Chapter 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Only you, could see that I was hurting. Only you, ever cared to understand." 

–Calum Scott-

Telingaku seketika berdengung ketika mendengar suara pria itu lagi. Refleks melempar ponsel sampai membentur lantai lantas menarik selimut hingga menutupi kepala. Hanya satu kali mengetahui siapa pemilik suara itu, sekujur tubuhku langsung gemetaran hebat. Dan sialnya, aku merasa kamar ini mendadak terasa pengap, gelap, dan udara di sekitar menipis. Biji mata rasanya mencuat kala tanpa sadar kedua tangan sudah melingkari leher akibat rasa sesak yang mengimpit dada. 

Aku berusaha memanggil siapa pun yang bisa menarik dari rasa panik ini. Sayangnya, si pemilik suara tadi memenuhi kepala berbarengan dengan bayangan wajahnya yang makin lama makin jelas. Tubuhku semakin bereaksi sampai keringat membasahi diri. Sisi lain diriku memberontak, memaksaku untuk keluar dari kegelapan kala potongan di masa lalu tiba-tiba hadir.

"Arrrgghhhh!!!!!!"

Seringai senyum lelaki pengkhianat yang datang entah dari mana kini melambai-lambai. Bagaimana bisa dia menemukanku sampai di sini? Bagaimana dia bisa tahu nomor ponselku ... dan bagaimana bisa dia ...

Detik berikutnya, sebuah tangan menyibak selimut paksa. Seketika itu juga aku menjerit, merangkul diri untuk tidak disentuh seperti dulu lagi. Suara yang sibuk memanggil namaku malah terdengar seperti sebuah panggilan binal untuk memuaskan hasrat terpendam. Air mataku sudah menganak sungai, aku tidak ingin diperbudak seperti dulu. Jika disuruh memilih, lebih baik dia menusuk jantungku dengan sebilah pisau daripada harus melecehkan gadis yang tidak sempurna ini.

"Hei, Ms. Khan!"

Lelaki itu menarik tubuhku, merengkuh erat kedua bahu membuatku berteriak histeris. Dia kembali mengguncang, memanggil nama dan menyuruhku untuk menatapnya. 

"Ms. Khan! Ini aku! Ini aku Andre! Mr. Jhonson!" serunya. 

Memberanikan diri membuka mata, sosok yang buram namun lama-lama terlihat jelas itu menatapku resah. Aku terdiam entah mengapa suaranya bagai gema di telinga. Jujur saja, kedua mata hanya bisa melihat mimik bibirnya itu. Yang ada bisikan ayah tiriku yang tidak bisa berhenti.

"Aku merindukan tubuh ranummu, Lizzie sayang, apakah masih seperti yang dulu?"

"Hei, dia tidak ada di sini, Ms. Khan." Andre menatapku lekat. "Do you trust me?" 

Butuh waktu lama untuk menyadarkan alam bawah sadar bahwa tadi adalah halusinasiku saja. Lantas, melirik ke kiri dan ponselku masih di sana teronggok tak berdaya dengan layar yang sedikit pecah. Berarti ... panggilan telepon tadi bukanlah imajinasi atau mimpi. Dia nyata ... lelaki itu benar-benar datang entah untuk tujuan apa. 

"Aku sakit, Andre," kataku lirih menepis tangannya yang masih merengkuh bahu, lalu memeluk kedua lutut menyembunyikan rasa takut dari hadapan lelaki ini. "Aku menderita. Kau ..." 

Memadangnya penuh derai air mata, kala lidahku tak mampu merangkai kata lagi. Kemudian mengamati kedua telapak tangan. Basah dan gemetaran. Rasa yang ditinggalkan oleh ayah tiriku masih tersisa sampai sekarang walau hanya suara yang kudengar.

"Ssst ... I know what you feel." Andre duduk di pinggiran kasur hendak menyentuh pundak namun urung dilakukannya. "Kita bisa membicarakannya nanti saat kau tenang, Ms. Khan. Nanti kau akan pindah ke ruangan VVIP untuk menjagamu dari mimpi burukmu. Oke?"

"Kau tidak tahu apa yang kurasakan, Mr. Jhonson," racauku.

"Ma-maaf ... aku ..." 

"Kau tidak tahu apa yang kurasakan selama ini! Dan kau berpura-pura bisa merasakan apa yang kuderita, huh!" pekikku menatap nyalang ke arahnya. "Kau jahat, kau hanya pura-pura peduli, kau ... kalian ... aku sakit! Jiwaku sakit, Mr. Jhonson! Kalian tidak ada yang tahu apa yang kurasakan!"

Detik berikutnya, Andre meraup bibirku membungkam semua kalimat yang mencecarnya. Melumpuhkan semua kepanikan dengan belaian lembut, mengirimkan sinyal bahwa apa yang dia lakukan bukanlah sebuah rekayasa. Sebagian dari diriku menerima perlakuan manis Andre, namun sebagian lainnya berusaha menyadarkan diri kalau tidak semua pertikaian harus diakhiri dengan ciuman panas. 

Otomatis tanganku mendorong dada bidangnya, menampar wajah tegas itu sampai tanganku terasa panas. Dia terpaku tidak goyah sedikit pun saat tangan in masih saja memukul Andre. Kemudian, kutampar pipiku sendiri agar tidak sembarangan menerima ciuman dari lelaki asing hanya bisa menjamah tanpa permisi. 

Semurah itukah aku, Tuhan?

"Hentikan, Ms. Khan!" seru Andre menahan tanganku di udara. "Apakah dengan menyakiti diri sendiri kau akan merasa lebih baik?"

"Aku sakit..." 

"Aku tahu ... oleh karena itu cobalah untuk percaya padaku, Ms. Khan. Oke?"

"Kau akan menyakitiku seperti sebelumnya, tidak ada lelaki yang bisa kupercaya ... aku ... aku ..."

"Jika kau tak percaya padaku, maka aku akan membangun kepercayaan untukmu," selanya dengan penuh keyakinan.

###

Bukan Andre kalau ucapannya tidak sesuai bukti. Setidaknya untuk kali ini. Dia benar-benar memindahkanku ke kamar VVIP dengan menyuruh dua orang bertubuh gempal berjaga di depan. Bukan seperti pasien malah seperti tahanan yang dilarang untuk keluar barang sejengkal. Namun, Andre berkata kalau dia melakukan ini agar aku bisa beristirahat dengan nyaman dan tidak perlu memikirkan biaya perawatan. 

"Ini mahal," keluhku padanya. "Aku hanya perlu mendapat beberapa perawatan biasa bukan untuk operasi besar-besaran. Kau tidak perlu membuang uangmu terlalu banyak."

"Anggap saja perlakuan istimewa," balas Andre mengerlingkan matanya. 

"Membuat gosip itu menjadi bukan sekadar gosip, Mr. Jhonson."

"Setidaknya aku lajang, kau harus tahu itu. Kau lajang, aku lajang, bukankah pas?"

Memutar bola mata seraya berpikir mana mungkin pria super kaya sepertinya masih single? Apalagi wajah tampan yang selalu menarik perhatian itu menjadi incaran perempuan. Buktinya, karyawan Andre menatap sinis setiap kali aku melintas atau setiap kali kami berjalan bersama. Sepertinya aku membutuhkan Emilia melakukan pekerjaan sebagai stalker untuk mengetahui kebenaran statusnya itu. 

Di kamar super besar dengan dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan kota Manhattan, Andre mengajak bermain Ludo melalui ponselnya. Masing-masing dari kami memainkan dua player di mana milikku berwarna merah dan biru sedangkan milik Andre berwarna kuning dan hijau.

Saat ini aku sudah memasukkan dua pion merah kembali ke rumahnya namun tidak dengan pion biru karena berulang kali Andre memulangkan pion milikku itu, meski aku berhasil mengeluarkannya lagi. Sedangkan dia jauh lebih unggul dan tak kusangka juga kalau lelaki yang suka marah-marah ini ternyata jago.

"Jangan makan aku ... jangan makan aku..." lirihku melihat pion hijau milik Andre melangkah satu persatu melewati kotak putih mendekati posisi pionku yang hampir mendekati garis finish. "Fuck!" umpatku kasar saat pion hijau sialan itu memulangkan pionku kembali ke kandang.

Andre tertawa terbahak–bahak sambil memegangi perutnya. "Kau tadi juga memulangkan pionku," katanya sambil menekan dadu untuk giliran pion kuning. Dadu menunjukkan angka 3 dan Andre menjalankan pionnya yang tidak ada lawan sama sekali. Sungguh licik.

"Tapi jangan memulangkan pion milikku yang hanya dua langkah sudah pulang ke rumahnya, Andre," gerutuku.

"Apa kau lapar?" tanyanya. 

Aku menggeleng sambil menekan dadu untuk berputar lalu dadu menunjukkan angka 6. Aku tersenyum dan menekan pion merah sambil memperhitungkan pion kuning milik Andre.

"Oh sial!" umpat lelaki itu saat aku berhasil membalasnya.

"Aku tidak nafsu makan."

Dia menyipitkan kedua matanya padaku. "Oh ... ayolah. Jika kita serumah, aku menjamin semua makanan masuk ke mulutmu."

Memiringkan kepalaku untuk berpikir sejenak. "Bagaimana caranya?"

Dia tersenyum miring dan secepat kilat mendaratkan bibirnya tepat di bibirku tanpa aba-aba. Sialan!

"Kurang lebih seperti itu," katanya santai.

Aku yang masih terhipnotis oleh tindakannya hanya bisa memandangi garis wajah itu. Bola mataku tertuju pada lekukan garis tipis bibir yang selalu menyapa tanpa permisi. Mengerjapkan kedua mata untuk mengembalikan kesadaran saat sebuah ketukan terdengar di balik pintu. Beberapa saat sosok gadis berambut blonde muncul sambil membawakan tas besar dan sekotak piza di tangan.

"Em!" seruku membuat Andre menoleh dan seketika ekspresi Emy sedikit berubah seolah menunjukkan dia tidak menyukai pria di depanku.

"Aku membawakan piza untukmu dengan ekstra keju dan daging," kata Emy sambil meletakkan tasnya dan membawa kotak piza itu di depanku.

Tanpa banyak tanya kubuka kotak itu dan seketika aroma keju mozzarella yang berbaur dengan pepperoni menyeruak memenuhi ruangan. Tangan kananku mengambil satu irisan roti khas Italia ini lalu memakannya dengan lahap. Ah, sungguh, piza adalah penolong dari segala penolong. Moodku langsung naik kala irisan paprika dan keju menyentuh lidah.

"Kudengar tadi kau tidak nafsu makan," ketus Andre kesal.

"Aku sudah datang bisakah kau pulang karena ini sudah larut tuan?" sindir Emilia dengan nada dingin.

Andre terdiam, menyipitkan mata seperti memancarkan laser kemerahan ke arah Emilia. Lantas dia beranjak dari tempat duduknya, memandangku dengan senyum lebar secerah pelangi. "Aku pulang dulu," pamit lelaki itu dan mencium keningku tanpa ijin membuatku hampir menyemburkan piza. "Good night."

Lelaki itu pergi, menyisakan kecupan yang masih membekas di dahi yang masih saja menimbulkan euforia di dalam dada. Aku tak tahu apakah akan sanggup menerima perlakuannya seperti itu? Dia adalah lelaki yang bisa saja pergi tanpa jejak, bisa saja amnesia atas janji yang dibuat, dan berpaling ke wanita yang dinilai lebih 'normal' daripada aku yang selalu sakit-sakitan. Tapi ... dia juga yang mencoba meruntuhkan dinding yang sudah kubuat belasan tahun. Ah, entahlah ... aku yakin sikapnya itu akan berubah besok pagi. Jangan terlalu menaruh harapan pada lelaki yang membual pada puluhan perempuan. 

"Apa kau bisa tampar aku, Lizzie?" tanya Emy yang tidak hentinya memandang ke arah pintu.

Kucubit lengannya cukup keras membuat gadis itu berteriak kesakitan.

"Kau menyuruhku, ingat?" 

"Sejak kapan kau dan dia begitu dekat? Yang kuingat kemarin, kau menangis karena dia membohongimu dan ..." Emilia duduk di sampingku, mengambil satu potong piza. "Kau gadis paling anti disentuh pria. Tadi, kau dicium olehnya seolah kalian sudah menjalin cinta di belakangku. Pasti banyak yang kulewatkan bukan?"

"Kubilang dia itu aneh, gila, dan ... aku tidak bisa mendefinisikannya. Semakin aku berlari semakin dia mengejar, meyakinkan bahwa dialah orang yang bisa melindungiku. Walau..." ucapanku menguap begitu saja, memandang sendu piza yang sudah tinggal setengah bagian. 

"Walau apa?"

Aku ragu beberapa saat, entah ini perlu dikatakan padanya atau tidak mengingat kami sudah berteman lama. Emilia menyentuh tanganku penuh harap, menanti jawaban yang keluar dari mulut. 

"Dia ... menyuruhku untuk berhati-hati padamu, Em."

Seketika itu juga bibir Emilia menganga lebar, mata biru jernih itu membeliak dan aku mendengar dia mengumpat kalau Andre berhasil memecah pertemanan kami. "Dia tidak tahu apa-apa tentangku, apa dia tidak keterlaluan sebagai orang baru?"

"Benar. Dia hanyalah orang baru, maka dari itu aku tidak percaya padanya. Seperti jargon kita, pria sempurna hanya ada di fiksi bukan dunia nyata yang penuh dusta."

Emilia tertawa. "Kecuali Robert Pattinson. Di mataku dia sempurna."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro