XXVII. | Sektor 6 Jatuh, bagian ketiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat ia terkulai lemah dan jatuh sehabis menerima tebasan pedang dan detik kemudian darahnya menyembur ke arah lantai dan dinding, ia merasa kesadarannya melayang-layang. Ia berusaha menatap ke arah penyerangnya, wanita gila itu, yang dengan cekikikan lengkingnya dan kondisinya yang babak belur tampak masih begitu hidup. Namun belum sempat ia berlari mengejar Mei, sesosok besar menghantamnya dari belakang, memaksanya untuk tersungkur ke arah lantai.

Natalia. Pandangan Lianna semakin buram, tapi ia tahu kalau itu Natalia. Kacamatanya yang hancur jatuh dari batang hidungnya dan darah keluar dari pinggir bibirnya. Wajahnya juga lebam. Ia membenamkan kepala Rook di lantai kuat-kuat dan menghantam kepala itu lagi, Lianna tidak bisa melihat jelas ekspresi Natalia yang mulai berbayang-bayang. Sepertinya Natalia sangat, sangat murka.

"Brengsek kamu Rook!" umpatnya. Ia mencengkeram leher itu kuat-kuat seakan hendak meremas leher kecil itu hingga hancur.

"Heh."

Wanita itu menendang Natalia sehingga cengkeram itu terlepas. Ia kembali berdiri tegak dengan pedang teracung. Natalia pun mau tidak mau menjaga jarak dengan Rook. Dari sudut pandang Lianna, Natalia sudah semakin memburam dan tidak terlihat begitu ia menjauh, tapi ia masih bisa melihat kalau itu Natalia.

"Infantry tanpa senapan jitu bukan apa-apa bagi petarung jarak dekat," sembur wanita berpedang itu dengan percaya diri. "Ternyata kau masih bisa bergerak juga setelah tangan kananmu kupatahkan."

Natalia hanya menggeram. Lianna yang mendengar itu bisa merasakan ngilu tapi tubuhnya sendiri terasa kebas. Pandangannya terus mengabur, dan kembali fokus. Memburam, kembali fokus. Ia ingin terus terjaga namun perlahan tubuhnya terlalu dingin dan ia kesulitan bernapas normal. Tubuhnya mulai gemetar, apa ia sudah kehilangan banyak sekali darah?

"Mau lawan aku pakai apa kalau pisau mainanmu saja sudah buyar, hm? Mau sok heroik kayak wanita di belakangku ini?"

Natalia menatap ke arahnya, seonggok yang tergeletak setelah menerima serangan dari wanita itu untuk melindungi Mei. Ekspresi di wajah Natalia penuh kengerian, dan segera berubah masam begitu menghadapi wanita berpedang itu.

Untungnya Natalia datang sebelum ia sempat berhasil menculik Mei. Memang mereka yang terbiasa menggunakan senapan benar-benar tidak berguna bila tanpa senjata. Kalau saja ada senapannya, mungkin Lianna bisa—

"Tutup mulutmu." raungnya.

Natalia merangsek maju, tangan kirinya mengepal melayangkan tinju, berhadapan dengan wanita yang tertawa keras sambil hendak mengayunkan pedang, lawan yang tidak seimbang.

Lianna tidak berkedip, yang datang berikutnya terasa lebih cepat dari cahaya, lebih cepat dari matanya bisa menangkap.

Setelah melihat Lucia menahan pedang wanita bertudung itu seakan bukan apa-apa, Lianna paham seberapa Lucia sangat merendahkan dirinya ketika mendeskripsikan kemampuan. Lianna bahkan tidak dapat mengikuti ketika pedang itu saling bersinggungan, seperti dua kilat yang terus mencari dan berseteru.

"Mundur, Natalia. Wanita ini urusanku." ucap Lucia dengan suara tenang lagi dingin. Natalia mengiyakan, Lucia lalu mendorong wanita berpedang yang kini menjadi lawannya hingga ia terhempas cukup jauh.

"Ahhh! Ahh! Datang juga kamu, Lucia Florence Leanan!!" wanita bertudung itu melolong, seakan ia tengah memuji sosok di depannya bagai melihat Tuhan itu sendiri.

Lucia menurunkan pedangnya, berjalan mendekat wanita bertudung yang terus mundur seakan gentar. Lianna tidak dapat melihat jelas ekspresi Lucia saat itu, tapi Lianna bisa merasakan itu seperti bukan Lucia biasa yang lembut dan berbicara dengan tutur kata sopan selayaknya saat mereka bersenda gurau. Lianna kemudian tidak dapat melihat mereka lagi setelah mereka membawa pertarungan itu ke tempat lain.

Ah, matanya rasanya berat sekali. Lianna menutup matanya. Perasaan seperti terbakar masih menjalar di kulitnya, dibarengi dengan sebagian tubuhnya yang dingin. Rasanya ia masih ingin memaksa untuk terjaga, tapi udara di sekitarnya terasa semakin sulit untuk ditarik dan dibuang.

Sesaat berikutnya Lianna merasa ada sesuatu hangat. Hangat sekali bagi tubuhnya yang separuh meradang dan separuh mendingin. Ia tidak mampu lagi mendengar suara-suara dengan jelas dengan angannya yang semakin samar, namun matanya yang mulai terpejam masih dapat menginderai dua wajah yang mendekat melihatnya lekat-lekat dengan khawatir.

"Lian? Lian!" satu tangan menepuknya perlahan, sepertinya Natalia yang memeriksa kalau ia masih sadar atau tidak. Lianna tidak bisa berkata apa-apa.

"Lianna—" itu suara Mei, sepertinya. Tidak pernah Lianna mendengar Mei bersuara serak.

"Rosen–aman—dia baik." mendengar itu, Lianna ingin tersenyum, tapi ia sama sekali tidak bisa menggerakkan bibirnya, menggerakkan matanya untuk sekedar membuka pun sudah sangat menyita tenaga.

"Lia—na, hei-"

Statis. Sakit. Nyeri. Dingin. Ia merasa hampir tidak bisa menghidu apa-apa lagi, melihat apa-apa lagi. Telinganya masih menangkap sayup suara. Ia masih merasakan dua pasang tangan yang ada di dekatnya dan mereka yang mencoba memanggil namanya.

Asal ia masih merasakan hangat dari mereka mungkin tidak apa-apa.

Tidak apa-apa. Segalanya akan baik-baik saja. Benar, bukan?

Sebelum bahkan telinganya mulai berhenti menangkap suara, Lianna mendengar bisikan sesuatu, sebuah mantra, dan seperti ada sesuatu menyentuhnya lebih dekat, membelai lengannya yang terluka, dan—

.

"Bangun, putri tidur."

"W–Wah!?"

Ia melompat. Atau lebih tepatnya, 'dia' si pengamat yang terjatuh dari kursinya ketika dihadapkan dengan wajah Salamander yang membangunkannya dari tertidur di atas meja.

Salamander nyengir lebar, Peri itu lalu berkacak pinggang. "Ampun deh orang-orang ini, kalau tidak diperhatikan pasti ada saja yang tidurnya nggak bener lah, lupa makan, lah ..."

Si pengamat terkesiap. Ia mencoba berdiri tegak di hadapan Salamander tapi dengan apesnya ia lagi-lagi terjungkal karena terganjal kursi. Salamander menatapnya dengan separuh alis naik, memerhatikan si pengamat mengaduh kesakitan dan Salamander pun tertawa lepas sampai menitikkan air mata. Si pengamat merasa pipinya menghangat, malu ditertawakan sebegitunya oleh si Peri Api. Peri berambut merah bergelombang itu lalu merapikan kursi sebelum memakan korban lagi dan mengulurkan tangannya untuk membantu si pengamat berdiri.

"Sori udah bikin kamu kaget, gak ada yang luka, 'kan?"

Si pengamat mengangguk pelan, ia tertunduk dan menerima uluran tangan itu sambil berusaha menyembunyikan wajahnya dengan bagian jubahnya. Malu sekali diperhatikan begitu!

Salamander lalu menepuk-nepuk jubah si pengamat dari debu lantai, kemudian matanya mengarah ke meja.

"Hoo, kamu benar-benar sudah menyelesaikan cetak biru-nya, ya? Hebat sekali—eh tapi ada ilernya tuh?"

Si pengamat pun gelagapan, ia segera menarik perkamen itu dan menggulungnya, memeriksa kertas itu benar-benar ada iler atau tidak. Ketika si pengamat sadar ia sudah dibohongi, Salamander tertawa lagi sampai napasnya berbunyi.

"Ampun deh, kamu!" tukasnya, menghapus air mata di pipinya. Si pengamat merasa ia sudah tidak punya muka lagi di hadapan Salamander, rasanya ingin menggali lubang dan bersembunyi di sana selamanya. "Oke, oke. Udah bercandanya. Jadi cetak birunya sudah selesai dan berarti kamu ada waktu sebentar untuk jalan-jalan?"

Si pengamat bingung harus merespon apa, namun pada akhirnya ia tidak bisa menolak Salamander yang terlihat antusias. Belum sempat ia menaruh cetak biru itu kembali ke meja, Salamander sudah menarik tangannya, dan dengan sekejap mata—sihir? Apa itu sihir?--mereka sudah pindah ke tempat lain. Tidak lagi mereka ada di ruangan sempit yang hanya terdiri meja dan kursi dan kasur, mereka kini ada di sebuah danau yang terletak di kaki gunung.

Danau? Gunung? Di mana mereka sebenarnya?

Di tengah danau itu, ada seseorang dengan cuping telinga mencuat seperti Salamander yang tampaknya tengah menikmati air tersebut. Berbeda dengan rambut Salamander yang merah menyala, wanita di tengah danau itu memiliki rambut berwarna pirang pucat. Ada bekas luka melintang di mata kirinya, menggores dari dahi hingga ke arah pipinya. Ia tengah mengeringkan rambutnya sebelum menyadari ia kedatangan tamu.

"Sylph!"

Si pengamat terbelalak kaget. Sudah salah di mana kah ia sampai ia bisa berhadapan dengan dua Peri sekaligus? Kalau tidak salah Sylph ini adalah Peri Angin. Salamander pernah bercerita sedikit tentang empat peri yang datang ke Endia, tapi toh para peneliti tidak terlalu banyak bertanya soal peri-peri ini karena mereka terlalu sibuk mengobrolkan kerjaan.

"Oh, hai, kukira kamu masih lama." Sylph membuka matanya, mata berwarna hijau yang cerah. Ia menatap Salamander yang melambaikan tangan dari pinggir danau. 'Sylph' pun mendekati Salamander, ia menjentikkan jarinya sekali dan helai lembut angin melingkupi kaki gunung itu.

"Dan manusia yang sepertinya mau pingsan ini siapa? Dia kayaknya sebentar lagi berbusa karena lihat dua Peri." Sylph menunjuk si pengamat yang rasanya ingin menggali lubang yang tadi sempat terpikirkannya lebih dalam dan tinggal di sana saja selamanya.

"Ah, ini dia kepala proyek yang aku bilang," Salamander memperkenalkan si pengamat. Sylph menatap si pengamat dengan antusias. "Karena sebentar lagi proyekku sudah dapat dikerjakan, aku jadi mengundangmu sebelum katanya kamu bakal sibuk."

Sylph menaikkan bahu, "Maaf aku tidak bisa berkunjung dalam waktu dekat lagi ke rumahmu, Sala. Kurasa Angia akan terdampak cukup buruk di turbulensi sihir ini."

Salamander meyakinkan Sylph dengan mengacak rambut peri itu. "Tidak masalah, tidak masalah! Nanti aku yang akan gantian berkunjung kalau semuanya sudah selesai, ya? Aku penasaran sama anak-anakmu yang berhasil membuat Azo–"

"Sudah, sudah. Waktu kita cuma sedikit. Mana tadi katamu yang bisa menjadi katalis untuk menyempurnakan Aether?"

Si pengamat hanya bisa menatap mereka berdua kebingungan dan terheran-heran. Sepertinya ia tidak memiliki peran di sini tapi ia diseret paksa oleh Salamander dan sekarang si pengamat tidak tahu bagaimana ia harus berlaku di depan Sylph. Mereka berdua tidak ada gubahnya seperti kakak dan adik, tidak jauh berbeda dengan para peneliti, alkemis, atau tukang dagang yang tengah berseloroh.

Seingat si pengamat, Sylph memang dekat dengan Salamander, dan Salamander kerap berkata mereka adalah teman main yang setara, dan Salamander merasa bisa berbagi ilmu dengan Sylph ketimbang dengan rekan perinya yang lain seperti Peri Air dan Peri Tanah. Salamander tidak menjelaskan lebih dari itu.

Sylph seperti menyadari kegundahan si pengamat, ia lalu menarik lengan Salamander. "Sala, kayaknya dia bingung ada di sini untuk apa."

"Oh! Sori!" Salamander terkekeh. "Aku ingin menunjukkan cetak birumu pada Sylph."

Si pengamat mengerjap, ia dan Sylph pun saling bertatapan.

"Apa yang kamu buat saat ini akan menjadi penyempurna proyek ini, aku sudah bilang, 'kan?"

Si pengamat mengangguk, ia lalu membuka perkamen di tangannya dan menilik sederet tulisan yang ada di sana. Entah mantra dari mana, atau mungkin jampi-jampi yang berfungsi sebagai sesuatu.

Aether, nus, sphaera. Ad supplementum. Jari si pengamat terhenti di kata-kata itu. Kata-kata yang familier di telinga Lianna karena ia baru saja mendengarnya. Si pengamat lalu berbicara dengan Sylph, menunjukkan deretan tulisan tersebut.

"Ah, sepertinya sudah benar. Aku ingin mengoreksi tapi kurasa waktunya akan terlalu lama," tukasnya. "Tidak kusangka di antara kamu dan Nymph, kamu-lah yang menyempurnakan Aether."

Salamander mendadak pongah, "Begini-begini aku juga bisa pintar! Toh tidak sepintar Nymph dan tidak secerdas kamu, Sylph!"

"Kayaknya aku nggak ke arah situ deh," cibir Sylph. "Lalu, mau kamu apakan Aether ini, Sala?"

Salamander tersenyum, seakan ia sudah memastikan pertanyaan itu dari Sylph. Si pengamat menangkap sedikit perubahan ekspresi Salamander yang semula bersemangat, dan menangkap adanya sedikit keraguan dan kesedihan. Si pengamat merasakan itu dan tercenung.

"Kamu lebih tahu jawabannya dariku, Sylph."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro