FRAME 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salma masih memakai mukena, dia enggan melepas kenyamanan yang membalut tubuhnya. Pegal sekali punggungnya setelah pelajaran olah raga tadi siang. Tiang penyangga yang letaknya tidak jauh dari tempatnya jadi tempat strategis untuk bersandar.

"Alhamdulillah, nyamannya." Salma memejamkan mata sejenak. Sayup terdengar suara merdu itu lagi. WAKTU terasa lambat dan menyejukkan hati.

"Assalamualaikum," sapa seseorang tepat setelah bacaan itu selesai.

"Waalaikumussalam." Salma menegakkan duduknya.

"Maaf, saya Fatma. Boleh tahu nama Adik?" Salma tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia hanya berhati-hati dengan orang asing yang tiba-tiba ingin berkenalan dengannya.

"Namanya Salma, Fat. Saya berkenalan sama dia beberapa hari lalu." Langit menyela pembicaraan.

Mereka menoleh nyaris bersamaan. Salma tersenyum untuk menyapa Langit.

"Kamu sudah kenal?" tanya Fatma sambil mempersilakan Langit duduk bersama mereka.

Langit mengangguk. "Salma adalah gadis yang aku ceritakan waktu itu."

Salma salah tingkah jadi bahan obrolan. Mendadak udara terasa panas. Mukena yang dipakai tidak terasa nyaman lagi. Tetapi melihat Fatma masih menutup kepalanya, Salma jadi enggan melepas mukenanya. Terselip rasa malu kalau mukenanya dilepas.

"Ooh, gitu. Pantesan. Oiya, Sal, maksud saya menghampiri kamu di sini untuk menawarkan acara mengaji bareng."

"Ngaji? Mau banget, Kak. Tetapi saya sama sekali belum bisa, Kak." Salma tertunduk malu.

"Nggak masalah, Sal. Mengajinya nanti bisa dimulai dari awal, kok. Banyak yang baru mulai belajar."

Salma terdiam. Teringat apa Arga akan mengijinkan dia ikut belajar mengaji. Berhubung nilai akademiknya sedang anjlok semester ini.

Pembicaraan terputus dengan penolakan Salma. Langit sempat bertanya-tanya alasan Salma tidak bersedia gabung. Padahal tadi sempat diberitahu kalau Ananta juga udah masuk kelompok. Salma bukanlah Ananta, dia ada orang tua yang mengajari. Sedangkan Salma tidak. Untuk sementara Salma.mengurungkan niatnya bergabung, walaupun dalam hatinya sangat ingin. Apalagi semenjak mendengar suara Langit, niat ingin belajar itu makin menguat.

***

"Mau belajar apa?" tanya Arga untuk kesekian kalinya.

"Mengaji, Pa." Salma menjawab dengan suara lirih.

"Jangan sekarang. Perbaiki dulu nilai-nilai kamu. Tidak ada bantahan lagi!" Arga meninggalkan Salma sendiri.

Sudah Salma duga, tetapi keputusan Arga tidak bisa diganggu gugat.

Salma berpikir keras bagaimana bisa bergabung di kelasnya Kak Fatma. Lagi-lagi semua harus urusi masalah sendiri-sendiri. Widya sudah beberapa hari pulang malam. Dia seringkali sudah terlelap saat Widya sampai rumah.

Salma mulai merasa Arga lebih terkendali emosinya. Memukul dan mengatakan kata-kata kasar sudah berkurang. Emosi dan mudah marahnya Arga seperti surut dan Salma berharap akan benar-benar terkendali.

***

Ananta menghampiri Salma yang sedang asyik membaca novel di tangannya.

"Sal, kamu beneran nggak ikut kelas mengajinya Kak Fatma? Kelasnya kan selama bulan Ramadan aja, Sal." Ananta berusaha membujuk Salma.

"Nan, kamu tahu sifatnya Arga seperti apa. Aku sudah ijin tetapi dia tidak mengijinkan. Alasannya nilai akademikku harus membaik dulu."

"Tetapi WAKTU belajar kan bisa diatur, Sal. Bahkan mungkin akan diliburkan beberapa hari. Nah, nanti kamu bisa ikut pas hari libur itu. Gimana?" Ananta pantang menyerah.

"Aku belum tahu, Nan. Nanti aku kabari lagi, ya."
Ananta mengangguk tanpa protes dan bujukan lagi. Lebih baik melonggarkan kemauan Salma, dia akan tertekan kalau dipaksa.

"Oke, nanti kasih tahu aku kalau kamu berubah pikiran." Ananta beranjak dari hadapan Salma. Membiarkan Salma berpikir dengan leluasa.

***

"Assalamualaikum."
Salma menerima telepon dari Fatma.

"Iya, maaf, Kak. Saya belum bisa ikut."

"Kenapa, Sal? Apa Kak Fatma bisa membantu? Mungkin bantu membujuk ayahmu supaya diijinkan."

"Jangan, Kak!" Salma langsung mencegah.

"Nanti Salma coba lagi bilang ke Papa, Kak."
Telepon terputus. Salma tidak menyadari saatbitu Arga sudah berada di pintu kamarnya yang ternyata masih terbuka lebar.

Salma terkesiap, Papa mendengar semua. Jujur dia takut. Selama ini Salma tidak pernah buka mulut soal apapun. Melawan di belakangnya juga tidak pernah.

"Sebelum kamu sok tahu dan nantinya sok pinter, pikir-pikir dulu, deh! Jajan aja masih minta, semua keperluan juga Papa yang ngasih," kata Arga dengan nada sombong. Dia tersinggung dengan memberi kesempatan pada keinginannya belajar mengaji.

Salma tersenggol harga dirinya, tapi semua yang ayahnya katakan, itu benar. Dia benci kenyataan itu, sesal menohok perasaannya, harusnya dia bisa jadi lebih mandiri. Bukannya jadi anak manja.

Tanpa pikir panjang, Salma berlari keluar. Kesal, sesal, sedih, bercampur menjadi marah. Semua yang disimpannya meledak sekarang. Salma merasa tidak berguna, tidak bisa apa-apa.

Salma  masih terus berjalan dengan sandal dan baju seadanya. Beruntung pakaiannya serba panjang, karena udaranya dingin sekali. Badannya terasa kebas, yang di otaknya hanya pergi jauh dari rumah.

Sampai di depan taman, seseorang mencekal lengannya.
"Lepasin! Salma nggak mau pulang." Salma meronta tanpa melihat siapa yang menahan lengannya.

"Salma, ini Ananta."

Salma mendongak, matanya berkabut karena air mata, tapi badan dan aroma parfum ini menandakan dia adalah Ananta. Dia menangis tak tertahankan. Ananta hanya terpaku di samping Salma.

Apa yang harus dia lakukan sekarang? Salma sangat terpuruk. Bahkan kondisinya bingung tidak tahu harus ke mana.

***
Tidak ada yang mulus dalam meraih setiap keinginan dalam hidup. Benar, kan?

Hhh, kenapa saya jadi sok bijak, ya. Padahal tokohnya usia belasan.

Salma memang harus bisa dewasa dan lebih mandiri demi dirinya sendiri.

Menurut kalian?

Selamat membaca. Jumpa.lagi di next frame.
Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro