XXI. | Bersama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Urodela?"

Nama itu familier bagi Lianna - atau paling tidak, bisa dibilang familier bagi siapa saja yang sudah membaca buku 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan'. Nama itu selalu disebutkan di sana, Bangsa Urodela, dan mereka tampak sebagai pengikut setia Salamander.

Menurut buku itu, Bangsa Urodela adalah mereka yang paling bijak. Mereka diberkahi otak yang sangat cerdas dan menjadi orang-orang terpilih yang Salamander percaya untuk melaksanakan cetak biru pembangunan dan memastikan bahwa tanah Kaldera selalu aman. Tidak pernah disebutkan dalam buku bahwa Bangsa Urodela merupakan penduduk asli Kaldera atau tidak, tapi buku itu selalu mendeskripsikan 'manusia' dan 'Bangsa Urodela' sebagai dua kata yang berbeda. Bangsa Urodela jugalah yang katanya menyimpan dan menyelesaikan berbagai cetak biru Salamander yang belum sempat direalisasikan saat fajar Era Kekuatan.

Namun, baru dari mulut Mei-lah Lianna tahu bahwa Bangsa Urodela adalah alkemis. Mei tampak senang telah mengungkapkan hal itu, seperti ia telah menemukan sesuatu yang baru dari dirinya.

"Dan, alkemis? Apa itu?" tanya Lianna lagi. Mei seperti hendak bercerita sebisanya dengan senang hati.

"Alkemis berbeda dengan sihir," jelas Mei. "Dengan ilmu alkimia, mereka mampu mengetahui asal-usul material, dan mengubah bentuk satu material menjadi material lain asalkan mereka dapat merombak susunannya. Mereka juga dapat melakukan purifikasi material, atau membuat benda-benda tertentu yang fungsional seperti ramuan obat dan senjata. Terlihat seperti sesuatu yang mendadak muncul entah dari mana, tapi itu bukan sihir."

Mungkin orang lain akan terperangah mendengar ada yang membicarakan sihir, tapi Lianna sudah terbiasa dengan 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan' dan memahami bahwa sihir pernah dan eksis di Kaldera dahulu kala.

"Seperti mekanik, begitu?" Lianna mencoba membandingkan agar ia bisa mengerti konsep 'alkemis' yang begitu abstrak ini. 'Alkemis' tidak menggunakan sihir, tapi mampu mengubah satu benda menjadi benda lain?

"Bukan, bukan mekanik," Mei menggeleng. "Mungkin kalau diibaratkan seperti tukang kue?"

Lianna mengerjap, "Tukang kue?" ia segera membayangkan seseorang yang ada di depan tungku api atau oven dan memanggang roti.

"Mereka bisa mencampur tepung dan telur untuk menjadi adonan dan nantinya menjadi roti dan kue, benar? Konsep alkimia sederhananya seperti itu, tapi segalanya lebih cepat lagi," Mei sangat antusias. Sepertinya ini pertama kali Lianna mendengar Mei berbicara sebanyak ini selain saat mereka bertanya tanggal pembuatan sebuah benda atau alat. "Bangsa Urodela selalu membantu Salamander mewujudkan ide-idenya, begitu yang ditulis di buku ini, 'kan?"

Lianna mengangguk. Ia membayangkan kembali soal tungku dan mimpi aneh yang pernah dilihatnya. Tungku besar. Perapian yang lebih besar lagi. Apa ia tengah melihat 'dapur' milik para alkemis? Apa itu artinya orang-orang yang Lianna lihat saat itu adalah orang-orang Urodela? Tapi apa yang membuat mereka berbeda dengan manusia, selain mereka lebih cakap, lebih pintar?

"Tadi kamu bilang mereka bisa membuat sesuatu dengan cepat, maksudmu mereka bisa saja mengatasi problem Pulau Melayang saat ini?" tanya Lianna penasaran.

Mei menghela napas, "Tapi melihatmu, sepertinya alkemis sepertinya sudah jadi sejarah seperti halnya pengguna sihir, ya?"

Lianna bersedekap, ia menengadah menatap langit-langit sembari menyandarkan diri di sofa empuk. Hampir saja itu menjadi sebuah utopia yang dapat menyelesaikan semua masalah, sayangnya Mei benar. Bukan hanya Lianna tidak familier dengan alkemis dan alkimia, tetapi ia juga merasa benar-benar buta. Teknisi seperti mereka hanya tahu cara memperbaiki dan melakukan troubleshooting di lapangan, mereka bukan yang bisa 'membuat' seperti yang Mei deskripsikan.

"Aku ingat Sekretaris Rowena Rainfall masuk ke dalam keluarga penempa dari barat," ucap Mei. "Saat aku melihat pin itu di seragamnya, aku pun merasa itu cukup familier."

"Jadi apa kita harus mencoba bertanya ke Bu Rowena soal keluarganya, begitu?" apa itu akan berkaitan dengan alkemis dan alkimia di Kaldera? Rasanya tidak. Akan tetapi Mei butuh mengembalikan memorinya, bagaimana pun caranya.

Bila Mei merasa ini adalah petunjuk penting, mengapa tidak membantunya?

"Aku periksa dulu jadwal perusahaan dan jadwal kita, kalau tidak ada sesuatu yang mendesak, mungkin kita bisa bertemu dan berbicara dengan Bu Rowena."

Mei sejenak tampak berbinar-binar. Sangat menyilaukan. Tapi kalau berwajah begitu, dia terlihat imut sekali. Rasanya Lianna ingin mencubit pipinya.

Jadwal mereka sepekan ini selalu diperbaharui oleh Rosen dan Natalia, sementara Lianna akan merapikan bila mereka berdua menulis terburu-buru. Setelah dipikir-pikir lagi, Mei belum sempat diberikan terminal, apalagi ia baru lulus ujian menembak hari ini.

"Kamu sudah tahu cara mengoperasikan terminal kan, Mei?"

"Sudah. Menurut kantor pusat aku bisa dapat terminal dari kantor dua hari lagi atau maksimal minggu depan. Mereka bilang ini tadi setelah latihan menembak."

"Baguslah, nanti berarti kamu bisa iseng kirim pesan ke Rosen atau Natalia kalau bosan."

"... Kayaknya fungsi terminal bukan itu deh?" Mei menjawab dengan sangsi.

Minggu ini, jadwal mereka cukup kosong. Rosen akan memeriksa papan kerja dan meja informasi setiap awal minggu dan memberikan detail pekerjaan yang bisa mereka ambil. Rosen tidak akan mengambil tugas yang merepotkan, terkecuali itu adalah titah dari Bu Sekre, biasanya Rowena akan menulis tugas itu di kalender bersama mereka dengan warna tulisan merah. Esok hari sepertinya Natalia tidak akan siap sedia karena ia memiliki tugas tersendiri di Schwarz, selalu Natalia tandai dengan warna tulisan hitam. Lianna menambahkan tanggal ujian Mei di kalender itu dengan warna tulisan biru, dan karena kebetulan Mei baru akan menerima terminal-nya nanti, Lianna iseng menambahkannya di kalender dan ia terkekeh sendiri.

"Apa, sih?" Mei manyun. Tidak diikutkan, ia pun mendekat untuk melihat layar antarmuka terminal Lianna.

"Nggak kok, aku cuma taruh jadwal ujianmu di kalender kami."

"Ohh," Mei melihat-lihat kalender kerja itu. "Kamu belum kasih tahu Rosen, 'kan, soal nilaiku di ujian tadi?"

"Belum sih, paling kalau dia sudah tahu, kamu bakal diajar dengan sparta."

Mei sontak berwajah masam, ia menggeleng cepat. "Nggak mau."

"Paling besok dia bakal tahu sendiri kalau tanya teman-temannya yang biasa jadi penguji." Lianna tersenyum simpul.

Mei menepuk dahinya, dan Lianna hanya bisa tertawa melihatnya yang kelabakan. Tidak biasanya ia bisa melihat 'si jenius' di antara mereka jadi seperti ini. Tangannya pun tergerak untuk benar-benar mencubit pipi Mei, dan Mei makin manyun.

"Lianna. Tolong deh."

"Habisnya gemas." Lianna pun menggunakan tangan satunya yang bersandar di papan ketik untuk menarik sebelah pipi yang lain. Mei tidak menepis kedua tangan Lianna atau berusaha mengelak, tapi tetap dia manyun.

Malam itu pun berlalu dengan cukup tenang, satu hari yang terasa berat terlewati dengan tidak ada yang terluka atau celaka, itu saja sudah membuat Lianna sangat bersyukur. Memang, masalah mereka mungkin ada di depan mata dan bisa saja bertambah dengan aktifnya kubu Hitam dan Putih, tetapi paling tidak Mei bisa mendapat fragmen memorinya dan tumbuh bersama mereka, juga apa yang hendak menjadi tujuan mereka cukup jelas.

Semoga saja pihak Angia bukanlah menjadi musuh mereka nantinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro