Bab 6. Nostalgia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*Selamat membaca, semoga bermanfaat ilmu yang ada di dalam cerita*

*Masih tahap belajar*
*Masih banyak kesalahan*

*Jangan lupa krisar, komentarnya*

redaksisalam_ped
trinaya_123

Hari Rabu, kuliah jatah sore. Hari ini sebenarnya malas banget pergi ke kampus. Karena beberapa kali kuliah. Selalu sendiri seperti siswa sedang les privat. Akan tetapi aku tahu, orang tuaku sudah susah payah mencari uang untuk diriku kuliah. Walaupun berat akhirnya berangkat juga ke kampus. Sesampainya di kampus, Narsih sudah duduk di teras, aku dekati dia dan ajak bercakap-cakap masa lalu baik masa laluku maupun dirinya, dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.

Beberapa menit kemudian, rekan-rekan mahasiswa angkatan Narsih datang, Narsih segera bergabung dengan mereka, tinggallah aku sendiri di depan kampus. Sepertinya hari ini aku kuliah sendirian lagi, entah kenapa aku tak pernah di ajak oleh rekan-rekan seangkatan mereka pergi? Apa karena aku berbeda? Atau aku ini menyusahkan mereka karena tak bisa naik motor sendiri.

Sesi kuliah rasa les privat hari itu pun selesai. Diri menunggu jemputan, akan tetapi sampai pukul setengah enam yang ditunggu tidak juga kunjung datang.

"Mbak Ningsih, belum di jemput ya?"

"Belum,"

"Yuk, ke rumahku saja. Sekalian salat magrib."

Aku mengikuti langkah kaki Narsih menuju rumahnya yang tak jauh dari kampus. Seusai salat magrib dan ngobrol sebentar, berkenalan dengan orang tua Narsih, pamit undur diri. Aku pulang mengendarai sepeda mini milik Narsih. Setengah jam perjalanan sampai juga di rumah, pas suara adzan isya berkumandang.

"Kamu pakai sepeda siapa?"

"Sepeda milik Narsih, Bu."

"Oh, ya. salat dulu terus istirahat."

Hari berlalu dengan begitu cepatnya. Saatnya memeluk guling kesayangan ditemani rembulan malam yang malam ini sedikit malu terselimuti awan. Cuaca yang dingin membuat diri menutup rapat seluruh tubuh dengan selimut dan sarung.

Keesokan harinya, selepas Dzuhur diriku bergegas mandi tanpa cuci muka dan luluran. Cukup sabun mandi agar wangi sepanjang hari. Aku bersiap-siap untuk berangkat ke kampus walaupun masih terlalu dini. Kuliah di mulai pukul empat sore. Niat hati ingin bercengkrama dengan Narsih dan keluarganya terlebih dahulu. Di pertengahan jalan aku berjumpa Mbak Widi teman satu kelas.

"Ningsih, awal benar ke kampusnya?"

"Ini Mbak, sekalian kembalikan sepeda."

"Oh, ya sudah. Aku duluan ya?"

"Ya, Mbak."

Aku melanjutkan perjalanan secepat yang aku bisa. Akhirnya aku sampai di rumah Narsih penuh peluh membasahi pipi.

"Assalamualaikum,"

"Wa'alaikumsalam, sini Mbak masuk,"

"Iya, terima kasih."

"Kemarin sampai rumah jam berapa?"

"Sekitar jam tujuh pas adzan isya."

Kami bercakap-cakap, mungkin juga siaran ulang alias apa yang sudah pernah dibahas dibicarakan ulang. Bahkan Narsih bercerita dulu sewaktu sekolah di Madrasah Aliyah Negeri, dia sering naik bus ke sekolah. Terkadang pulang sekolah ikut bus sampai ke terminal. Setelah puas jalan-jalan baru pulang ke rumah naik angkutan kota.

Sama sepertiku dulu sewaktu sekolah, terkadang pulang tak langsung ke rumah, mampir ke warung bubur dekat terminal. Menikmati bubur kacang hijau yang terkenal seantero Cilacap, favorit hampir semua anak sekolah dari mana pun. Terngiang saat diri ini sepulang sekolah duduk di terminal karena menunggu teman membeli sesuatu di salah satu toko di sekitar terminal.

"Kapan-kapan jalan bareng yuk?"

"Boleh, Mbak Ningsih."

"Bagaimanapun besok Minggu?"

"Boleh." Tak terasa sudah hampir pukul empat. Aku dan Narsih segera bergegas ke kampus. Di sepanjang jalan menuju kampus kami berdua tetap ngobrol entah berfaedah maupun sekedar ngobrol yang tak berguna.

Hari Minggu yang ditunggu pun tiba. Sesuai waktu yang disepakati. Aku dan Narsih jalan kaki menuju terminal, kami hendak bernostalgia menapaki jalan raya seperti jaman sekolah dulu. Pertama kami bernostalgia dengan bubur kacang hijau yang tenar sewaktu kami sekolah. Pas sekali sepi, tak ada pengunjung kami segera memesan es bubur kacang hijau yang kami incar. Setelah puas mengisi perut kami lanjut menuju terminal bus Cilacap.

Bus merupakan kendaraan besar dan memiliki roda yang biasanya digunakan untuk mengangkut orang atau penumpang. Untuk Bus ini memiliki roda empat, body yang panjang dan besar, serta dapat memuat banyak orang. Terdapat berbagai macam jenis bus yang ada di Indonesia, seperti bus abodemen untuk antar jemput siswa, bus pariwisata, dan bus angkutan sehari-hari.

Selain itu, bus juga memiliki ukuran yang berbeda-beda. Bus besar yang biasanya digunakan untuk pariwisata dilengkapi dengan AC, selimut, bantal, toilet, tempat untuk mengisi daya ponsel, dan televisi. Jenis bus ini merupakan memiliki fasilitas yang lengkap.

Melakukan perjalanan menggunakan bus sangat menyenangkan. Biasanya Bus akan berjalan pada jalan raya beraspal dengan cepat sehingga tanaman dan daun-daun pohon berterbangan terhempas oleh angin dari bus. Jendela-jendela berjajar, sangat cocok untuk sesekali merenung menatap jalanan di luar.

"Ingat gak bus itu?" tunjuk ke arah Bus Satria.

"Iya, kenangan bersama armada bus itu banyak, karena bus tersebut setiap hari langgananku untuk pergi ke sekolah."

"Narsih, kita mau lanjut kemana?"

"Bagaimana ke Rita Pasaraya?"

"Boleh, mau lewat rute damalang atau lomanis?"

"Bagaimana kalau berangkatnya lewat rute damalang, pulangnya lewat rute lomanis."

"Oke, siap."

Kami pun menuju area angkutan kota berwarna hijau mangkal. Setelah menemukan angkutan kota sesuai rute yang diinginkan. Kami berdua naik ke dalam angkot tersebut dan siap menikmati pemandangan jalan kota Cilacap. Sesampainya di kompleks pasar gede kami berdua jalan kaki bergandengan tangan bagai orang berpacaran. Menuju Rita Pasaraya, menelusuri setiap jengkal tanah, setelah puas di area lantai satu Rita Pasaraya dengan barang di tangan.

"Mbak Ningsih, jangan ke atas ya?"

"Kenapa Narsih?"

"Aku takut ketinggian, trauma dengan eskalator juga."

"Oh gitu, terus ini mau kemana?"

"Ke masjid Agung saja Mbak, sebentar lagi Dzuhur kan?"

"Ayuk,"

Kami berjalan kaki beriringan, saling melindungi satu sama lain. Saat hendak menyeberang jalan kami bergandengan tangan dengan begitu erat. Sesudah menunaikan salat Dzuhur di masjid Agung, cacing di dalam perut berdemo meminta jatah sembako bagi mereka. Kami berdua mencari tukang bakso di sekitar masjid agung.

"Narsih, kita mau kemana lagi?"

"Pulang saja Mbak, aku capek."

Setelah beristirahat sejenak di pinggiran alun-alun, kami jalan kembali ke arah kanan mencari angkutan kota berwarna hijau muda. Angkutan kota rute lomanis. Setelah berjalan kaki selama sepuluh menit, dengan raut wajah yang begitu lelah karena jalan kaki mengelilingi area sekitar alun-alun Cilacap, akhirnya angkutan kota yang ditunggu datang. Walaupun lelah tapi puas dapat bernostalgia menapaki jejak semasa sekolah menengah atas dulu.

Pukul empat sore, Narsih dijemput oleh kakaknya. Tinggallah diri ini sendiri lagi tak ada kawan bercerita lagi. Malam menjelang, rembulan sudah bergelayut manja ditemani gemerlap bintang. Akan tetapi, malam ini rembulan tak begitu ceria karena awan hitam menutupi keindahannya. Gerimis mengundang menemani malam Senin kali ini.

Diri yang tadinya duduk di teras, memutuskan untuk masuk ke kamar. Menekuni hobinya yakni membaca buku komik. Duduk di lantai kamar beralas tikar, aku melahap dua buku di tangan. Tanpa disadari ada getaran-getaran cinta yang memanggil. Sebuah pesan singkat masuk ke gawai.

[Mbak Ningsih, terima kasih. Sudah menemaniku nostalgia.]

[Iya, sama-sama. Terima kasih juga ya Narsih.]

[Kapan-kapan jalan-jalan lagi ya Mbak Ningsih]

[Ok.]

Setelah puas bermain gawai, rasa kantuk mulai menjalar bagai lampu yang hendak padam. Saatnya diri bersiap-siap memeluk guling kesayangan. Tak lupa buku-buku yang baru kubaca disimpan kembali ke tempat semula. Semoga malam yang dingin ini aku bermimpi indah.

Teman
Apakah dirimu yang Dia kirim
Untuk menemani diri

Setelah sekian purnama
Tak ada kawan
Tak punya teman curhat

Apakah benar?
Tuhan mengirimkan dirimu
Sebagai tempat curhatku

Jika benar
Wahai Tuhan
Ridhoilah pertemanan kami berdua

Semoga hubungan kami langgeng
Sampai maut memisahkan kita
Aamiin

Untaian puisi kutulis pagi ini, sebelum diri membantu Ibu menyiapkan dagangan di warung. Karena kemarin saat pergi bersama Narsih, aku membeli barang dagangan untuk isi warung. Selain itu hari ini akan membantu membuat kerupuk dari nasi untuk dijual di pasar. Juga menyiapkan kerupuk yang sudah kering untuk aku bawa ke kampus karena ada teman kuliah yang memesan kerupuk buatan Ibu.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro