Chapter 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I call you and I know it's crazy. That it's stupid but it's the truth."

-Christina Aguilera-

Berada di rumah sakit terlalu lama membuatku bosan setengah mati. Aku merindukan udara luar, merasakan hiruk pikuknya orang-orang yang sibuk dengan dunia mereka. Yang paling kurindukan adalah pekerjaanku, menyelesaikan tugas yang diberikan Mr. Lawren, meninjau kembali data-data pemasukan perusahaan yang sangat sensitif atau sekadar mendengar omelan Ketty yang tidak ada habisnya. 

Seraya berdiri di balik dinding kaca kamar tuk merasakan betapa hangat pelukan mentari pagi ini, ada satu pikiran yang menggangguku. Kadang aku merasa masalah kesehatan mental dan fisikku yang akhir-akhir ini sering tidak stabil. Kalian pasti tahu kan kalau sejak masuk kerja, selalu ada saja yang membuatku mendadak drop. Belum lagi serangan panik yang tiba-tiba datang tak diundang, meruntuhkan niat baik untuk menjalani hidup setelah terkurung dalam gelapnya masa lalu. 

Mengingatnya saja, aku langsung menangis sesenggukan. Tanganku gemetaran lagi dan di sekitar berubah menjadi begitu ramai dengan suara-suara ayah tiriku. Udara yang ada di sini rasanya semakin lama semakin menipis berbarengan dengan pendar matahari yang terasa membakar seperti ingin menyiksaku hidup-hidup. 

Tarikan di dadaku semakin kuat sampai timbul suara seperti orang sedang asma. Kupegang erat tiang infus seraya mengelus dada, menarik napas sebisa mungkin tuk menetralkan kembali irama jantung yang masih saja tak mau melambat. Air mataku semakin deras kala potongan mimpi buruk itu yang terpaksa dilawan dengan realita bahwa semua itu hanyalah bunga tidur yang tak selamanya indah. 

"Tuhan ... kenapa seperti ini?" lirihku.  

"Lizzie?" suara lembut itu membuatku memutar kepala. Ibu datang membawa sebuah bungkusan dan buket bunga, tergopoh-gopoh menghampiriku dengan wajah cemas setelah menaruh barang itu di atas meja. 

"Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba menangis, Bu," jujurku. "Aku ... aku merasa begitu ketakutan ..."

"Hei, hei, lihat Ibu, Lizzie." Dia menangkup wajahku. "Apa pun yang ada di pikiranmu, mereka tidak nyata. Kau ada di sini, mereka tidak ada, Lizzie."

Menganggukkan kepala, dia berkata benar lalu kupeluk ibu erat. Ah, maafkan anakmu yang sakit-sakitan ini. Sungguh tidak ada maksud bahwa Elizabeth Khan yang kau banggakan ke semua orang adalah gadis rapuh yang memiliki masa lalu kelam. 

"Ambil napas panjang, Lizzie ... itu akan membuatmu lebih tenang," bisik ibu membelai punggungku. "Ingatlah impian yang kau susun, Nak, hanya mereka yang bisa membuatmu lebih kuat menjalani hidup."

"Ibu benar." Kulepas pelukan dan memandangnya penuh kasih sayang, lantas mengusap jejak air mata yang belum kering. Rasa panik itu mulai pudar walau debaran di dada masih saja membuatku tersengal-sengal. Mengambil napas lalu membuangnya, melakukan hal itu sampai berulang-ulang dan meyakinkan diri bahwa apa yang ada di kepala sebatas halusinasi. 

"Sore ini kita akan pulang sesuai arahan dokter tadi kan?" tanya Ibu menuntunku untuk duduk di pinggiran kasur. "Ibu membelikanmu beberapa buah. Mau kubantu mengupasnya?"

"Iya. Dokter bilang hemoglobinku sudah jauh lebih baik dan perlu rutin komsumsi suplemen."

"Apa kau selalu makan dengan baik? Laki-laki yang namanya Mr. Jhonson itu berkata bahwa kau jarang makan," kata Ibu mengupas buah apel.

"Benarkah? Dia pembual sialan yang suka mengadu. Dia berbohong--"

"Tapi, dia tidak berbohong atas insiden yang menimpamu, Elizabeth," sela Ibu membuatku terpaku seketika. Ada guratan kesedihan yang terpancar di kedua mata yang mulai senja itu. "Kau pasti sangat terluka, Elizabeth ... kau pasti--"

"Aku baik-baik saja, Bu," potongku.

"Aku berharap dia segera dijemput ajal telah melukai anakku," pintanya yang semoga didengar oleh Tuhan dan ribuan malaikat di langit. 

Pelaku pelecehan seksual tak pantas mendapatkan tempat berpijak di bumi. Mereka hanyalah sekumpulan manusia tak bermoral yang tidak tahu berterima kasih sudah diberi nyawa di dunia. Yang di pikiran mereka adalah nafsu bak binatang mengabaikan psikologi korbannya, termasuk aku. Bahkan binatang pun masih tahu cara membedakan mana yang perlu mereka sayangi mana yang perlu mereka telanjangi. 

Oleh karena itu Tuhan, aku selalu berdoa hukumlah mereka seberat mungkin jangan Engkau beri mereka secercah cahaya-Mu, Tuhan. Mereka hanyalah manusia hina yang menghancurkan masa depan orang lain. 

###

Selagi menunggu Ibu menyelesaikan administrasi rumah sakit yang katanya dibantu oleh Andre, aku duduk sambil membuka laman Instagram. Iseng-iseng membuka akun milik si Jhonson yang ternyata cukup populer. Sayang, lelaki itu jarang update foto seperti pria pada umumnya tuk menarik kawanan lebah betina. Postingan terakhir saja sudah setahun lalu tapi banyak juga yang mampir ke foto Andre yang sedang duduk bersama beberapa orang dengan setelan baju mewah nan mahal. 

'Dia tampan.'

'Harusnya dia main film bukan mengurusi perusahaan milik Ayahnya.'

'Apakah kalian tahu siapa kekasih terbarunya?'

Kekasih? 

Hanya dengan komentar itu, jariku langsung meluncur ke situs pencarian dan mengetik kisah asmara Alexandre Jhonson. Seketika mataku membeliak. Gotcha! Aku benar kan! Mana ada pria yang mampu bertahan dengan satu wanita? Lihat saja di sepanjang laman internet, banyak website yang memberitakan dirinya dengan wanita A sampai Z, hubungan yang tidak pernah bertahan sampai enam bulan dengan alasan 'pribadi yang tidak cocok'. Cih! Apakah perempuan di matanya itu semacam ikan yang mudah didapat dengan sekali jaring?

Untung saja ucapannya lusa kemarin hanyalah angin lalu di telinga. Aku sudah membentengi diri dengan berlapis-lapis baja dan hampir membuka lapisan itu untuk menyilakan si Jhonson masuk. Jika tidak, mungkin aku sudah menangis tersedu-sedu mengingat dia adalah pembohong bermulut semanis madu. 

Ketukan di pintu membuyarkan rutukan yang ingin kulempar kepada si Jhonson. Ada seorang lelaki bertubuh tinggi dan kurus namun memiliki jambang yang menghiasi wajah mengenakan seragam cleaning service. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena dia memakai topi senada dengan seragam berwarna oranye itu. .

"Layanan kamar, Nona," katanya. "Saya mendapat panggilan bahwa kamar mandi sedikit bermasalah."

Kuanggukan kepala, lantas lelaki itu melangkah perlahan dengan kaki terseret seperti ada sesuatu yang menahan tungkainya itu. Tapi dari caranya menatap menyiratkan hal tersembunyi yang tak bisa kubaca. Beberapa saat suara pembuangan air di toilet terdengar, lalu dia muncul kembali seraya mencuci tangan di wastafel. Seketika itu juga aku berpura-pura memainkan ponsel, sementara ekor mataku mengawasi pergerakannya yang mengamati dari cermin. 

Entah ini imajinasiku atau bukan, aku mendengar suara tawanya. Lirih tapi terdengar seperti mengejek. Suasana di sini seketika menjadi panas dan kaku, meraba tengkuk leherku saat dia kembali memaksa kaki kanannya yang terlihat sedikit lumpuh. Aku tak yakin tapi itu benar adanya. Dia berhenti sejenak kala jempolku tanpa sadar menelepon ibuku. 

"Are you calling your Mom?" bisik pria itu sambil mendekatkan wajahnya padaku membuat diriku pucat seketika.

Suara itu...

"Si-siapa kau?" tanyaku gemetaran. 

"Lizzie ... ada apa?" Suara ibu terdengar, sayangnya lidahku mendadak kelu tidak bisa mengucapkan sepatah kata saat lelaki itu melumpuhkan otakku dengan tatapan iris matanya yang berkilat. 

Beberapa saat, pintu terbuka cukup keras membuat kami berdua menoleh. Dalam hitungan sepersekian detik, petugas cleaning service itu mendapat bogem mentah dari lelaki yang dasinya sudah tak rapi. Aku menjerit histeris saat Andre masih saja melayangkan pukulan tanpa henti dan lelaki yang dihajarnya hanya menerima tanpa membalas. Buru-buru kuputus sambungan telepon bersamaan dengan dua petugas medis yang melerai Andre dan si petugas kebersihan.  

"Andre! Stop it!" teriakku yang diindahkan oleh Andre sampai salah petugas medis yang hendak menariknya terjungkal ke belakang. 

Sampai si petugas kebersihan benar-benar babak belur, barulah Andre berhenti dengan napas terengah-engah, melirik ke arahku begitu murka. Lelaki yang sudah dihajar habis-habisan terbatuk, cairan darah keluar dari lubang hidungnya dan dua petugas medis tadi membantu berdiri. 

Dia menyeringai tipis, seolah rasa sakit yang diterimanya tidaklah begitu terasa menyakitkan. Dengan terpincang-pincang, dia berjalan keluar bersama petugas medis seraya meninggalkan sebuah kalimat yang membuatku merinding. 

"I'm back for you and you'll remember me."

Seketika itu juga tubuhku langsung kaku. Seberkas ingatan di mimpi malam-malam sebelumnya kembali hadir dan mencekik diri sampai dadaku kembali sesak. Aku jatuh terduduk, merangkul kedua lutut tuk menepis ingatan itu. Dunia rasanya berputar-putar, mengoyak-ngoyak diri ini lantas membentur sebuah benda yang sangat besar kemudian jatuh dengan kecepatan tinggi sampai terhempas ke dasar bumi. 

Rasa itu muncul menjadi gelombang yang membuat perutku mual, aku segera berlari ke kamar mandi, mengeluarkan semua isi lambungku. Suara itu ... jelas bukanlah orang asing melainkan seseorang yang menghilang kini datang kembali. Ayah tiriku. Aku yakin itu dia, tapi ... bagaimana bisa penampilannya sangat berbeda?

"Lizzie!" 

Itu suara ibuku.

"Dia kembali!" seruku ketakutan dengan serak. "Aku yakin itu dia, Bu!"

"Si-siapa?"

"Hei ... hei ... are you okay?"  tanya Andre yang berdiri di belakang ibuku.

Aku tak menjawab, menunjuk pintu keluar ruangan ini seraya berseru, "Pergilah!"

"Lizzie, What's wrong?" Ibu menatapku tak mengerti. "Mr. Jhonson, ada apa? Anakku kenapa?"

"Apa yang kau sembunyikan dariku, Mr. Jhonson?" tanyaku memandang tajam ke arahnya yang membeku di tempat seperti kehilangan kata. 

Dia memiliki sebuah rahasia yang tidak bisa kugapai. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro