Bab 7. Ramadan Kelabu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


*Selamat membaca, semoga bermanfaat buat sobat pembaca semua*

*Ambillah yang baik, buanglah yang buruk.*

*Jangan lupa tinggalkan jejak.*

redaksisalam_ped
trinaya_123

***

Kelabu, mendung menyelimuti keluarga. Problematika kehidupan manusia, babak baru dalam kehidupanku bermula. Adik-adik bapak datang membawa Nenek, menyerahkan Nenek untuk di rawat oleh Bapak.

Bermula dari peristiwa itu lah bergejolak masalah keluarga besar Bapak. Adik-adik Bapak tak mau merawat Nenek yang sedang sakit parah. Mereka berprinsip tanggung jawab anak pertama, anak tertua untuk membiayai, merawat orang tua.

Hal itulah yang membawa luka lama menganga lebar. Dimana Nenek sangat pilih kasih, bahkan aku dan Kakakku tak dianggap oleh Nenek dari Bapak.

Sekarang mereka lepas tangan, mereka meninggalkan Nenek di rumah kami. Padahal sejak aku bayi, bahkan semenjak Bapak menikah dengan Ibu, Bapak sudah tak dianggap lagi.

Bagaimana sekian tahun tak dianggap sebagai anak, tiba-tiba datang mereka semua.

"Ibu, itu tanggung jawab Kakang sebagai anak laki-laki pertama."

"Ya, tidak. Harus di sangga bersama, oleh semua anaknya. Bukan hanya tanggung jawab Kakang."

Suasana tambah tegang, terlebih lagi suami dari Bulik, adik terkecil Bapak ngotot.

Braak ... Suara meja digebrak oleh adik ipar Bapak. Karena tak ingin memperpanjang masalah, Bapak mengalah.


Bapak yang masih marah dan kecewa dengan sikap adik-adiknya berdampak dengan semangatnya untuk bekerja. Bapak tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya karena harus bolak-balik tempat kerja dan ke rumah untuk merawat Nenek.

Aku kuliah pun menjadi kacau, karena tak ada yang mengantar ke kampus, saat itu kuliah selalu sore hari. Diriku tak bisa bebas pergi kemana-mana.

Setiap aku ingat peristiwa itu, saat Ibu dan Bapak bersitegang dengan adik-adik Bapak. Mata ini selalu mengembun, ditambah teringat masa kecil, yang diperlakukan tak adil oleh Nenek dari Bapak. Bahkan, goncangan hebat dalam jiwa membuat diri terkadang tak bisa mengontrol emosi dan perasaan dalam dada. Bisa tiba-tiba menangis sendiri, inginnya marah-marah terus.

"Mbak Ningsih, kenapa sekarang sering nangis?" tanya Narsih suatu hari di kampus.

"Aku tak tahu, rasanya ada tekanan batin yang mengganggu diriku."

"Sabar, jika ada apa-apa cerita ke aku atau ke Dewi atau ke Tika,"

"Iya, Narsih. Kalau sudah siap cerita aku akan ceritakan kepadamu,"

Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Bulan Ramadan datang menghampiri kita semua. Suasana rumah yang terkadang masih tegang.

Ditambah dengan emosi Nenek yang tidak stabil, jika ada kerumunan anak sekolah yang berjejer rapi di emperan masjid, pasti langsung ngomel-ngomel tidak jelas.

Suasana bulan puasa yang seharusnya penuh kasih, akan tetapi tak seindah bulan puasa tahun lalu. Terkadang diriku terbawa emosi, sampai melampiaskan amarah ke orang lain. Bahkan teman yang tidak tahu apa-apa ikut kena marah.

[Mbak Ningsih, kenapa?]

[Kok sms aku marah-marah]



Selepas berbuka puasa, aku kaget melihat pesan singkat dari Narsih. Pikiran yang kacau membuat diri mudah tersulut emosi, gampang nangis tanpa sebab.


Seusai salat tarawih diri ini baru bisa sedikit tenang, lalu membuka gawainya untuk membalas pesan dari Narsih.

[Maaf ya, aku lagi pusing. Gak tahu kalau dampaknya begini.]
[Mudah marah kepada orang lain walaupun orang itu tidak salah.]

Setengah jam kemudian, Narsih membalas pesanku.

[Iya, Mbak. Aku juga kadang begitu.]
[Sering salah sasaran.]


Ada kesamaan antara aku dengan Narsih sering salah kirim pesan. Marah ke orang padahal orang yang dapat pesan tidak berbuat salah. Ada banyak hal yang membuat kita berdua cocok satu sama lain, saling support antara kami.


Tak terasa hari raya idul Fitri tiba. Saatnya hamba yang hina memohon maaf kepada semua insan manusia yang mengenalnya.

Atas kesalahannya selama menjadi teman, sahabat juga tak lupa kepada keluarga. Dua hari setelah hari raya, aku ke rumah Narsih untuk bersilaturahmi dengan keluarganya.


Saat diri datang ke rumah Narsih, di sana sedang ada acara silaturahmi satu RT. Alhamdulillah, dapat mengikuti pengajian dan bisa meminta maaf dengan banyak orang walau tak semuanya aku kenal.


Idul Fitri berarti kembali kepada kesucian. Manusia adalah makhluk yang suci, dan ia harus hidup suci karena akan baru diterima kembali oleh Allah Sang Kuasa bila saatnya menghadap nanti kepada-Nya dalam keadaan suci. Manusia yang dianggap suci adalah orang yang senantiasa mentaati aturan Sang Maha Esa, karena pelanggaran terhadap peraturan Allah SWT adalah dosa. Agar manusia tidak kotor dengan dosa, bersihkanlah dengan puasa.



Selain itu idul Fitri berarti kembali kepada fitrah Allah yakni agama Allah. Manusia harus ditaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Manusia adalah makhluk susila artinya manusia memiliki budi pekerti luhur.

Bagaimana cara menjaga budi pekerti? Salah satunya dengan melaksanakan puasa Ramadan karena dengan berpuasa kita akan menjaga lisan, tingkah perilaku.

Ceramah Pak Kiai di acara silaturahmi, membuatku sedih. Suasana di sini sangat hangat berbeda dengan keadaan keluarga besarku yang tak saling sapa satu sama lain, sejak kejadian kemarin. Bapak yang tak pernah dihormati oleh adik-adiknya.

Keluarga Narsih, membuatku iri, mereka bisa berkumpul di saat idul Fitri seperti saat ini. Waktu untuk saling bersalaman dengan semua yang ada di rumah Narsih tiba.

"Mohon maaf lahir dan batin, ya."

"Sama-sama, Mbak."

Aku duduk di ruang tamu dan bergabung dengan mereka. Suasana keluarga yang begitu indah. Sangat hangat dan nyaman, diri terbawa suasana lebaran di rumah Narsih.

Setelah setengah jam ngobrol kesana kemari. Aku, Narsih berencana akan berlibur ke laut Teluk Penyu bersama, untuk melepas kepenatan selama ini, sebelum kembali kuliah.

Minggu pagi, sesuai kesepakatan aku dan Narsih berjumpa di perempatan jalan Kalimantan. Walaupun sama-sama menumpang ke orang.

Sesampainya di Pantai Teluk Penyu, aku dan Narsih menuju area tujuh puluh dimana kita dapat melihat kapal-kapal besar berlabuh dan melihat pulau Nusakambangan.

"Narsih, kamu mau gak ke sana?" tunjukku ke arah pulau yang terkenal dengan penjara untuk para koruptor, penjahat kelas kakap.

"Enggak lah Mbak Ningsih, aku takut mabok laut."

"Ya sudah ke benteng Pendem saja bagaimana?"

"Boleh juga Mbak,"

Setelah puas berjalan di sekitar area tujuh puluh, kami segera bergegas menuju ke Benteng Pendem, salah satu obyek wisata yang ada di Cilacap. Saksi bisu perjalanan sejarah kota Cilacap semasa Belanda menjajah Indonesia dulu.

Kami bergabung dengan para wisatawan yang kebetulan sedang diberikan arahan oleh seorang pemandu wisata. Sang pemandu pun menjelaskan sejarah singkat Benteng Pendem.

"Benteng Pendem Cilacap adalah benteng peninggalan Belanda di pesisir pantai Teluk Penyu kabupaten Cilacap, yang dibangun pada tahun 1861. Bangunan ini merupakan bekas markas pertahanan tentara Hindia Belanda yang dibangun di area seluas enam setengah hektare secara bertahap selama delapan belas tahun, dari tahun 1861 hingga 1879. Benteng pendem sempat tertutup tanah pesisir pantai dan tidak terurus. Benteng ini kemudian ditemukan dan mulai digali pemerintah Cilacap tahun 1986. Saat ini, pemerintah Kabupaten Cilacap menjadikan benteng ini sebagai tempat wisata sejarah."

"Benteng Pendem dahulunya merupakan markas pertahanan tentara Belanda di Cilacap, yang didesain oleh arsitek Belanda. Benteng ini difungsikan untuk menahan serangan yang datang dari arah laut bersama dengan Benteng Karang Bolong, Benteng Klingker, dan Benteng Cepiring. Benteng Pendem digunakan hingga tahun 1942. Ketika perang melawan pasukan Jepang, benteng ini berhasil dikuasai Jepang. Tahun 1945, Jepang meninggalkan benteng ini karena kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu; sehingga benteng ini diambil alih oleh TNI Banteng Loreng Kesatuan Jawa Tengah sebagai tempat berlatih Tentara Negara Indonesia khususnya yang bertugas di Cilacap. Dalam penguasaan TNI, benteng ini digunakan para pejuang kemerdekaan yaitu berlatih perang dan pendaratan laut."

"Mbak Ningsih, aku baru tahu sejarah Benteng Pendem,"

"Sama, Capek gak Narsih?"

"Capek Mbak Ningsih, duduk di sana yuk!"

"Di ayunan sana saja yuk? Ajak mereka juga, kasihan jadi sopir doang."

Kami berdua mendekati sang supir, dua kawan kenalan dari gawai karena salah sambung entah karena acak nomer. Mengajak mereka berbincang-bincang tentang kuliah, dan hal lainnya juga.

"Mbak, besok acara halal bihalal di Kampus."

"Iya, kah?"

"Ini, Tika kirim pesan singkat mengabarkan bahwa besok berangkat ke Kampus."

"Oke, besok aku ke rumahmu ya Narsih."

Setelah puas menikmati keindahan Benteng Pendem. Kami mampir ke Masjid Agung Cilacap untuk salat Dzuhur, walaupun nyasar sampai ke arah pemintalan.

Kenapa diri ini tiba-tiba saja seperti orang hilang ingatan? sampai salah arah jalan. Setelah beberapa menit di alun-alun kota Cilacap. Kami melanjutkan perjalanan untuk pulang ke rumah masing-masing.











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro