09 Trio

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sayang, ayo cepat bangun. Sudah jam 7 pagi loh."

Mama Elin tengah membangunkan anak semata wayangnya. Tubuh anak berjenis kelamin laki-laki terus digoyangkan.

"Huh! Susah benar sih Son kamu dibangunin," ujar Mama Elin.

Sebuah ide terlintas di otak. Mama Elin pergi menuju ke pintu yang berada di kamar.

Kenop pintu di buka, lalu Mama Elin membawa satu buah gayung berbentuk hati. Mama Elin mendekati sang Anak yang masih tertidur lelap di balik selimut bergambar Doraemon.

"Soni, kamu mau bangun atau Mama siram pakai air," ucap Mama Elin.

Tak ada jawaban. Suara dengkuran halus malah terdengar di balik selimut.

"Astaga. Memang benar nih anak Mama satu ini masih kaya bayi."

Mama Elin menarik selimut Doraemon paksa. Satu cipratan, dua sampai tiga cipratan air sudah disiram tepat di muka sang Anak.

Byurr!!

"Huahh! Tolong ada banjir!"

Pemuda bertubuh kurus itu langsung terbangun paksa. Kehebohan terjadi di dalam kamar.

"Hahaha... ada-ada saja sih kamu di kamar mana ada banjir," ledek Mama Elin.

Pemuda itu sepenuhnya tersadar. Ia melirik ke sebelah kanan, di sana sudah ada sang Mama tercinta berdiri sambil membawa satu gayung.

"Ayo cepat kamu mandi atau mau Mama siram lagi!" ancam Mama Elin.

"Iya Ma. Ini Soni mau mandi!"

Zweitson Thegar atau biasa di panggil Soni langsung beranjak dari kasur empuknya. Ia menyambar handuk putih di dekat pintu kamar mandi.

Suara pintu tertutup menjadi awal Zweitson kesiangan. Mama Elin geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang Anak.

Di sekolah negeri...

Motor bebek Zweitson terhenti di depan pagar sekolah. Zweitson memarkirkan motor di pinggir. Ia pun turun dari motor menuju pagar yang menjulang tinggi.

"Pak Anton, bukain pagar ya dong," ucap Zweitson polos.

Tidak ada balasan. Zweitson mengintip dari sela-sela pagar. Kantor satpam kosong tidak ada siapapun.

"Huh! Masa Soni harus panjat nih pagar. Mana tinggi lagi melebih Fiki." keluhnya menatap polos ujung pagar.

Bibir Zweitson sudah merucut ke depan seperti Bebek. Ia menggaruk pipi kiri yang tak gatal.

"Ini semua gara-gara Aji sama Fiki ajakin Soni video call sampai jam dua pagi. Soni jadi telat kan!"

Zweitson menghentakkan kaki kesal. Ia memilih duduk di atas motor sampai gerbang sekolah terbuka.

Di dalam kelas...

Seorang remaja lelaki bertubuh bongsor melirik ke arah pintu kelas. Ia seperti menunggu keberadaan sahabat bayi ya.

"Ih! Kemana sih tuh bayi satu. Jam segini belum datang juga."

"Tau tuh si bayi. Jangan-jangan dia telat lagi," sahut remaja bergigi kelinci.

Fiki dan Fajri, teman sekelas sekaligus sahabat Zweitson di sekolah. Mereka kemana-kemana selalu bertiga di area sekolah bagai perangko dan surat.

"Ji, coba lo intip keluar." Fiki menyuruh Fajri, sedangkan dirinya asyik memakan ciki.

"Yee... enak benar anda. Nanti kalau Aji kena omel Fiki harus tanggung jawab ya," ujar Fajri menatap kesal sahabatnya itu.

Fiki hanya menyengir lebar. Ciki rasa bawang sudah habis tak tersisa.

"Yah, habis lagi ciki ya," keluh Fiki.

"Astaga Fiki. Aji lagi ajak bicara juga malah pikirin ciki," kesal Fajri melempar pulpen ke arah Fiki.

Plak!

Fiki mengelus kepala yang terkena pulpen. Ia menatap tajam Fajri seakan ingin memakan.

"Apa lo lihat-lihat Aji?!" Fajri sewot.

"Bodo ah. Fiki fix marah sama Aji." Fiki membuang muka ke kiri.

Fajri tak merasa bersalah. "Hahaha... terus Aji harus bilang wow gitu sambil kayang," ledeknya.

Bibir Fiki semakin maju cemberut. "Aku aduin Aji ke Bang Shandy baru tahu rasa."

"Nyeyeye... Aji tinggal bilangin ke Bang Iky," balas Fajri menjulurkan lidah.

Dan mereka saling meledek satu sama lain melupakan sosok Zweitson yang belum datang.

.....RZ.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro