FRAME 02

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

HIJRAH masih menjadi niat yang belum terealisasi. Salma tidak pernah berhenti berharap, bisa menjadi lebih baik lagi. Tetapi satu kewajaran, selama ini lingkungannya adalah orang-orang yang memikirkan duniawi. Sifat egois dan mementingkan diri sendiri masih mendominasi.

Salma diserang bimbang tak berkesudahan. Arga memang sangat keras sifatnya. Sebagai seorang ibu, Widya selalu melindungi dirinya, meskipun tidak setiap saat dia bisa melakukannya. Salma masih luput juga dari lindungannya dan berakibat fisik yang sakit.

***

Salma melahap semua makanan yang ada di depannya. Langit hanya melihat sambil sesekali mengulum senyum.

"Kenapa? Belum pernah lihat orang makan ya, Kak?" tanya Salma datar, setelah menandaskan air putih yang tinggal setengah gelas.

"Jujur, kamu itu seperti habis kembali dari hutan bertahun-tahun." Langit menahan tawanya, apalagi melihat reaksi Salma yang langsung membuang muka.

"Jadi nyesel nih, ngajak makan?"gumam Salma kesal.

"Jangan ngambek gitu, dong! Bersyukur semua makanan habis, jadi nggak ada yang mubazir." Langit memanggil ibu penjual untuk membayar makanan Salma. Perutnya sudah kenyang melihat gadis chubby di depannya makan.

Salma kelaparan sejak di sekolah. Padahal dia punya uang untuk beli makan. Cuma kejadian dia dituduh mencuri cukup menyakitkan. Arga menuduhnya tanpa alasan yang jelas. Bahkan bukti juga tidak ada. Arga terlalu mengada-ada.

"Memangnya Kak Langit pikir, Salma makannya seperti apa? Salma suka makanan di sini. Mengingatkan pada masa kecil yang sangat indah." Pandangan menerawang jauh ke masa kecilnya. Dulu Widya sering masak menu seperti ini, tahu bacem, sayur tumis kangkung, atau sayur lodeh dan pasangannya ikan asin. Tak terasa mata Salma berkaca-kaca.

Salma merasa nyaman bersama Langit. Dia seperti sosok kakak laki-laki yang tidak pernah dia punya. Sebagai anak tunggal, dia sangat kesepian. Ditambah lagi masalah yang tidak pernah ada habisnya.

Langit menatap Salma dengan rasa yang sulit dijelaskan. Mungkin hanya kasihan atau empati. Tapi ada sesuatu yang berbeda, seperti magnet yang membuatnya ingin terus mendekati Salma.
Langit menepati janjinya mengantarkan pulang selesai makan. Karena melihat suasana rumah yang sepi, Langit memutuskan langsung pergi.

***

Salma membuka pintu dengan kunci cadangan yang selalu dibawanya. Sepi lagi dan sepi lagi. Padahal hari sudah tergelincir menuju maghrib. Arga belum pulang, begitu juga Widya. Keduanya seperti menganggap Salma tidak ada. Itu yang dia rasakan.

Rumah begini besar, hanya ada Salma sendiri. Asisten rumah tangga tidak ada yang berani bertindak lebih selain hanya melakukan pekerjaan mereka. Padahal Salma berharap dia punya teman ngobrol, meskipun itu asisten rumah tangga. Aargh, lagian apa buruknya mereka, sama-sama manusia dan pekerjaannya halal.

Arga yang membuat sekat tinggi di antara pemilik rumah dan pekerja. Salma tidak suka itu, Widya juga. Lagi-lagi Arga berkuasa, perlawanan atau bantahan, hanya akan berbuah kekerasan. Tidak ada waktu bermalas-malasan bagi Salma. Dia lebih nyaman membersihkan kamarnya sendiri. Dia akan memanggil seseorang untuk membantunya saat ingin mengganti sprei dan sarung bantal. Selain itu dia bisa mengerjakannya sendiri.

"Mbak Salma mau makan sekarang?" Simbok yang bertugas memasak datang menghampiri.

Salma melepas sepatu dan membawa tas sekolahnya ke kamar. Dengan langkah gontai Salma menggeleng sebagai jawaban pertanyaan Simbok.

"Mbok." Salma berbalik.
"Ya, Mbak?"

"Kalau makanan terlalu banyak, tolong dikasihin orang saja, Mbok. Sudah malam, tidak ada yang makan lagi."

Arga dan Widya tidak pernah makan malam kalau sampai rumah sudah terlampau malam. Mereka sudah lelah dan memilih tidur.

Simbok mengangguk lalu beranjak pergi. Jauh di dalam hati Simbok sangat memperhatikan keluarga di rumah ini. Terutama Salma. Dia gadis remaja yang banyak menanggung luka. Baik psikis atau fisiknya. Soal kekerasan yang terjadi, Simbok tidak punya cukup keberanian untuk bertindak jauh.

***

Malam makin larut, mungkin semua orang sudah tidur, Salma masih terjaga dan terus kepikiran soal BPKB kendaraan Arga yang hilang. Benar-benar hilang atau karena lupa menyimpannya. Sepertinya dia harus cari, soal ketemu atau tidak itu persoalan nanti.

Ruang kerja Arga merangkap perpustakaan, tempat buku dan novel kesukaan Widya tersimpan di sana. Jadi siapa saja bisa masuk. Salma mencari perlahan, karena Arga tidak suka barangnya berantakan.

Semua laci, dan tempat tertumpuknya berkas Salma pilah satu persatu. Belum juga ketemu. Dia harus cepat, karena berpacu dengan waktu. Jangan sampai Arga pulang mendapati dirinya sedang menggeledah meja kerjanya.

Matanya tertuju pada file di rak tempat novel Widya tertata. Seharusnya map itu tidak ada di sana. Salma sering mengambil novel dari rak itu. Ditariknya map berwarna merah itu. Ada sesuatu terjatuh dari sana. Benar saja, BPKB yang dicari Arga ada di sana. Benda yang terjatuh itu adalah benda yang Arga cari.

Lalu, apa rencananya sekarang? Kalau dia coba mengkoreksi kesalahan Arga, dia kemungkinan akan celaka. Bukan tidak mungkin Arga tidak suka itu dan bertindak kasar lagi. Tetapi BPKB itu sudah ketemu dan tidak dicuri. Dengan cara apa Salma bisa membuktikan dia tidak bersalah?

Hanya ada satu cara, meletakkan surat berharga itu di laci meja kerja Arga, lalu pergi tanpa mengatakan apa pun. Termasuk kalau dia yang menemukannya. Biarkan Arga menemukan kebenaran surat itu ada, dan dengan sendirinya melupakan masalah itu.

***
Alhamdulillah
Lancar untuk up frame 2.

Bagaimana menurut kalian? Cerita kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Dari ide dan konflik si tokoh. Silakan tinggalkan pesan kesannya, ya.

Dampingi saya terus untuk bantu Salma. Dia harus lebih kuat dari anak remaja seusianya.

Selamat membaca, jangan lupa vote. Makasih.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro