XXVIII. | Sektor 6 Jatuh, bagian keempat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gloria merasa ia sudah bermimpi lama sekali, dan ketika terbangun, ia kembali di kamarnya dalam asrama Kota Folia.

Burung sudah berkicau keras di dekat ambang jendela kamar, tapi kamarnya kosong selain dirinya yang tertidur di atas meja memegang jam saku yang belum selesai diperbaikinya. Gloria beringsut, mencoba membuka mata melawan sinar matahari yang masuk ke ruangan. Setelah memastikan jam saku itu di dalam laci yang ia tutup rapat, Gloria berdiri dari posisi tidur anehnya. Ia pun meregangkan badan dan mencoba berjalan ke arah kasur, kemudian membenamkan wajahnya ke bantal.

Tunggu, ini salah. Ia tidak seharusnya ada di sana. Ia harusnya-

Ah. Sial. Ia bahkan tidak ingat isi mimpinya.

Pintu kamarnya diketuk, tapi ia malas sekali untuk berjalan dan membuka pintu. "Masuk!" pekiknya. Seingatnya pintu kamar itu tidak pernah ia kunci. Apalagi setelah Ann sudah tidak sekamar dengannya.

Gloria menoleh menatap kasur seberangnya yang tetap rapi setelah ditinggal pemiliknya. Hari itu adalah hari Minggu tanpa ada latihan pagi dan tidak ada tugas yang membuat Gloria harus turun ke lantai dasar untuk sekedar menyapa orang atau makan. Ya, kadang ia malas sekali makan, sampai Muriel yang pribadi mengetuk pintu kamarnya dan ia akhirnya menurut sebelum diseret paksa.

"Gloria."

Suara derit pintu itu kemudian disusul suara yang tidak biasanya terdengar lembut. Gloria terkesiap dan bangkit dari kasurnya, melihat Karen di ambang pintu yang menatapnya gamang.

"Ada apa?" tanya Gloria, ia tidak tahu mengapa nada bicaranya begitu getir.

Karen masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Gadis berambut keperakan itu melihat kamar yang memang cukup kosong, Gloria beringsut dan duduk. Karen kemudian duduk di sampingnya di kasur Gloria, mereka berdua kini menatap kasur bekas Ann seperti ada yang salah di ruangan itu.

"Mukamu seperti bilang kalau aku tumben ke sini."

Gloria mengangkat bahu, "Memang, 'kan? Biasanya aku yang akan datang ke kamarmu, apalagi kalau kamu lagi sakit," ia berusaha tersenyum. "Jadi, ada apa?"

"Kalau tidak ada apa-apa?"

"Bukan Karen namanya," tukas Gloria. "Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tidak mungkin Karen tiba-tiba berterus terang kecuali ini semua hanyalah mimpi."

Tapi hari itu, Gloria ingat Karen pernah ke kamarnya sekali. Kamar yang sudah tidak dihuni dua orang lagi. Kamar yang hanya akan diketuk Ketua Kelas sekali untuk memastikan ada Gloria di dalam atau tidak, dan ia akan mencentang daftar roll call tanpa banyak bertanya.

Gloria sudah terbiasa menjadi pihak yang selalu berusaha 'mengganggu' Karen, terutama sejak hari itu ia menemukan Karen kecil sendirian di kabin sang kakek. Gloria senang menjadi 'orang asing' pertama yang dikenal Karen, hingga nantinya mereka juga menjadi orang terdekat yang terasing karena Karen punya agenda sendiri di bukunya. Gloria memilih tidak bertanya—hari itu pun, Gloria tidak bertanya—dan mencari tahu sendiri akan kemungkinan-kemungkinan yang Karen lakukan ketika Gloria tidak mengetahui teman kecilnya itu lagi.

Pada akhirnya, Gloria dan Karen bisa kembali sepaham, di malam sebelum mereka semua terpecah di tiga skuadron dengan tiga misi berbeda.

Hari itu ketika Karen datang ke kamarnya, segalanya terasa aneh - aneh karena Karen ada di sana, dan aneh karena mereka berdua duduk dalam diam yang tidak menyiksa. Gloria kerap merasakan ketegangan setelah Perang Sipil Angia usai dari sisi Karen, tapi hari itu berbeda. Di luar cuacanya cerah sekali, dan Karen tidak bedanya dengan seseorang yang Gloria selalu kenal akan mengabaikan Gloria yang datang bermain ke kabin si kakek Spriggan seharian.

"Sebentar lagi kita semua akan diturunkan untuk menjadi bagian militer Angia dan digilir untuk bertugas," ujar Karen. "Aku tidak suka hal ini tapi aku tidak bisa menolak."

"Kamu sangat benci Angia, ya, seperti biasa," Gloria menutup matanya dan menghempaskan dirinya ke kasur, ia menatap punggung Karen yang tengah misuh-misuh. "Kalau begitu kenapa tidak pulang saja?"

Karen menoleh ke arahnya, "Aku lebih malas lagi kalau tinggal di rumah."

Mendadak Karen benar-benar seperti anak yang kemarin selalu merajuk, bukan seorang taktis yang selalu berpikir beberapa langkah ke depan. Ini adalah hak Gloria sebagai teman kecil untuk melihat Karen bersifat kekanakan.

"Apa kabar, Spriggan?" Gloria memutar badan, ia menatap arah jendela sekarang. Burung yang tadi berkicau keras membangunkannya sudah terbang pergi.

"Normal."

"Bagus, 'kan, normal?"

"Apa bagusnya kalau Spriggan masih sebagai Provinsi?"

"Tapi tidak buruk, bukan?" sanggah Gloria lagi. Ia mendengar Karen menggeram di sisinya dan ia segera diam.

Gloria tidak tahu isi pikiran Karen dan apa yang menjadi ketakutan terbesarnya setelah Spriggan dianeksasi, sehingga ia tidak berani berargumen lebih dari itu. Ia bisa terdengar tidak sensitif, walau Karen tidak merasa masih punya keluarga untuk dilindungi di Spriggan. Gloria mengerti Karen selalu menyayangi si kakek dan merasa si kakek sudah berkorban banyak demi Spriggan hingga akhir hayatnya dan Karen pantas menghormati jasa dan mengikuti jejaknya.

Tapi apa hanya itu saja?

Gloria merasa kasurnya turun sejenak, Karen pun terlentang di sampingnya dan sudah menguasai bantal untuk dipeluk. Gloria pun memutar badannya lagi, kini mereka berdua saling berhadapan dengan kaki mereka menyentuh lantai.

"Hei itu bantalku."

"Terus kenapa?"

"Kamu kenapa, sih, hari ini?" Gloria berusaha menarik bantal itu. Karen bersikeras tetap memeluknya.

"Sudah kubilang, tidak apa-apa."

"Coba kalau kamu sesekali bilang mau menemaniku, gitu. Simpel. 'Kan bisa saja hatiku luluh."

Kini bantal itu Karen gunakan untuk menghantam muka Gloria berkali-kali. Gloria tidak bisa mengelak, ia pun terpaksa melindungi wajahnya dengan kedua lengannya. Karen tetap menggebuk tanpa ampun.

"Kamu apa-apaan sih." dengus Karen yang akhirnya berhenti menyerang. Gloria mengusap-usap wajahnya yang mungkin sudah memerah sekarang.

Bekas luka di dahinya sudah hilang, tapi setiap ia menyeka wajahnya dan melihat refleksi mukanya di cermin, pemandangan itu akan hadir. Ia jadi satu dari mereka yang tidak berguna di hadapan lawan. Ia hanya bisa melihat mereka yang masih bertarung. Lucia. Ann. Eris...

"... Gloria?"

Mendapati Gloria yang mendadak diam ternyata membuat Karen terkesiap, ia kembali duduk dan melihat Gloria yang menatap langit-langit kamar sambil mengelus dahinya sendiri. Karen tertegun.

"Sakit?"

"Nggak, cuma ... kepikiran," Gloria menghela napas. "Hari itu terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung dan luka yang tidak pernah sembuh. Lalu hari-hari buruk lainnya mulai mengikuti."

Karen mengerjap, mulutnya terbuka namun tidak ada suara yang keluar. Ia menatap Gloria dengan ekspresi simpatik. Gloria pun hanya membalas Karen dengan senyum pahit. Gloria tidak suka menangis tapi sepertinya ia bisa dibilang si paling cengeng di Kelas Sembilan. Ia pun berusaha menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, membiarkan pucuk matanya yang serasa terbakar itu kemudian meleleh dengan sendirinya.

"Kalau kamu bisa memutar balik waktu, apa yang ingin kamu ubah?"


🛠


Gloria membuka matanya di sebuah ruangan beratap rendah dan berkasur kecil. Ia mencoba memejam dan membuka matanya lagi, masih menginderai ruangan yang sama. Ia lalu mencoba mencubit pipinya untuk sekedar mengingatkan bahwa ini bukanlah mimpi. Atau mungkin ia sedang ada di antrian neraka nomor sekian.

Gloria mencoba meraba tubuhnya dan mengetahui kalau ia tidak remuk atau terbakar di atmosfer. Ia kini mengenakan kemeja putihnya dengan rok yang merupakan bagian seragamnya. Akan tetapi, jaket utama seragamnya tidak bisa ditemukan di dekatnya.

Ia mencoba duduk, merasakan tubuhnya yang kaku mulai terasa nyeri di berbagai sisi. Tapi paling tidak tubuhnya utuh. Ruangan tempatnya tertidur itu ternyata cukup berjejal saking kecilnya, hanya ada kasur, meja yang menempel dengan dinding yang berserak pelbagai alat-alat dan kain perca, juga sebuah kursi yang joknya sudah berlubang. Satu-satunya jendela yang ada di ruangan itu tertutup horizontal blinds yang sudah usang, sedikit cahaya yang masuk menjadi penerang ruangan yang kecil tersebut.

Setelah merasa kakinya cukup lemas, Gloria mencoba berdiri, pelan-pelan ia berpegangan dengan dinding dan nyaris terjerembab ketika sisi pinggangnya menabrak meja. Barang-barang di meja itu berhamburan jatuh ke lantai dan Gloria hanya bisa mengutuk dengan pelan.

"Sayap Peri." desisnya parau. Ia bahkan tidak bisa membungkuk dengan benar. Rasanya pinggang dan punggungnya berteriak kesakitan saat ia mencoba mengambil perintilan yang jatuh. Terlihat seperti botol-botol bekas, dan juga sebuah bingkai foto berbahan plastik.

Ia mencoba mengambil bingkai foto itu terlebih dahulu dan melihat foto yang mulai menguning disimpan dengan rapi di dalamnya.

"Wah, lancang sekali kamu, belum apa-apa sudah main lihat-lihat barang pribadi orang."

Gloria tidak merasakan pergerakan atau pintu terbuka, tapi seorang wanita berambut pirang platina panjang sudah bersandar di dekat pintu geser itu. Wanita itu terlihat bugar, mengenakan jaket berbahan kulit berkerah tinggi yang membungkus kemeja berwarna hijau lumut. Di tubuhnya banyak sekali belt yang tampaknya berisi kantong-kantong peralatan khusus seperti teknisi Kaldera pada umumnya, dilengkapi celana yang menjadi satu bagian dengan sepatu boots tinggi. Tapi yang paling mencolok dari wanita ini adalah dog tag yang terkalung di lehernya dan dua pedang yang tersemat di dekat sabuk pinggangnya.

Gloria sepertinya sudah melongo lama sampai wanita itu sempat tertawa—tawa tertata seperti tawa Lucia, lho, bukan tawa macam Alicia! Perawakannya benar-benar menipu. Ia menarik bingkai foto itu dari tangan Gloria dan menyuruh Gloria duduk lagi di kasur. Wanita itu menaruh kembali bingkai foto itu tertutup di atas meja, lalu menarik kursi yang bolong-bolong mendekati kasur.

"Baik," setelah menyalakan lampu utama ruangan, ia mengeluarkan sebuah senter kecil dari salah satu kantong perkakas. "Saya akan melakukan beberapa tes sederhana untuk memastikan kamu tidak menderita gegar otak."

Gloria mengikuti pemeriksaan wanita itu dengan saksama. Sejenak, wanita ini semakin mengingatkan Gloria dengan Matron Thalia tapi berbadan setipe Instruktur Faye. Dengan senter ia mencoba memeriksa mata Gloria, kemudian ia menggunakan ujung tumpul senter untuk mengetes rasa sakit dengan beberapa ketukan di paha dan tangannya.

"Pintar," ucapnya. "Sepertinya kamu baik-baik saja, namun kamu mungkin perlu berbaring lagi untuk hari ini."

Gloria menuruti anjuran itu dan kembali berbaring. Wanita itu tampak mencatat sesuatu di terminal miliknya dan terlihat puas.

"Boleh ... saya bertanya apa yang telah terjadi?" Gloria bingung harus berbicara seformal apa, wanita itu terkekeh lagi.

"Oh, bukan dari identitas saya dulu?"

"Err, itu juga saya penasaran. Ter-terserah anda, deh."

Wanita itu bersedekap, "Saya dihubungi oleh rekan saya yang bilang ada kemungkinan seseorang akan jatuh dari Pulau Melayang," ia memulai. "Beliau tapi tidak bilang yang jatuh ada dua orang, untung saja kapal perusak ini bisa sigap bereaksi cepat."

Kapal perusak, Gloria memikirkan kalau ini setipe dengan cruiser udara milik Kaldera, namun untuk kru lebih sedikit dan penumpang terbatas. Sejenak ada rasa menggebu untuk ia mencari tahu, tapi sepertinya tubuhnya yang mulai nyeri-nyeri tidak mau diajak kompromi.

"Jadi anda termasuk bagian dari pemerintahan Kaldera?"

"Hmm, sayangnya bukan," ia menggeleng mantap. "Ceritanya saya ditugaskan mengumpulkan data di tanah Kaldera lama sebagai seorang agen Schwarz dengan kode nama Messenger."

Gloria tidak tahu ia harus terkaget-kaget atau tidak. Ragam ekspresinya terbatas karena badannya yang mengeluh, jadi ia sekedar terbeliak. "Oh."

"Dan ternyata yang jatuh pun termasuk agen Weiss! Dasar memang rekan saya tidak mengatakan apa-apa terlebih dahulu," wanita itu tampak berbinar. "Tenang saja. Kamu tidak dalam bahaya, kok. Rook kehilangan tangan prostetiknya dan sepertinya tangan kirinya dilukai sehingga ia tidak dapat macam-macam."

Intinya, wanita ini adalah bagian dari Hitam, dan merupakan seorang dengan kode nama 'Messenger'. Sepertinya Madam Rook mengkhawatirkan anggota 0027 yang terjatuh sehingga beliau mengontak wanita ini untuk melakukan penyelamatan. Entah bagaimana timing mereka begitu tepat, wanita yang mengepalai kapal perusak ini malah mendapat tamu tidak diundang. Gloria tidak merasakan deru mesin atau getaran kapal, kemungkinan mereka sudah 'berlabuh' di Kaldera lama.

Baik, Gloria bermaksud mencerna informasi ini terlebih dahulu.

Wanita itu menatapnya lagi, kali ini senyumnya sedikit memudar.

"Yang paling tidak saya sangka sih ... kamu, bukan Rook itu."

Gloria mengerjap, "Anda ... sudah tahu siapa saya?" maksudnya adalah identitasnya yang menempel nama 'Wiseman'.

"Tadi kamu bilang, 'Sayap Peri'," tukasnya, alih-alih kalimat umpatan itu telah membangkitkan nostalgia bagi wanita ini. "Biasanya kalau saya dengar ada yang mengumpat begitu, akan segera saya hajar."

"Ma-Maaf, Bu, kayaknya badan saya sudah cukup remuk untuk menerima bogem mentah dari anda." Gloria berkeringat dingin.

Tunggu sebentar. Gloria mengerjap. Wanita ini bilang kalau 'biasanya', dan umpatan itu familier baginya.

"Lalu saat saya periksa matamu barusan, saya merasa yakin," ia mengangguk-angguk. "Kamu orang Spriggan."

Ia tertegun, melirik wanita itu yang menarik kembali bingkai foto dari atas mejanya dan menunjukkannya pada Gloria. Tadi karena dia mengambilnya tergesa-gesa, Gloria tidak melihat jelas foto itu.

Wanita itu menunjukkan foto yang berlatar belakang tempat yang tidak terlalu asing bagi Gloria. Ia mengingat pernah melihat ruangan putih pualam ini di Norma. Tiga orang di foto itu terlihat masih hijau, wanita itu menunjuk foto dirinya yang paling tinggi di antara tiga insan itu, satu laki-laki dan dua gadis.

"Ini teman saya yang suka saya hajar kalau mulai mengumpat."

Wanita itu menunjuk gadis berambut pirang bermata biru yang merangkul dua yang lain. Gloria pun menelan ludah.

"Jadi anda adalah teman Instruktur yang ... yang beliau bilang tewas di Spriggan?"

Wanita itu tersenyum lembut, ia kemudian mengulurkan tangannya. Kini terasa jelas mengapa ia memakai dog tag di lehernya. "Saya Leiria Alkaid. Salam kenal, anak Spriggan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro