Bab 19. Kangen Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*selamat membaca, semoga bermanfaat untuk kita semua.*

*Jangan lupa krisarnya*

redaksisalam_ped trinaya_123

Sahur… sahur … sahur…. 

Sahur… sahur… sahur

Suara dari masjid membangunkan diri, siapa yang di masjid. Sudah lama tidak ada yang tidur di masjid, aku perhatikan baik-baik suara yang sedang bertadarus, seperti suara Mas Agus, tapi bukannya semalam pulang ke Pondok bersama Pak Kiai. 

Langkah kaki terhenti, tatkala melihat di meja ruang tamu banyak makanan. Piring tersusun rapi, siapa yang mau sahur di ruang tamu. Aku berlalu, menuju kamar mandi, cuci muka dan kembali ke depan. 

"Sini, sahur bareng," suara Mas Agus. 

"Lah, serius ini! Aku tidak mimpi kan?" aku masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Iya, De mau pakai lauk apa? Mas siapkan?" 

Aku yang masih mematung, memutuskan untuk mengambil sendiri menu santap sahurnya. Kami pun santap sahur bersama bagai keluarga besar. Seusai sahur, Mas Agus dan Mas Rafiq mengutarakan bahwa mereka akan kembali ke Purworejo Kamis pagi. 

Aku yang sedari tadi pegang gawai, langsung memberikan informasi kepada Narsih. Bahwa mereka berdua anak pulang besok pagi. Ternyata, Narsih sudah tahu, Mas Rafiq kemarin siang sudah ke rumahnya, sudah pamitan secara langsung. Berarti hanya aku yang baru tahu sekarang, mereka berdua kompak benar. 

[Mbak Ningsih, sore aku main ya. Tapi jangan bilang ke mereka.]

[Siap.]

Selepas subuh, aku duduk di teras menyendiri. Membaca buku yang beberapa waktu lalu ku beli, sebenarnya tadi di ajak dia jalan-jalan , tapi aku memilih di rumah. Rasa kesal masih terpahat di hati. Walaupun, ada rasa gembira karena kejutan tadi.

Dooor...

Aku berlalu pergi, meninggalkan Mas Agus. Aku yang lagi sedikit sensitif, tidak mau menambah dosa lagi karena marah.

"De," suaranya terdengar memanggilku dari teras rumah.

Aku bersembunyi di balik pintu, buka tidak ya, pikirku. Tapi, apa aku bisa menutupi rasa sedih karena dia mau pulang ke Purworejo besok. Rasa yang bercampur aduk di hati. Suara gawai mengagetkanku, diri menyingkir dari belakang pintu dan duduk di kursi, membalas pesan yang terpampang di layar.

Suara merdu itu mengalihkan duniaku, suara yang membuatku jatuh cinta kepadanya dan meluluhlantakkan emosi dalam jiwa saat mendengarkan suara itu. Sayup-sayup  suara Mas Agus yang mengaji di luar rumah, melantunkan surah Ar-Rahman. Surah dalam Al Quran yang paling aku sukai, dan paling sering ku minta dirinya melantunkan saat menelponku dulu.

"Nah, keluar gitu. Jangan ngambek mulu." ucap Mas Rafiq yang ternyata ada di sebelahnya.

"Sudah, jangan diledek nanti aku dicuekin lagi," sahut Mas Agus, "kamu kenapa De?" tanyanya.

"Emm… gak ada apa-apa." jawabku, sebisa mungkin menutupi apa yang kurasakan.

"Gak nangis kan? Mas mau pulang?"

"Nggak, Mas. Beneran deh." Ku acungkan dua jari ke arahnya.

Sekitar jam delapan, datang semua anak yang ada di grup rebana, baik yang anak-anak maupun dari santri Pondok Pesantren  seberang jalan. "Emang mau latihan lagi?" tanyaku.

"Iya, sayang," jawab Mas Agus.

"Yah, ada yang keceplosan manggil sayang. Asyik, aku jadi ditraktir buka puasa nanti." timpal Mas Rafiq sambil joget-joget kegirangan.

"Astaghfirullah, bangkrut aku." hela Mas Agus, sembari menepuk jidatnya.

"Ha...ha...ha… ups," segera kututup mulut, pergi meninggalkan mereka, lalu bergabung dengan anak-anak.

Suasana latihan sedikit berbeda, karena ada perubahan formasi personil grup hadroh terkhusus bagian penabuh rebana. Bagian vokal pun sedikit berubah, aku tak boleh ikut kayaknya jadi penonton saja nanti malam.

Dalam hati sedikit kecewa karena tidak bisa mendampingi dia bersenandung. Akan tetapi, ada kelegaan sendiri, otomatis aku bebas tugas nanti malam. Alhamdulillah, batinku.

Sore harinya, setelah mengaji. Sepertinya ada yang beda. Tidak ada hafalan doa-doa ataupun suratan pendek, aku fokus mendengarkan suara dari arah masjid. Mereka sedang latihan tilawatil, sembari fokus mendengarkan mereka berlatih, diri menanti kedatangan Narsih yang  tiba-tiba mengabarkan datang menjelang adzan magrib karena dirinya kuliah.

Akhirnya yang ditunggu datang juga, kami pun berbincang di teras rumah.

"Narsih, duduk di dalam saja yuk. Nanti ada yang gak konsentrasi mengajar ngaji." bisikku.

"Yuk,"

Aku dan Narsih, duduk di lantai dan membungkus takjil lagi karena ada baru datang. Bongkar lagi takjil yang sudah dikemas rapi, memasukkan menu yang baru datang.

"Narsih, kamu jadi mau memberikan hadiah untuk Masmu?"

"Iya, jadi Mbak. Mbak Ningsih, bagaimana?"

"Siap juga,"

"Apanya yang siap?"

"Astaghfirullah, Mas Agus mengagetkan saja." tinjuan mendarat di lengannya.

"Eh, ada Narsih. Datang kapan?" tanyanya, "aku panggilkan Rafiq ya?" lanjutnya lagi, sebelum dia berlalu, "maaf ya De," bisiknya lirih di dekat telingaku. Narsih yang melihat tingkah kami berdua, hanya tersenyum.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam,"

"Wah, adekku di sini. Alhamdulillah, aku tidak iri lagi sama mereka," ucap Mas Rafiq sembari menunjuk diriku dan Mas Agus.

"Sudah jangan bicara terus, bantu buat minum apa bungkus takjil sana," timpal Bapak yang sedari tadi mengawasi gerak-gerik kami berempat.

"Kawus domaih (Sukur di omelin),"

Seusai berbuka puasa bersama, Narsih sudah siap-siap pulang. Akan tetapi, tidak diperbolehkan oleh sang kekasih. Mas Rafiq dengan berani menelepon Kakak Narsih, meminta izin agar Narsih dapat melihatnya pentas di Pendopo nanti malam.

Namun, sayang sungguh sayang. Dia harus kecewa karena tak mendapatkan izin dari calon Kakak ipar, dengan berat hati Mas Rafiq pun mengantar Narsih pulang ke rumahnya.

Malam pun tiba, rembulan malam bersinar terang. Alhamdulillah, cuaca hari ini mendukung semoga tak berubah menjadi rinai hujan secara tiba-tiba. Bus penjemput sudah sampai sedari tadi. Aku yang duduk di dalam rumah bimbang ikut atau tidak. Apalagi nanti di sana aku tidak ada tugas, tapi anak-anak memintaku ikut.

Gawai bergetar, tanda ada pesan masuk.

[De, jadi ikut gak?]

[Jadi]

[Harus ikut kamu, kamu kan penyemangat hidupku.]

[Alah, merayu]

[Serius, De. Oya, bawa buku salawat yang ada di kamar De.]

[Di kamar?]

[Iya, tadi sore. Mas ijin ke Ibu, untuk menaruh buku di kamar Adek.]

[Buku yang mana?]

[Buku yang sampulnya warna hijau, judulnya Evergreen Qasidah karya H. Abdullah Zaini Dahlan Asnawi.]

[Oh, ya ya tahu.]

Aku pun segera meluncur ke jalan raya. Rupanya sudah siap semua, mungkin tinggal menungguku yang sedari tadi belum siap.

"Nah, yang ditunggu datang juga, nanti ada yang gundah gulana." sambut Mas Rafiq saat diriku menginjakkan kaki ke atas Bus. Segera ku ambil tempat duduk, di samping Wati.

Sesampainya di Pendopo Kabupaten Cilacap, kami di persilahkan untuk bersiap-siap. Salah satu petugas yang bertugas menjadi protokoler memberikan informasi seputar kegiatan malam ini. Aku baru tahu, kenapa santri dari Pondok Pesantren Raudhatul Quran ikut, ternyata mereka sebagai peserta lomba Hadroh malam ini. Sedangkan santri masjid Al Muchlis sebagai tamu undangan.

"Shollu 'ala sayyidina Muhammad,"

"Shollu 'alaih,"

Mas Agus, mulai melantunkan lagu salawat satu per satu sesuai apa yang sudah ditentukan bersama anak-anak Hadroh. Setelah selesai, berganti anak-anak santri Pondok Pesantren Raudhatul Quran ambil bagian, menyanyikan lima lagu salawat dan qasidah yang begitu familiar bagiku.

Tiga di antaranya lagu paling kusuka, jadi ingat kaset pita di rumah sampai putus karena terlilit di dalam tape recorder. Alhamdulillah, selesai juga acara malam itu. Acara dilanjutkan sambutan perwakilan Bupati Cilacap, dan makan bersama beberapa pegawai Kabupaten Cilacap.

"Ningsih, cuma Agus yang diambilkan nasi, aku mana?" ucap Mas Rafiq.

"Sabar, nanti juga kebagian," jawabku lirih, batinku tuh orang tidak lihat situasi dan kondisi saja.

Setelah semua personil mendapatkan piring yang berisi makanan, aku memilih duduk di samping Puput. Aku, Wati, Puput dan dua santriwati laini makan bersama dalam satu penampan.

"De, kamu gak makan bareng aku saja." tiba-tiba Mas Agus sudah duduk di sampingku.

Aku yang sedang mengunyah makanan, tersedak.

"Mas Agus, buat Mbak Ningsih batuk tuh. Sana ambilkan minum," protes Wati.

"Sekalian es juga ya Mas, buat aku." timpal Puput.

Aku hanya bisa menahan tawa, mau saja dia dikerjai anak kecil. Setelah jamuan makan malam, acara yang digelar malam itu pun usai.

Keesokan paginya, selepas subuh aku meminta Mas Agus ke rumah dahulu sebelum berangkat ke Purworejo. Aku berikan sedikit bingkisan untuknya, dan memintanya membuka saat sampai di rumah.

Hari Kamis, hati teriris. Kekasih hati sudah pergi, dapatkan diri menahan rindu dalam dada. Sampai dia kembali menemui ku lagi. Dapatkah aku dan dia menjalani cinta jarak jauh, akankah cinta ini bertahan sampai Sang Kuasa menyatukan dua insan yang di mabuk cinta dalam bingkai mahligai rumah tangga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro