FRAME 04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Andai saja Salma bisa memilih terus berada di sana, dia pasti pilih tinggal. Tetapi kenyataan yang ada Salma harus pulang dan menjalani hari-hari yang mungkin tidak seindah yang orang miliki.

Ananta menyimak bacaan ayat Allah itu hingga akhir. Tiba-tiba orang tersebut berbalik dan menghadap ke arah Ananta.

"Terima kasih sudah ikut menyimak bacaan saya. Kenapa teman perempuan kamu tidak diajak sekalian?"

"Apa? Teman? Oh, itu. Dia malu katanya. Tidak ada sesama perempuan tadi. Jadi nyimak di sebelah." Ananta asal menjawab.

"Oiya, nama saya Langit. Kamu?"

"Saya Ananta. Bacaan Kak Langit keren, loh. Pernah ikutan lomba, gitu?" Rupanya Ananta tertarik dengan sosok pria di depannya ini.

"Enggak. Saya cuma kebetulan pernah tinggal di pesantren. Dan belum pernah ikut lomba apa pun. Waktu saya sudah cukup padat jadwalnya."

"Lain kali ajak Salma juga, ya. Saya harus pamit sekarang." Dengan menyesal Langit memang harus pergi.

Ananta langsung ke teras depan sepeninggal Langit. Di sana Salma tengah menunggu.
"Hei. Dicariin di dalam ternyata udah nongkrong di sini."

Salma masih bergeming. Dia masih tergugu dengan si pemilik suara itu adalah Langit. Orang yang sudah menolongnya tempo hari saat hampir pingsan. Ternyata selama ini dia sudah bertemu orangnya, tetapi Salma tidak pernah berpikir sampai ke sana.

"Sal, diajak ngomong malah melamun." Ananta agak bete juga dikacangin.

"Eh iya, maafin. Aku masih nggak nyangka aja, kalo orangnya itu dia."

"Memang kenapa? Dia jauh di atas kamu umurnya. Nggak ada pantes-pantesnya kamu mimpi bisa dekat sama dia." Ananta terlampau cemburu, nih. Kacau parah, dia malah membuka sendiri tentang rahasia hatinya. Masih bisakah mengelak sekarang? Rasanya tidak mungkin dan dia cukup meminta maaf saja pada Salma.

"Sorry, Sal. Aku keterlaluan." Ananta cepat menyadari kesalahannya. Dan Salma tidak ambil pusing omongan sahabatnya itu. Dia masih fokus memikirkan tentang Langit.

"Nan, makasih untuk bantuan kamu hari ini. Aku sudah tahu orangnya. Itu sudah cukup, jadi kamu nggak usah mikirin macam-macam."

Salma beranjak dari sana. Ananta mengambil motor dan mengantarkan Salma pulang. Seperti biasa Salma selalu melangkah gontai ke rumahnya. Padahal banyak orang akan semangat begitu sampai rumah. Karena lelah beraktivitas seharian.

Itulah hidup, ya. Banyak orang dengan bermacam-macam nasib dan persoalan hidupnya. Ada yang mudah dan juga ada yang sulit untuk diselesaikan. Lalu masalah Salma masuk dalam golongan yang mana? Karena Salma bukan hanya sulit, tetapi juga berat dirasa kalau dia sedang sendiri di kamar menjelang tidur malam.

"Sal, jangan lupa hubungi aku nanti. Seperti biasa, ya?" Ananta selalu berkomunikasi dengan Salma sebelum tidur. Hal itu untuk memastikan Salma baik-baik saja.

"Iya. Aku juga nggak bakalan lupa janjiku, kok. Tenang, nilai kamu di pelajaran Kimia tidak akan merah lagi." Sepertinoerjanjian di awal, Salma akan.memberikan contekan tugas Kimia sebanyak lima nomor.

Ananta senang sekali mendengar itu. Salma malah mengingatkan janji yang tadinya sudah terlupakan.
"Oke. Aku pulang, ya."

***

Rasa penasaran itu sudah berkurang karena Salma sudah tahu Langit yang selama ini mengaji. Ada sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Meskipun dia tahu resikonya sangat besar. Salma akan melewati itu demi salah satu TUJUAN-nya.

Arga kemungkinan besar akan menentang keinginannya. Selama ini Arga selalu menekan Salma untuk menjadi nomor satu dalam ilmu akademik. Bukankah seharusnya semua hal harus ada keseimbangan? Ilmu akademik boleh nomor satu, tetapi akan lebih baik kalau ilmu agama juga sejalan. Lalu mengejar duniawi dengan bekerja juga boleh. Tetapi akan lebih baik juga kalau akhirat juga disiapkan.

Salma tidak bisa mengungkapkan semua ilmu dari guru agama di sekolah kepada Arga. Sangat mungkin setelah itu Salma akan mengalami lebam-lebam di badannya karena kemarahan Arga.

Getaran ponsel di meja belajar menyadarkan Salma. Baru saja dia selesai mengerjakan tugas untuk esok hari. Contekan sudah siap untuk Ananta.

"Iya, Nan. Aku baru mau tidur, nih. Semua oke, aman terkendali. Mereka lagi-lagi belum pulang. Entah apa yang dikerjakan."

"Tumben seorang Salma mengeluh. Biasanya santai saja kalau ortu belum pulang." Ananta merasa memang Salma agak berbeda sejak di masjid tadi. Agak diam, semoga bukan hal yang buruk.

"Bukan mengeluh, Nan. Aku ingin tujuan hidupku itu tercapai sebelum terlambat. Boleh, dong kita mengejar sesuatu. Toh, yang kita tuju arah yang baik." Salma ber-argumen lagi soal hidup dan filosofi.

"Iya, aku tahu. Sekarang rehat, ya. Besok jangan telat. Take care."

"Hmm."

Salma menutup pembicaraan. Sehari tanpa omelan dan rasa sakit di badan membuat Salma bisa lebih rileks dan merasakan kantuk. Kebiasaan buruk yang masih Salma lakukan adalah minum obat tidur. Setiap kali Arga memukulnya, Salma akan susah tidur. Dan hanya obat tidur yang bisa menghilangkan rasa sakit walaupun hanya sementara.

Mata Salma perlahan terpejam. Untung dia masih sempat mengunci pintu kamarnya. Karena sebelum dia sempurna tertidur, mobil Arga sampai. Selang beberapa detik mobil Widya masuk ke garasi. Jangan sampai ada pertengkaran lagi malam ini.

Otak Salma sudah bisa rileks begitu juga badannya. Pintu kamar yang terkunci cukup membantu menahan suara masuk. Tak lama Salma terlelap, dengan senyum tersungging di bibir mungilnya.

Setelah ini Salma akan mengurangi konsumsi obat tidurnya. Untuk ini juga kenapa Salma ingin belajar mengaji. Ada yang pernah mengatakan kalau mengaji bisa membuat badan, otak dan syaraf lebih terjaga kesehatannya. Sekali lagi janji terucap dalam hati, antara sadar dan tidak. Salma tidak akan menyerah dengan mudah.

***
Alhamdulillah
Say berusaha konsisten meskipun di tengah deraan masalah juga di kanan kiri.

Terus semangat update demi kalian pbaca setiaku.

Selamat membaca dan jangan lupa vote dan komentarnya.
Makasih.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro