Chapter 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'I've never been in love before so you gotta go easy on me.'

–Big Time Rush ft Jordin Sparks-

"Dengarkan aku dulu, Elizabeth!" seru Andre hendak meraih tanganku. 

Setelah menyelesaikan semua administrasi rumah sakit termasuk jadwal kontrol yang harus dilakukan dua minggu lagi. Tergesa-gesa aku menyeret tangan ibu untuk pergi meninggalkan lelaki yang terlalu ikut campur atas kehidupan pribadiku. Ternyata semakin kupikirkan, ada benang merah antara petugas kebersihan, pelaku di penthouse, serta ... berita yang mengejutkan yang baru saja kudengar dari mulut Andre. 

"... pelaku yang menyerangmu di penthouse kabur dari penjara beberapa hari lalu... dan--"

"Kau mengira lelaki tadi adalah lelaki yang menyerangku waktu itu?" potongku. 

"Tentu saja, kau tak tahu akar masalahnya, Ms. Khan."

"Billy Jenkins?" 

Wajahnya tercengang bukan main, bibir Andre terkatup rapat dan beberapa kali pandangan matanya tak mau menatapku. Dia tidak kunjung mengklarifikasi atas satu nama yang tidak pernah kusebut setelah empat belas tahun lamanya. Nama yang sudah membuatku terpuruk bertahun-tahun atas apa yang dilakukan pada gadis di bawah umur. 

Dan hal itu pula yang membuatku yakin atas dugaan Emilia bahwa mereka juga memiliki hubungan di masa lalu. Ayah-anak? Atau Andre dan adiknya memiliki hutang yang tidak bisa dibayar atau hal lain? Tidak ada jawaban yang pasti bahkan tidak ada artikel yang bisa menyebutkan dari mana asal-usul anak pengusaha Jhonson Corp itu. Mereka hanya mengatakan bahwa Alexandre Jhonson beserta adiknya diadopsi dari panti asuhan. Hanya itu.

"Billy?" Ibuku membelalakkan mata. 

"Sudah kukatakan bahwa bertemu denganmu adalah bencana, Andre," lirihku.

"Aku hanya melakukan ini untuk melindungimu Elizabeth Khan!" teriaknya menggema di lorong rumah sakit. 

Langkah kakiku terhenti saat ibu menahan lengan, memandang penuh cemas lalu berbisik, "Apa yang sebenarnya terjadi, Lizzie? Billy? Ayah tirimu--"

"Jangan sebut dia ayah!" pekikku tak terima. "Dia kembali, Bu! Sekarang aku tahu alasan mimpi buruk, serangan panik yang selalu datang, dan kondisi fisikku yang turun seperti ini karena dia!" 

"Kau bisa kembali ke rumah, Elizabeth... Kau tak perlu ada di sini."

"Aku bisa menjamin keamanannya, Nyonya," sahut Andre menghampiri dan masuk ke dalam pembicaraan kami. "Aku sudah bilang sedari awal mengapa merahasiakan ini kalau reaksimu seperti itu."

"Ini urusanku."

"Juga urusanku!" Andre tak mau mengalah sama sekali. "Kau, dia, dan aku ... kita ... kita memiliki hal yang tidak bisa terlepas begitu saja. Aku akan menghadapinya, Ms. Khan. Aku hanya perlu kau percaya padaku bahwa aku bisa mengatasi bajingan itu."

"Memangnya kau siapa? Polisi? Hakim? Tuhan? Jangan berlagak sok pahlawan, Mr. Jhonson," tolakku terang-terangan. 

"Jangan sok kuat kalau kau sendiri sering pingsan di kantorku, harus minum obat dikala rasa panikmu datang, dan kau gadis tidak tahu diri setelah mendapat semua bantuanku!"

Jika ibu tidak menahan diriku, mungkin tamparan keras sudah mendarat di wajahnya itu. Tanpa banyak bicara, dia merebut tas yang berisi baju-baju serta beberapa barang bawaan lain. Sementara ibu tak bisa berbuat banyak, aku tahu dia masih syok atas apa yang dia dengar dengan mantan suami kedua yang merupakan pelaku pelecehan seksual di penthouse milik bosku. 

"Jika Anda mengizinkanku, aku ingin Ms. Khan tinggal di tempatku, Nyonya. Jujur saja, dia selalu membuatku khawatir dan ... aku tidak percaya dengan teman sekamarnya itu."

"Aku lebih tidak percaya padamu!" sungutku tidak terima.

"Hei, Lizzie ..." lerai ibu. "Bisakah kita membicarakan ini nanti, Mr. Jhonson? Aku berterima kasih atas kebaikanmu tapi ... seperti yang dikatakan anakku, dia bukanlah orang yang mudah percaya kepada orang lain."

"Aku akan membuktikannya." Andre meletakkan tas itu ke lantai, lantas pergi meninggalkanku begitu saja. 

"Dasar bajingan!" desisku kesal. 

###

Mau tak mau, suka tidak suka, bukannya membaringkan diri untuk beristirahat, aku harus menjelaskan semuanya yang terjadi selama berada di Manhattan kepada ibu tanpa ada yang ditutupi. Walau berurai air mata sampai menghabiskan satu kotak tisu, pada akhirnya aku bisa menyelesaikan rentetan kejadian kepada perempuan yang memandangku penuh iba. Dia merangkulku, menangisi apa yang terjadi pada anak perempuannya yang selalu ditimpa kesialan tanpa henti. 

Sekalipun ibu mendengar sedikit cerita dari dokter Margaretha dan Andre maupun Emilia, semuanya tidaklah sama kala aku yang menceritakan kepadanya. Ibu berulang kali meminta maaf karena tidak ada di sampingku dan meminta maaf atas kesalahannya memilih Billy menjadi suami yang diharapkan bisa menjadi pengganti George. 

" ... dulu dia adalah lelaki baik, maka dari itu aku memilihnya, Lizzie," kata ibu sesenggukan. "Ibu sungguh minta maaf atas apa pun yang terjadi padamu. Ibu merasa tidak pantas menjadi orang tua layak untukmu."

"Jangan berbicara seperti itu, seolah kita perempuan lemah."

Dia tertawa sumbang, menyeka air matanya lalu membelai rambutku yang diturunkan dari DNA ibu. Rambut kecokelatan yang berkilau kala diterpa matahari, bergelombang seperti laut yang ingin menghancurkan karang. Dulu sewaktu kecil, ibu akan memuji betapa miripnya mataku dengan mata George dan sedikit sifat keras kepalanya. Tapi, saat bersama George, dia akan berkata bahwa aku adalah fotokopi dari ibuku sendiri yang tidak akan ada pengganti di dunia. 

"Kau gadis cantik yang sangat kuat, Elizabeth ... George akan sedih di sana saat melihatmu terluka seperti ini."

"Dia juga akan sedih jika melihat ibu menangis. Aku tidak apa-apa selama ada Emilia di sini."

"Bagaimana dengan bosmu?" 

Aku menggeleng pelan. "Ada dua sisi yang selalu memenuhi kepala setiap kali melihat Andre, Bu. Kadang aku suka dengan sikapnya yang selalu sigap tapi ... aku tidak suka dengan rahasia yang dia simpan sendiri. Di depannya, aku hanyalah perempuan yang lemah yang tidak bisa apa-apa karena fisik dan mental ini. Padahal mereka datang juga karena Billy bukan Andre. Apakah aku salah? Ibu paham kan maksudku?"

"Setidaknya niatnya baik, Elizabeth."

"Aku tidak bisa. Jangan memaksaku, Ibu sendiri bilang kepadanya seperti itu kan?"

Ibu akhirnya mengangguk pasrah menghadapi kegigihan prinsipku. Dia mengedarkan pandangan seraya menarik napas lalu berkata, "Aku harap kau aman di sini."

"Aku akan memasang CCTV dan memasang pengamanan pintu ganda."

"Ide bagus."

Sebuah ketukan mengejutkan kami, buru-buru aku beranjak dari sofa dan membuka siapa yang datang. Aku membelalak kaget mendapati Andre kembali datang dengan beberapa orang yang mengenakan seragam biru. Dia masuk begitu saja tanpa menungguku menyilakan masuk diikuti orang-orang yang membawa kotak perkakas. Andre menunjuk beberapa sudut dan sialnya kenapa dia bisa membaca pikiranku yang akan memasang kamera pengawas di sini?

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku.

"Kau tak lihat? Aku memasang kamera pengawas, kunci pintumu akan kuganti dan hanya orang tertentu yang tahu kodenya," jelas Andre. 

Sialan! Kenapa pikiranku sama dengannya. 

"Kau tak perlu repot-repot, aku bisa bayar sendiri. Kau tahu kan kita sudah menjadi bahan gosip di kantor? Kenapa kau tak urusi saja masalah di perusahaanmu yang pelik itu?"

"Kau tidak mau menawariku minum malah marah-marah? Cerewet sekali," ejeknya. "Kau tidak mau tinggal bersamaku, maka hanya ini yang bisa kulakukan supaya tenang."

"Seperti kau kekasihku saja," dengkusku melipat tangan di dada.

"Memang. Besok Minggu, aku ingin mengajakmu kencan."

Mendengar ucapannya wajahku langsung memerah. Kulirik ibu yang justru senyum-senyum mendengar kalimat Andre. Dia memandang dan menyiratkan bahwa setidaknya aku harus mencoba menaruh kepercayaan pada si pria pemaksa. 

"Tidak pernah ada kencan dalam hubungan kita."

"Ada. Kemarin di Luna Park sampai kau menciumku."

"Andre!" teriakku malu yang dibalasnya dengan kerlingan mata. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro