Bab 20. Lulus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*selamat membaca*

*Semoga bermanfaat untuk kita semua*

*Masih tahap belajar merangkai aksara.*

redaksisalam_ped
trinaya_123


Hari berlalu begitu cepat, bulan pun sudah berganti. Hanya bisa memandang wajahnya dari foto yang dia berikan dulu. Setiap hari pasti saling kasih kabar satu dengan yang lainnya, entah menelepon maupun hanya lewat pesan singkat. 


Setiap hari aku dan Narsih saling berkabar melalui gawai, jika tak sibuk aku atau dia yang main ke rumah. Bercerita tentang kisah cinta masing-masing dengan kang santri. 


September tahun 2011


Aku dan Narsih berencana untuk mengikuti tes CPNS di Kabupaten Cilacap. Kami berdua pun mempersiapkan segala sesuatunya bersama. 

Suatu hari, aku dan Narsih berencana untuk ke kantor Pos untuk melengkapi persyaratan untuk mendaftar tes CPNS. Sebelum berangkat, aku dan Narsih memberikan kabar kepada Mas Agus dan Mas Rafiq, jika kami akan ke Kota. 

[Aku dan Narsih, akan pergi ke Kota.]

[Iya, hati-hati De]

Sekitar jam delapan pagi, kami berdua bertolak ke Kantor Pos. Naik angkutan kota jurusan damalang, supaya tidak menyeberang nanti. 

"Mbak Ningsih, kok motor itu sepertinya mengikuti kita." tunjuk Narsih ke motor belakang. 

"Mungkin, tapi bisa jadi sama-sama mau ke Kota."

"Oya, bisa jadi. Tapi, aku agak curiga."

"Sudah, jangan buruk sangka."

Sesampainya di Kantor Pos, gawai berbunyi. Begitu pula gawai Narsih.

[Sudah sampai mana?]

[Baru sampai kantor Pos.]

Setelah semua syarat pendaftaran dimasukkan ke dalam amplop coklat, segera masuk ke loket pengiriman. Aku dan Narsih, berencana akan ke pasar Gede membeli jilbab dan tadi Bapak minta dicarikan kaset Muchsin Alatas dan Titiek Sandhora. 

Selama berkeliling di pasar Gede, dua laki-laki yang tadi naik motor ada di salah satu kios. Narsih yang sangat hafal dengan baju mereka, "Mbak Ningsih, kayaknya mereka mata-mata," ucapnya.

"Siapa yang menyuruh mereka?" 

"Paling Mas Rafiq dan Mas Agus," 

"Bisa jadi," 

Gawai bergetar terus, tanda ada panggilan masuk. Aku dan Narsih kompak membiarkan saja, dan akhirnya kita memutuskan untuk mematikan gawai kami. 


Setelah mendapatkan apa yang dicari. Kami pun pulang dengan naik angkutan kota jurusan lomanis. Sesampainya di jalan Bali, motor yang sedari tadi membuntuti kami berhenti, dengan emosi yang sudah di ubun-ubun Narsih mendekati mereka. 

"Mas! Dari tadi mengikuti kami ada apa ya?"

"Ka--kami, hanya dimintai tolong oleh Mas Rafiq dan Mas Agus." 

"Oh, sana bilang ke mereka. Kami berdua sudah sampai rumah dengan selamat." 

Mereka berdua pun pergi meninggalkan aku dan Narsih. Aku acungkan jempol, kami sepakat untuk sementara gawai tidak dihidupkan. 

Sesampainya di rumah, Ibu mengatakan bahwa dari tadi Mas Agus menelpon terus. Menanyakan tentang aku, sudah pulang atau belum. Beberapa menit kemudian, gawai Ibu berbunyi lagi. 

"Pasti, Agus lagi. Ibu capek, kamu saja yang menerima telepon." 

Terpaksa aku menerima telepon dari Mas Agus. Dia pun mengomel tidak karuan, bagaikan Ibu yang khawatir dengan kondisi anaknya. Setelah puas melampiaskan emosinya, aku menutup telepon darinya. 

Narsih hanya bisa menahan tawa, dia bilang pasti aku juga sama. Narsih pun pamitan pulang, karena jemputan sudah datang. 


Malam harinya, Mas Agus minta maaf karena sikapnya tadi siang. Dirinya pun mengabarkan bahwa dia akan ikut tes CPNS di Cilacap, sesuatu bidang pendidikannya. 


Dua Minggu berlalu, surat undangan tes CPNS mendarat. Aku  dan Narsih akan mengikuti tes tersebut di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Cilacap. Sedangkan Mas Agus dan Mas Rafiq, entah di mana.

[Mas Agus, tesnya di mana?]

[Aku di Sekolah Menengah Pertama Negeri Empat Cilacap, tahu gak De?]

[Ya, tahu.]

[Mas, besok ke rumah dulu ya?] 

[Ya,] 


Hari Sabtu pagi, suara deru mesin mendekat, mungkin, itu Mas Agus dan Mas Rafiq. Kulihat dari balik jendela, bukan mereka berdua, dua orang perempuan sepertinya mencari kamar mandi. 

Aku sibuk membaca buku, dan beberapa lembar kertas contoh soal tes CPNS. Batang bisa membantuku untuk persiapan tes besok. Walaupun, agak pesimis karena untuk formasi Akuntansi hanya dua orang yang diterima, sedangkan yang mendaftar ribuan orang. 

Menjelang sore, akhirnya orang yang sedari tadi ditunggu datang juga. Setelah berbasa-basi sebentar, aku dan Mas Agus pergi menuju tempat tes untuk melihat lokasinya. Aku tak tahu, ada Narsih dan Mas Rafiq yang sudah menunggu di jalan. 

Setelah meninjau tempat tes besok pagi, Mas Rafiq mengantarkan Narsih pulang. Mas Agus pun mengantarku pulang ke rumah.

"Mau langsung ke Pondok atau mau masuk dulu?" tanyaku.

"Main dulu lah sebentar, kan kangen." jawab Mas Agus.

Kami berbincang-bincang bersama Bapak dan Ibuku, Mas Agus pun memohon doa restu kepada Bapak dan Ibu agar berjalan lancar dalam mengerjakan tes esok pagi. Dirinya juga meminta izin untuk bisa berangkat bersamaku besok. 

Minggu pagi, hiruk pikuk Kota Cilacap dan kota lainnya yang sedang menyelenggarakan tes CPNS. Beragam raut wajah peserta tes tergambar jelas ada di setiap sudut kota. Ada yang begitu serius dan ada pula yang santai saja menjalani tes tersebut. 


Aku yang sudah empat kali mengikuti tes tersebut, mulai terbiasa dengan suasana beragam macam raut wajah mereka. Tes dimulai pukul delapan pagi dan selesai pukul satu siang. Alhamdulillah, sudah pecah telur batinku. 

Aku yang tidak satu ruang dengan Narsih, segera menuju kelas yang ditempati olehnya. Ternyata Narsih sudah menunggu di depan kelas. 

"Alhamdulillah, plong," ucapnya.

"Alhamdulillah, semoga mendapat hasil terbaik," 

"Aamiin," ucap kami bersama-sama. Kami berdua menuju gerbang masuk sekolah, sembari menunggu jemputan kami menikmati camilan yang baru dibeli, beserta air mineral kemasan di tangan. 

***

Sementara suasana di SMPN 4 Cilacap, Mas Agus dan Mas Rafiq yang kebetulan satu ruangan setelah selesai mengikuti tes.  Mas Agus langsung mengajak Mas Rafiq menjemput kekasih hati.

"Ayo, buruan jemput kekasih hati. Jangan merokok dulu." ucap Mas Agus.

"Iya, iya. Sekarang kamu bawel kayak emak-emak," protes Mas Rafiq.

***

Setengah jam menanti jemputan, akhirnya datang juga. Mereka berdua mengajak kami jalan-jalan terlebih dahulu, katanya ingin tahu Masjid Agung Cilacap. 

"Emang, sudah izin ke Bapak dan Ibu kita berdua?" tanyaku. 

"Sudah, De. Semalam." jawab Mas Agus, "ayo, cepat naik motor," lanjutnya.


Selepas salat Dzuhur di Masjid Agung Cilacap, kami berempat duduk di salah satu sudut Alun-alun menikmati keindahan Kota Cilacap di siang hari. Cacing dalam perut sudah berteriak-teriak demo minta di isi. Kami berempat segera mencari tempat untuk makan siang. Santap siang kali ini begitu spesial, karena bersama orang tersayang. 

Hari pengumuman tiba, Sang Kuasa belum mengizinkan diriku untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Begitu juga dengan Narsih, dia tidak berhasil pula. Akan tetapi, keberuntungan sedang memihak kepada Mas Agus dan Mas Rafiq, mereka di terima menjadi bagian dari para pegawai negeri tersebut. 

Sang Maha Pencipta sepertinya memberikan restu kepada kami untuk berjumpa lagi. Suatu hari, suara deru mesin bermotor mendekat dan berhenti di tempat parkir masjid. Ku tengok, si empunya kendaraan langsung masuk ke dalam masjid. Oh, orang mau salat duha di masjid, batinku. 


Setengah jam kemudian, "Assalamualaikum," suara sapaan dari luar rumah terdengar. 

Tok...tok…tok 

"Assalamualaikum," 

"Wa'alaikum salam," setelah kujawab salam, lalu ku buka pintu. Ya Allah, apakah aku bermimpi? Atau ini kenyataan, Mas Agus ada di depanku memakai seragam kerja. Diri yang biasa melihatnya memakai baju Koko, peci dan sarung. Hari ini, Subhanallah, Gantengnya. gumanku. 

"Jelas dong, ganteng. Siapa dulu." 

Ya Allah, dia dengar kah? Sewaktu diri mengucapkan kata ganteng. 

"De, kok bengong. Ini tamunya gak suruh masuk apa?" 

"He...he...he, silakan masuk Gus," ucapku sembari membungkukan badan.

"Yah, ini anak malah ngeledek."

"Lah, kan benar Mas, sampean seorang Gus."

"Sudah-sudah kalian berdua kalau ketemu selalu begitu, tapi kalau berjauhan saling rindu." sahut Ibu dari dalam rumah, lalu menemui calon mantu kesayangan. 


Kami pun bercakap-cakap, terkadang aku hanya menyimak obrolan Ibu dan Mas Agus. Apalagi kalau sudah membahas soal rencana pernikahan, aku hanya bungkam seribu bahasa. Berharap jangan sampai salah ucap, yang bisa menjadi Boomerang lagi untukku seperti waktu lalu. 

 

*Catatan kaki : 

Sampean : kamu

Gus : Anak laki-laki dari seorang Kiai



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro