FRAME 05

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak ada yang sempurna dalam hal apa pun di dunia. Kecuali Dia Yang Maha Sempurna. Begitu juga Salma. Nilai yang selalu menempati tempat tertinggi, tetapi semester ini tidak. Inilah ketidaksempurnaan seorang Salma, sebuah kewajaran kalau kita tidak selalu berada di atas.

Salma tidak terlalu kecewa dengan itu. Tetapi Arga akan marah besar kalau sampai tahu soal ini. Sebenarnya dia hampir terbiasa menghadapi kekasaran Arga yang tak segan memukulnya. Rasa sakit yang dia terima beberapa tahun ini.

"Sal, gimana nilai kamu?" Pertanyaan Ananta mengagetkan Salma. Padahal intonasinya perlahan.

"Nan, jangan ngagetin gitu, dong!"

Ananta mengangkat alisnya, heran. "Ngagetin gimana? Aku nanya juga pelan-pelan, kali. Nggak kenceng, kok." Ananta membela diri.

"Sorry. Aku lagi mikir sesuatu, jadi nggak denger." Salma mengedarkan pandangan di area kantin. Tidak banyak siswa yang berada di sana. Sepertinya aman kalau dia cerita sama Ananta.

"Kamu kenapa, sih?" Ananta membuka botol air mineral yang baru saja dibelinya. Satu botol lagi disodorkan pada Salma. Dilihatnya Salma baru pesan siomay.

"Nan, aku takut sama reaksi Papa kalau dia tahu nilaiku semester ini."

Ananta paham sekarang. Kekhawatiran yang sangat mungkin terjadi mengingat hal itu sering terjadi. Arga sangat terobsesi dengan prestasi sempurna. Ada kekalahan sedikit saja akan memancing emosinya.

"Apa kamu lapor aja, Sal? Hal ini nggak bisa dibiarin terus. Tindakan papamu sudah termasuk kriminal."

Salma menggeleng beberapa kali. Mukanya pucat pasi, jelas dia tidak berani melapor. Karena Widya sendiri tidak pernah setuju soal itu.

Ananta kesal dengan sikap Salma yang selalu seperti ini setiap kali disarankan melapor. Tetapi dengan cepat kesal itu hilang dengan segala pengertian yang muncul setelahnya. Salma hanya perempuan remaja SMA, ada kemungkinan Arga memiliki anak buah atau orang-orang di balik kepolisian, yanga siap membelanya.

Lalu, Salma tidak memiliki apa pun untuk bertahan. Semoga kali ini Widya bisa bergerak cepat. Hanya dia yang bisa melindungi Salma. Jangan sampai hanya niat dan di mulut saja, dia ingin melindungi anak semata wayangnya. Karena selama ini kesibukannya bekerja masih menyita waktunya di rumah.

"Kamu sudah tahu jawabanku, Nan. Aku akan baik-baik saja." Salma berusaha meyakinkan Ananta, juga dirinya sendiri.

***

Plak! Plak!
Dua kali tamparan melayang ke pipi Salma. Perih dan sakit, itu pasti. Tetapi hatinya lebih perih dari itu.

"Sudah Papa bilang, kamu harus menempati tempat pertama. Kenapa sekarang menurun? Kamu sudah punya pacar? Atau sudah berani melawan Papa? Hah!!"

Salma tidak berani menjawab. Dia memilih diam supaya tidak dipukul lagi.
"Ampun, Pa. Salma akan belajar lagi." Salma mengucapkan kalimat dengan suara bergetar.

Arga kali ini tidak semarah sebelumnya, dia mundur. "Bagus. Papa suka itu. Kamu jadi anak penurut. Ya, sudah. Belajar sana."

Tanpa menunggu lagi Salma segera beranjak masuk ke kamar. Dikuncinya kamar dan menangis sepuasnya. Sampai kapan semua ini akan berlangsung? Arga sangat kelewatan, sedangkan Widya tidak berada di sisinya saat dibutuhkan.

***

Salma membuka laci meja belajar, tempat obat tidur tersimpan. Dia mengambil sebutir tablet dan meminumnya.

"Untuk malam ini, ijinkan aku minum obat ini satu butir saja," gumam Salma dengan berderai air mata.

Dengan perasaan campur aduk, perlahan kantuk menghampiri. Salma terlelap dengan pipi merah dan mata sembab. Esok hari dia sudah bisa menebak wajahnya akan seperti apa.

***

Ananta langsung menghampiri Salma begitu dia masuk gerbang. Salma tidak berusaha menutupi wajahnya yang sembab.

"Sal, kamu nggak apa-apa?" tanya Ananta cemas.

"Nan, please! Jangan mengundang perhatian orang dengan ekspresi cemas kamu!" Salma memohon, selaku begitu. Ananta hanya menurut, karena kalau tidak, Salma akan menjauh darinya. Ananta tidak mau itu terjadi.

"Oke, kita ke UKS sebentar. Di sana ada salep buat ngurangi nyeri." Tanpa Salma cerita, Ananta sudah menebak pasti ada bagian tubuh Salma yang terasa sakit.

Salma menurut tanpa protes. Ananta menyodorkan obat oles pereda nyeri, lalu meninggalkan Salma sendiri. Tetapi Salma menahan lengan Ananta.
"Jangan pergi! Temenin aku di sini sebentar."

"Tapi, nanti kalau ...."

"Kali ini cuma di pipi nyerinya. Bukan di bagian lain, kok." Salma menjawab lirih.

Ananta mengangguk dan mengurungkan niatnya untuk pergi. Pintu UKS dibiarkan terbuka lebar karena mereka hanya berdua. Jangan sampai mengundang fitnah.

Ananta tidak banyak bicara. Dia sedih, marah juga kesal. Tetapi tidak banyak yang bisa dia lakukan untuk membantu Salma. Orang yang dicintainya. Suatu saat pasti ada jalan keluar untuk membantu Salma. Entah dari mana dan siapa yang akan menjadi perantara Allah nanti.

***

Di masjid Al Hikmah Salma memohon lebih lama seusai sholat. Sujudnya dibiarkan lama meminta hanya pada-Nya.

"Aku bukan orang baik. Ibadahku tidak sempurna, bahkan mengaji pun aku nggak bisa. Pantaskah aku meminta dari-Mu? Aku hanya ingin Papa sadar akan kesalahannya. Aku ingin Papa jadi penyayang bukan pemarah. Aku ingin jadi penghibur Papa saat lelah. Bukan jadi beban yang membuatnya marah dan kesal. Salahkah MIMPI ini Ya Allah."

Dalam hati Salma mengucap doa dengan derai air mata tanpa suara. Doa itu melesat ke angkasa, menuju pintu-pintu langit. Terhantarkan kepada Sang Penguasa Semesta.

Suara hati Salma hanya dia dan Allah yang tahu. Harapan akan keluarga yang harmonis tanpa kekerasan dan mementingkan ego masing-masing.

***
Alhamdulillah
Update juga malam ini. Jujur agak tersendat menulis genre religi.

Tetapi dengan usaha maksimal, semoga hasilnya tidak mengecewakan.

Salma harus bisa melindungi dirinya sendiri.
Menurut kalian?

Selamat membaca. Terima kasih bagi teman-teman yang sudah mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro