 'sihir' yang menggunakan katalis buatan, kerjanya lebih mirip alkimia ketimbang sihir murni, sehingga alarm anti sihir Kaldera tidak terpicu.

"Aether memang memiliki daya hancur dan daya pakai yang hebat, tapi Aether sudah hilang bersama dengan Kaldera yang melupakan Peri Api. Aether juga dikenal meninggalkan residu pada objek target bila pemakaiannya kurang terampil."

Mei kini menyadari sesuatu. Sesuatu yang mungkin seharusnya tidak pernah ia ketahui. Logika yang sudah ada bersamanya dan melekat sejak awal ia terbangun tanpa ingatan jelas.

"Pertanyaannya sekarang, karena sihir ini perlu katalis khusus yang dibuat, siapa yang mampu menggunakan sihir ini kecuali mereka yang punya katalisnya?"

Mei adalah manusia buatan.

Mei adalah sebuah katalis.

Mei melepas tangan Lianna, kini meremas kuat kepalanya.

Apa—apa yang sudah ia lakukan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro