26 Foto

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ricky resah. Sejak tadi malam ia tak mendapatkan pesan dari Ana. Puluhan panggilan dan chat tak ada satupun terbalas bahkan dibaca.

"Ana... kamu kemana sih?" tanya Ricky khawatir.

Pria berbadan kekar itu berjalan ke sana ke sini. Sungguh Ricky sangat khawatir sejak Ana tak mengangkat telepon ya malam kemarin. Padahal dia dan Ana baik-baik saja sampai mengantar di rumah.

"Na... kenapa kamu tiba-tiba menghilang begini?" Ricky frustasi.

Ricky mengacak-acak rambutnya kasar. Ingin rasanya ia langsung ke rumah Ana, tetapi pagi sampai sore nanti ada jam kuliah yang tak bisa ditinggalkan begitu saja.

"Arghh!!"

Ricky berteriak histeris. Ia melempar I Phone 13 kencang ke sembarang arah. Nasip I Phone 13 itu selamat karena mendarat di atas kasur empuk.

Ricky terduduk lemas. Ia butuh sebuah ketenangan saat ini.

Tak sengaja Ricky melirik ke sebuah bingkai foto di atas meja nakas. Sebuah foto berisikan empat orang, dua laki-laki dan dua perempuan.

"Gue jadi kangen kalian," ujar Ricky lirih.

Ricky mengambil bingkai foto tersebut. Ia memperhatikan setiap wajah di dalam foto.

"Farhan... Yani..." Ucapan Ricky terhenti di gambar seorang Perempuan persis di sebelah kiri Farhan.

"Aku rindu dengan kamu. Setelah kesalahan dulu yang pernah kuperbuat. Semua hubungan persahabatan kita ini menjadi hancur berantakan. Andai aku nggak memiliki perasaan sama kamu, mungkin kita masih sahabatan sampai sekarang."

Air mata Ricky terjatuh membasuhi kedua pipi. Ricky segera menghapus air mata kasar. Percuma ia bersedih, persahabatan itu takkan terulang kembali.

Dan Ricky fokus pada wajah Yani. Ia merasa bahwa wajah Yani mirip dengan seseorang.

"Ah nggak mungkin! Ana sama Yani itu nggak mirip!" sanggah Ricky cepat.
.
.
.
.

Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Ricky menatap pintu itu kesal. Ia pun dengan perasaan tak karuan berjalan membuka pintu.

Brakk!!

Wajah tampan Ricky terkena hantaman keras pintu yang terbuka tiba-tiba. Kepala pusing dan mata berkunang-kunang. Ricky pun pingsan di tempat.

"Woii Rick! Ngapain sih masih pagi teriak-teriak kaya Tarzan di hutan bae!"

Ternyata sang pelaku utama adalah Gilang. Kamar Gilang tepat di samping kanan kamar Ricky.

Penampilan Gilang sungguh berantakan. Rambut yang tak jelas bentuknya, mata masih menyipit dan ada jejak iler di sekitar bibir serta dagu.

"Rick! Gue lagi bicara sama lo woi!" Gilang masih tersadar sepenuhnya.

Saat Gilang berjalan masuk ke dalam. Kaki kiri tak sengaja menendang tubuh Ricky.

"Eh buset! Si bocah malah tidur di lantai." Gilang kaget.

Gilang berjongkok. Ia berusaha membangunkan Ricky yang tak kunjung sadar. Ia tidak tahu bahwa Ricky sedang pingsan akibat ulahnya sendiri.

"Rick... eh kok nggak bangun-bangun sih. Masih ada napas kok."

Pria pemilik senyum termanis mengalahkan gula panik. Gilang mencoba memindahkan tubuh besar Ricky ke atas kasur, tetapi ia tak memiliki kekuatan penuh akibat masih setengah ngantuk.

"Rick... badan lo berat banget sih kaya Gorila apa banyak dosa ya," gerutu Gilang.

Setelah perjuangan yang memakan waktu selama limabelas menit. Tubuh Ricky sudah berpindah di atas kasur miliknya.

Gilang memperhatikan bahwa muka Ricky sedikit biru. Ia pun berinisiatif untuk mengompresnya. Dengan kecepatan kilat, Gilang sudah menyiapkan semua perlengkapan.

"Ky, lo nggak habis berantem kan sama siapapun? Kalau memang ada sini gue balas tuh orang sampai babak belur."

Gilang dengan telaten mengompres muka Ricky menggunakan handuk basah. Ia cukup perihatin dengan kondisi Ricky saat ini.

"Sepertinya ada yang disembunyikan dari Ricky. Gue harus cari tahu dan sebisa mungkin membantu sepupu gue ini." batin Gilang peduli.

Tatapan Gilang tak sengaja melirik ke sebuah pesan masuk WhatsApp di layar I Phone 13 milik Ricky. Sebuah nama bertuliskan 'Yani Bestfriend'.

Gilang bingung. Ia harus membuka atau pura-pura tak tahu dengan pesan masuk tersebut. Belasan notif muncul dari orang yang sama.

"Gilang harus tenang. Ini demi kebaikan Ricky, sepupu lo sendiri."

Dan Gilang memilih untuk membuka pesan itu. Siapa tahu ia mendapatkan sebuah petunjuk. Gilang tak perlu susah membuka layar ponsel tersebut hanya dengan menggunakan jari telunjuk Ricky sebagai sidik jari dan terbukalah.

"Lah kok?!"
.
.
.
.

Rumah sakit...

Farhan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap biasa kelas 1. Sebetulnya Farhan belum diperbolehkan pulang, tetapi ia sendiri memaksa untuk tak mau di rawat.

"Bang Han sebenarnya sakit apa sih? Aji sebagai Adik kandung Bang Farhan merasa menjadi bukan siapa-siapa."

Fajri berkata melihat kondisi sang Abang. Ia dan Farhan seperti buan seperti Adik Kakak. Apalagi sejak kejadian dua tahun lalu yang menimpa Farhan sampai dikonsultasikan ke dokter psikolog.

"Bang, ayo cepat sembuh ya. Nanti kita main-main lagi kaya dulu. Aji kangen sama perhatian dan kaget ya Abang sumpah," ucap Fajri mulai terisak. Ia sampai menunjukkan jari telunjuk dan tengah.

Di balik pintu ruang Farhan di rawat. Seorang Wanita melihat sejak tak sengaja ia melihat Farhan dipindahkan di sini.

"Han... kenapa lo jadi gini? Gue kangen sama lo dan lainnya.

Semoga cepat sembuh ya."

Dan Wanita itu langsung pergi. Ia juga menghapus paksa air mata yang sudah terbendung.

.....RZ.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro