Bab 17. Salah Ucap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*Selamat membaca, semoga bermanfaat untuk kita semua.*

*Ambillah yang baik, buang yang buruk.*

*Jangan lupa krisarnya.*

redaksisalam_ped
trinaya_123

***

Bulan Ramadan merupakan momen yang sangat penting bagi umat Islam dunia, termasuk Indonesia. Memasuki Bulan Ramadan, terdapat beragam tradisi dan kegiatan unik yang sudah dilakukan secara turun-temurun di Tanah Air tercinta.

Alhamdulillah, sahur lagi. Seperti biasa setiap santap sahur, aku menonton televisi. Salah satu acara yang aku tunggu adalah Safari Ramadan, kali ini mengupas tradisi bulan Ramadan di Kota Medan.

Banyak kegiatan menarik yang dilakukan oleh warga setempat demi menyambut Bulan Ramadhan, salah satunya 'Asmara Subuh'. Kegiatan ini merupakan tradisi yang sangat populer dan berlangsung setiap tahun.

Masyarakat akan berkumpul dan melakukan banyak kegiatan. Ada yang memilih untuk jalan santai, ada yang menikmati suasana dengan bersepeda, dan ada juga yang memilih mengelilingi dengan mengendarai motor. Biasanya 'Asmara Subuh' ini ramai pada Hari Minggu di Bulan Ramadan.

Pada Hari Minggu pagi, biasanya jalan menuju pusat kota dengan kendaraan. Hal itu dikarenakan, adanya aktifitas seperti kerja dan ada yang bersekolah maupun hal lainnya di hari Senin hingga Sabtu.

Asmara Subuh ini biasanya dijadikan sebagai momen berkumpul bersama orang-orang terdekat. Meski kegiatan ini banyak dilakukan oleh muda mudi untuk berjalan-jalan dengan pasangan, akan tetapi tidak sedikit juga kegiatan ini dilakukan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Banyak masyarakat yang melakukan kegiatan ini sekedar untuk menghabiskan waktu bersama orang-orang tersayang, mulai dari jalan sehat bersama hingga bersepeda. Tradisi jalan-jalan usai santap sahur ini kerap dijadikan sebagai ajang mencari jodoh, oleh insan yang sedang di mabuk cinta.

Wah, sama seperti di Cilacap setiap Minggu pagi ramai orang jalan-jalan, gumanku.

Adzan subuh berkumandang, diri beranjak menuju masjid untuk salat berjamaah. Selesai salat, Wati, Puput dan anak-anak lain yang ikut di grup rebana memintaku untuk ikut mereka jalan-jalan pagi. Aku pun menyetujui permintaan mereka.

Tanpa diri sadari, ternyata ada Mas Agus dan Mas Rafiq di antara mereka. Kami berjalan beriringan menuju pantai Kalimantan. Aku yang sedari tadi menahan gejolak di dada, denyut nadi yang tak beraturan karena ada dia yang ku sayangi.

"De, kenapa?" tanya Mas Agus.

"Gak, jalan aja terus."

Suasana pantai yang ramai, ditambah banyaknya yang bermain petasan membuat diri yang penakut ini ketar-ketir. Bagaimana jika tiba-tiba nangis atau kejang di pantai karena tidak siap dengan suara dentuman petasan. Keringat dingin mengucur deras di wajah.

"De, kamu seperti orang sakit," ucap Mas Agus yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.

"Mbak Ningsih, takut petasan Mas." sahut Wati.

Wajahku berubah bagai kepiting rebus, aduh. Kenapa Wati mengatakan di sini, banyak orang yang dengar termasuk Mas Agus, gerutuku.

"Oh, dari tadi diam karena takut petasan. Tenang saja De, kan ada Mas." timpal Mas Agus.

Aku yang merasa malu pergi meninggalkan Mas Agus yang duduk di pinggir pantai, bergabung dengan anak-anak yang lain untuk menikmati deburan air laut. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, jam di gawai sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, saatnya membubarkan diri dari keramaian pantai.

Gawai berbunyi, Narsih mengirimkan pesan singkat. Dia minta pendapat foto untuk di ijazah dan untuk mendaftarkan kerja di salah satu perusahaan.

[Mbak Ningsih, foto untuk di ijazah yang pakai jilbab atau enggak?]

[Pakai yang kelihatan telinganya.]

[Tapi aku mau pakai foto yang pakai jilbab.]

[Boleh, tapi saranku pakai yang kelihatan telinganya.]

[Aku mau yang pakai jilbab saja.]

[Di akun media sosial berani nampang gak pakai jilbab, buat foto di ijazah masa gak mau.]

Waduh, aku salah ucap gak ya. Sepertinya dia marah. Beberapa jam kemudian, banyak pesan masuk dari Dewi dan Tika, teman satu kelas Narsih di Kampus. Mereka, membela Narsih.

[Mbak Ningsih, tidak boleh begitu. Narsih benar, soal foto di akun media sosial biarkan saja itu hak dia. Mbak Ningsih, tidak punya hak menghakimi orang lain.]

[Kayak Mbak Ningsih, sudah benar saja, berani ngomong begitu. Ngaca dong. Pikir dulu sebelum nulis.]

pesan dari Dewi, serangan kata-kata kasar pun bermunculan. Aku munafik lah, tidak mengaca pada diri sendiri dan kata-kata kasar lainnya.  Hari itu membuatku sedih, aku tersadar kata-kata yang aku tulis melukai hati Narsih.

Malam berhias rembulan malam dan bintang, akan tetapi diriku pilu sedan. Walaupun ada sang pujaan hati yang menemani malam ini. Seperti malam kemarin, latihan rebana berlangsung lancar. Setelah latihan, aku bercerita kepada Mas Agus dan Mas Rafiq apa yang terjadi tadi siang.

Mereka berdua, memintaku meminta maaf kepada Narsih, atas apa yang aku ucapkan kepadanya. Mereka berdua mengusulkan agar aku besok pagi datang ke rumah Narsih, supaya masalah tidak berlarut-larut.

Keesokan paginya, aku ditemani dua laki-laki berkoko mendatangi rumah Narsih. Sesampainya di rumah Narsih, aku mengenalkan Mas Agus dan Mas Rafiq ke Narsih. Kami berempat pun bercakap-cakap untuk saling mengakrabkan diri.

"Narsih, aku minta maaf ya. Jika kata-kata yang keluar dari tanganku menyakiti hatimu." ucapku.

"Iya, Mbak. Aku juga minta maaf."

Suasana tambah ramai,  dengan bergabungnya kakak Narsih dan Ibunya ikut berbincang dengan kami. Beberapa menit kemudian, tersisa lah Narsih, Mas Rafiq dan kakak Narsih serius berbincang.

"Waduh, aku di cuekin. Bagai obat nyamuk," celetukku.

"Iya, De. Yuk kita keluar saja, sepertinya sedang ada rapat keluarga." sahut Mas Agus.

"Iya, sepertinya ada yang mau langsung lamaran." balasku.

"Ya, ada api asmara di sini." jawab Mas Agus sembari dia keluar dari rumah.

"Sudah, sini gabung jadi satu. Nanti kalian berdua yang asyik sendiri di luar, bahaya!" timpal Mas Rafiq.

Kami pun akhirnya berbincang-bincang bersama, tanpa Mas Agus, karena dirinya pergi menaiki sepeda motor. Aku, Narsih dan Mas Rafiq menceritakan tentang pribadi masing-masing, supaya lebih akrab. Narsih sepertinya sudah tidak marah lagi karena raut wajahnya selalu dihiasi senyuman.

"Mbak Ningsih, ini Tika kasih informasi. Bahwa di perusahaan yang akan dijadikan tempat praktek kerja mengharuskan melampirkan foto terlihat telinganya."

"Sudah, cari saja tempat praktek yang bisa menggunakan foto berjilbab." ucapku.

"Betul, cari tempat yang baru" timpal Mas Rafiq, "Cari yang tidak banyak syarat juga." imbuhnya.

"Iya, seperti cintaku padamu De, tanpa syarat." celetuk Mas Agus sembari memberiku sebuah boneka.

"Oh, jadi tadi pergi keluar cari boneka." sahut Mas Rafiq.

"He...he... Bagaimana De, kau terima cintaku atau tidak? Jika kau terima peluk daku, eh peluk boneka itu, jika kau tolak buang saja boneka itu." pinta Mas Agus.

Mas Rafiq pun tak mau kalah, dia mengambil sesuatu dari sepeda motornya. Lalu melakukan hal yang sama, di depan Narsih. Aku dan Narsih saling pandang, kami berdua saling kasih kode. Hendak langsung jawab atau mau diuji dulu dua laki-laki yang ada dihadapan. Aku dan Narsih menerima hadiah dari mereka berdua. Tak terasa, sudah hampir dua jam di rumah Narsih. Kami pun izin undur diri, karena sudah melewati batas waktu izin keluar ke pihak Pondok Pesantren Raudhatul Quran.


Selepas ashar, seperti biasa tugasku membungkus takjil untuk anak-anak berbuka puasa. Tanpa aku sadari, ada dua pasang mata yang mengawasi gerak-gerikku.

"Aduh, seriusnya," suara Mas Agus yang sudah duduk di sampingku.

"Biasa itu Mas Agus, kalau sudah asyik begitu. Apalagi sambil main gawai, Ibu lewat lima kali juga tidak tahu." timpal Ibu.

"He...he...he," aku hanya bisa tersenyum.

"Sini gawainya," Mas Agus, mengambil gawai di sampingku.

Aku tak mau berdebat dengannya, aku lanjutkan saja pekerjaan yang sedari tadi di hadapanku. Sayup-sayup kudengar Ibu dan Mas Agus berbincang-bincang, entah apa yang sedang Ibu dan Mas Agus bicarakan. Suara Wati dan Puput yang nyaring, sedang merengek meminta Mas Agus mengajar mengaji lagi.

"Cie... Ada yang punya fans baru," ledekku. Aku tak melanjutkan ucapanku, takut salah ucap lagi. Ujung-ujungnya aku yang kena.


Adzan Maghrib berkumandang, selepas salat barulah gawai dikembalikan olehnya. Ada yang membuatku tersenyum melihat layar gawai. Dia mengubah foto sampulnya menjadi foto kami berdua sewaktu di rumah Narsih tadi. Ternyata ada yang diam-diam mencuri foto tadi pagi, batinku.



*Apakah Mas Agus akan ikut bergabung di grup rebana saat mengisi acara di Pendopo kabupaten Cilacap?*

*Akankah sukses acara di Pendopo Kabupaten Cilacap?*




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro