Chapter 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'One more time, I make the space for you and you rearrange when I need you to look at how far we got.'

-Alina Baraz-

Aku melihat gadis yang biasanya ceria, kini terlihat murung sedang duduk mengamati piring berisi steak dengan tak minat. Padahal steak itu adalah salah satu makanan kesukaan yang dibuat sang ibu susah payah. Beberapa kali, bibir mungilnya hendak mengadu kepada perempuan paruh baya yang mewarisi kecantikan pada si gadis kecil. Tapi urung dilakukan saat ekor matanya mengarah pada lelaki berambut ikal yang menyeringai penuh arti. 

Lelaki itu mengelus rambut anak tirinya seolah dialah lelaki terbaik dan tidak bisa tergantikan. Perempuan di depannya tertawa sambil mengangguk. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengarnya. Lantas gadis itu beralih ke arahku, mata bulatnya memohon, bibirnya gemetaran tak nyaman dengan lelaki di sebelahnya. 

Ingin bergerak, namun tak bisa. Seolah ada magnet besar yang menahan beban tubuhku untuk tidak mendekati aksi nakal tangan lelaki itu. Sementara itu, aku merasakan ada seseorang tengah berdiri tepat di belakangku. Embusan napasnya menerpa leher, membangunkan bulu roma di tubuh. Lagi-lagi, tubuhku kaku walau ingin menoleh sebentar saja sampai sebuah tangan kurus nan pucat menyentuh bahu merambat turun ke leher lalu berhenti tuk mencengkeram daguku dari belakang.

"Seberapa jauh kau bersembunyi, aku akan menemukanmu ... Lizzie."

Serasa disedot oleh pipa raksasa, tubuhku terisap kuat dan berhenti secara tiba-tiba di atas kasur dengan posisi tangan dan kaki terikat tali. Pupil mataku melebar, menangkap sosok berpostur sedikit bungkuk, rambut ikalnya acak-acakan, sementara di tangan kanan dia memegang sebilah pisau kecil. Dia merangkak di atas tubuhku, merendahkan diri untuk menyapa bekas luka di leher yang pernah dibuatnya. Aku menjerit ketakutan kala dia berbisik,

"I'm back for you, Lizzie."

Membuka kedua mata saat tubuhku diguncang Emilia dengan raut ketakutan di wajah. Seraya bangun dari posisi tidur dengan napas yang tersengal-sengal, kedua tanganku gemetaran hebat. Lalu melihat sekeliling dan berhenti ke arah Emilia yang menyodorkan segelas air putih. Dia membantuku meneguk minuman agar bisa menenangkan diri. Air dingin yang melintasi kerongkongan kering ini setidaknya bisa mengembalikan kesadaran bahwa bisikan yang terasa nyata itu hanyalah halusinasi semata. 

"Are you fine?" tanya Emilia resah. "Kau berteriak seperti seseorang sedang mencekikmu dalam mimpi, Lizzie."

Ya! Dia benar. Ada seseorang yang mencekikku di dalam mimpi sampai untuk melawan pun tak bisa. Aku berpaling, memandangi kilauan lampu-lampu yang masih menerangi kota Manhattan. Tak ada kalimat yang mampu menjelaskan apa yang kurasa kecuali isak tangis karena kecemasan itu belum juga hilang. Suaranya masih terngiang-ngiang di kepala bahkan ... telepon tadi siang pun sama. Walau raganya tak berada di sini, tapi dia berhasil membuatku panik setengah mati hanya dengan satu kali ucap.

"I'm back for you..."

"Maafkan aku."

Emilia tak menjawab, melainkan merangkul tubuhku begitu saja seperti ingin menyediakan sedikit bahunya untuk merasakan beban yang kupendam selama bertahun-tahun. Isak tangisku makin kencang, jujur saja siapa yang tidak takut mendapat teror demi teror seperti ini? Di mana bajingan itu sebenarnya?

"Hei, aku ada di sini, oke?" Emilia menangkup wajahku. "Kau tak perlu takut, Elizabeth."

"Aku ... apa ada hal yang telah kulewatkan, Emilia?" tanyaku padanya. "Kenapa mimpi buruk ini kembali datang dan semakin nyata? Lalu ..." Menggigit bibir bawahku, memejamkan mata tuk meredam kegelisahan yang tidak hentinya membekapku sampai sesak napas. 

"Jangan kau pikirkan itu, Elizabeth." Emilia menyela tapi dari sorot mata itu, aku tahu sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. "Kau sakit dan harus sembuh secepat mungkin. Oke?"

###

Sampai subuh, nyatanya mata ini tidak bisa terpejam. Beberapa kali terjaga dengan debaran di dada kala mendengar hal sekecil apa pun. Sampai akhirnya tubuhku mulai dilanda lelah dan sedikit terlelap, pintu terbuka membuatku terperanjat kaget. Sial! Mimpi buruk semalam benar-benar berdampak pada kenyamanan di rumah sakit ini. Sekali pun VVIP, aku merasa tidak aman seperti seseorang bisa keluar-masuk dan membunuhku kapan saja. 

Perawat yang bernama Louise itu menjelaskan tentang prosedur pemasangan kantong darah setelah mencatat hasil pemeriksaan pagi. Dia menjelaskan kalau kantong darah yang disiapkan di atas troli perak ini adalah kantong darah PRC yang berisi plasma darah yang digunakan untuk pasien yang membutuhkan sel darah merah. Selain itu, dia berkata kalau tekanan darahku di bawah normal namun denyut nadi justru naik. Kujawab kalau semalam tidak bisa tidur sama sekali dan meminta kepada perawat itu untuk menyampaikan kepada dokter agar menambahkan obat tidur. Mungkin dengan menambahkan obat itu bisa membuat tubuh lebih rileks kan. 

"Akan saya sampaikan, Ms. Khan," kata Louise ramah. "Saya akan kembali sekitar lima belas menit untuk memeriksa apakah ada keluhan lain selama proses transfusi."

"Baik, terima kasih, Luoise."

"Aku akan berangkat kerja," pamit Emilia keluar dari toilet dengan make up yang sudah stay on di wajahnya. "Kalau ada apa-apa hubungi aku segera."

"Oke, hati-hati," kataku melambaikan tangan melepas kepergian Emilia dengan berat hati.

Menatap tetes demi tetes darah orang asing yang mulai memasuki tubuh, kemudian meraih ponsel di atas nakas di sisi kiri. Sejak kemarin, ponsel ini tak kusentuh sama sekali dan ... ternyata yang retak hanyalah layar pelindungnya. Ternyata banyak panggilan juga pesan salah satunya ibuku. Fuck! Dia adalah orang yang paling banyak mengirimi pesan teks yang kebanyakan berisi 'kau di mana?' 'apa kau benar-benar baik-baik saja?' 'jangan bohong pada ibumu dan segera telepon!'.

Kucoba menekan dial untuk menghubunginya. Bagaimana dia tahu aku sedang tidak baik-baik saja? Atau Emilia telah mengadu kepada ibuku yang mudah dilanda rasa panik? Jika dia sampai melakukan hal itu tentu saja perempuan yang tinggal jauh dari Manhattan bisa saja memesan tiket paling mahal hanya untuk menemui anaknya. Beberapa saat aku ragu dengan ucapanku sendiri, ibu tidak seperti itu, nyatanya saat pindah pun dia beralasan menunggu Lily yang sakit dan malah menyuruh William datang.

"Halo?" panggilku setelah terdengar suara ibu.

"Akhirnya! Dari mana kau Elizabeth! Kenapa tidak menelepon dan mengabari ibumu ini?" 

"Maafkan aku. Di sini ... pekerjaan sangat menumpuk dan tidak sempat meneleponmu. Bagaimana kabarmu dan Lily?"

"Kami semua baik- baik saja,"  jawab ibu. "Aku mendapat laporan dari seorang laki-laki bahwa kau sedang tidak sehat. Apa kau bisa istirahat di sana?"

Oh! sial! si Jhonson!

"Ya, tentu saja. Aku ... bisa istirahat."

"Kau tidak pandai berbohong, Elizabeth! Kau sakit. Dokter Margaretha memberitahuku kalau kau mengalami mimpi buruk semenjak bekerja di sana. Kenapa tidak cerita?"

"Rumit, Bu. Semuanya rumit ..." 

Mataku berkaca-kaca. Ingin rasanya aku bercerita banyak kepada ibuku tapi rasanya akan semakin membuatnya khawatir. Apalagi ini ada hubungannya dengan lelaki itu dan pastinya ibuku makin bersalah. 

"Tak apa jika kau belum bisa menceritakannya. Tapi, bisakah kita bertemu dua hari lagi? aku ingin melihat keadaanmu di sana. kuajak dokter Margaretha juga untuk berbincang bertiga. Bagaimana?"

Aku mengangguk. "Baiklah. Ehm ... Bu..."

"Yes, Darling."

"Can I fall in love with―"

"Oh tentu saja, Nak!" seru ibu antusias. "Who is He? Atau jangan-jangan lelaki yang meneleponku itu?"

Aku menggeleng. "Ayolah, ini tidak seperti yang Ibu pikirkan. Aku hanya menebak saja, apakah aku boleh sedangkan kau tahu kan kalau aku hanya gadis seperti ini."

"Hei, Sayangku," panggil ibu. "Cinta itu tidak pernah memandang sesuatu. Ini hanya tentang perasaanmu dan perasaannya, jika kalian saling mencintai maka dia akan melengkapi kekurangan kalian berdua, Nak. Semua orang terlahir tidak sempurna namun Tuhan menciptakan manusia untuk saling menyempurnakan. Kau paham?"

"Aku hanya takut saja. Kadang aku berpikir jika terlalu banyak berharap maka dia akan menghancurkan diriku."

"Jangan terlalu memaksakan diri kalau kau memang belum percaya. Tapi, Ibu percaya kalau dia mencintaimu maka dia akan membuatmu percaya padanya."

"Mungkin."

"Hei ... ingat yang diajarkan oleh dokter Margaretha? Bahwa setiap manusia memiliki sesuatu yang istimewa. Kau memilikinya Lizzie. Lihat dirimu, kau cantik dan pintar. Kau memiliki kecantikan seperti diriku dan kepintaran seperti George, ingat?"

Aku menghela napas panjang ketika ibu menyebut mendiang George. Ya Tuhan, aku sungguh merindukannya. Tiba-tiba derit pintu terbuka dan menampakkan sosok tubuh Andre berdiri di sana dengan setelan jas abu-abunya sambil membawa buket bunga mawar merah dan piza. Aku tersenyum dan sekarang tidak fokus pada kalimat yang dikatakan ibu di telepon saat pria bermata biru samudra itu melangkah mendekatiku dengan tatapannya yang intens.

"I know, "kataku asal. "Aku akan menghubungimu nanti, aku menyayangimu."

Aku memutuskan sambungan telepon saat Andre membuka kotak piza berukuran besar.

"Aku juga menyayangimu, piza," lanjutku dengan mata berbinar membuat Andre tertawa.

"Kau begitu lucu," kata Andre. "Bagaimana rasanya?"

Mengambil sepotong piza dengan taburan jamur dan paprika lalu melahapnya sambil menatap Andre seolah tidak mengerti pertanyaannya. Ah, akhirnya lidahku bisa merasakan kebahagiaan sedikit saja. Makanan di rumah sakit entah mengapa selalu hambar, apakah para koki di dapur tidak menambahkan garam atau kaldu di makanan pasien?

"Ini." Andre menunjuk selang infus yang masih mengalirkan darah dari kantong transfusi.

Aku melenggut lalu mengangkat kedua bahu seolah mengatakan ini semua biasa saja.

"Bagaimana tidurmu?"

"Buruk," jawabku jujur. "Aku sudah meminta kepada perawat agar menambahkan obat tidur."

"Bisakah kau jujur padaku?"

"I can't. Kau membuatku tidak nafsu makan." Kuletakkan sisa piza bersama potongan lain dengan kesal. 

Andre salah tingkah lalu mengambil sisa piza itu dan mengunyahnya. "Baiklah, maafkan aku, oke."

Pria itu menepuk ujung kepalaku lembut membuat perasaan aneh itu muncul kembali. Kuelus dada agar sensasi yang bisa saja melambungkan diri ini mereda dan tidak membuatku bertingkah seperti orang gila. Aku sudah mengikrarkan diri untuk tidak menaruh harapan setinggi langit kalau pada akhirnya dihempaskan sampai tak tersisa. Masih terbayang potongan adegan The Notebook saat Allison menangis tanpa henti seperti orang gila saat Noah pergi tanpa kabar.

"Apa kau tidak diikuti penggemarmu? Atau kekasihmu?"

Dia melengkungkan sebelah alisnya. "Kau kan gadisku."

Cih! Jawaban yang santai sekali!

"Aku bukan gadismu!" dengkusku. "Dengar, Mr. Jhonson, jangan memberikan harapan jika kau tidak bisa mewujudkannya."

Andre terdiam menatap wajahku tak suka. "Aku merasa tidak pernah memberikan harapan pada gadis lain. Ah, apa kau cemburu?"

"Jangan harap!" 

"Tapi itu tak berlaku padamu, Ms. Khan," katanya. "Bagiku kau gadis istimewa yang membuatku penasaran."

"Hanya penasaran? Lantas setelah rasa ingin tahumu selesai, kau akan pergi? Lelaki di dunia ini sama saja, mereka hanya bersemangat memancing ikan lalu melepaskannya ketika bosan."

Dia terbahak-bahak membuat rasa jengkelku bertambah. Aku benar kan? Nyatanya 99% lelaki di dunia ini seperti itu dan semakin tahun mereka hanya mengejar perempuan karena rasa penasaran. 

"Ini yang kusuka darimu. Aku bisa memiliki banyak topik untuk diperdebatkan denganmu, Ms. Khan," katanya sambil mengerlingkan mata. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro