Bab 11 : Cerita Horor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bulu kuduk Ara meremang tanpa di komando. Baiklah. Ini sudah beralih menjadi cerita horor. Saat ia tengah bercumbu dengan Diaz, Wanita yang berstatus sebagai ibu kandung dari lelaki yang masih ia duduki pahanya, tengah memergoki mereka bertindak asusila. Walau masih bertempat di apartemen Diaz.

Tetap saja. Rasanya ini mengerikan sekali. 

Cepat-cepat Ara turun dari pangkuan Diaz dan mengancingkan kemejanya yang sempat dilucuti oleh Diaz, tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.

"Bisa jelaskan ada apa ini, Diaz?" Ara merinding mendengar nada tegas yang keluar dari mulut wanita paruh baya itu.

Sedikit memaksakan diri, Ara berbalik dan tersenyum sebaik mungkin.

Gila! Bahkan wanita itu hanya menampilkan wajah datar tanpa ekspresi, jangan lupakan tatapan menusuk yang benar-benar menusuk sampai ke tulang-tulang Ara.

"Se-selamat pagi, Nyonya." Diaz dan Maminya menukikkan sebelah alisnya mendengar sapaan Ara.

"Babe! Ini mamiku, jangan panggil nyonya. Soon to bee Nyonya ini bakalan jadi mami mertuamu." Kali ini Maminya Diaz yang hanya menukikkan sebelah alisnya.

"Mi, Ini Ara. Jenahara Harun. Calon mantu mami." Terang Diaz kembali ia mengigit sandwich yang dibuat Ara, mengunyahnya perlahan tanpa menghiraukan keberadaan maminya juga Ara yang masih berdiri kaku.

"Mami serius, Diaz."

Diaz meletakan kembali roti lapisnya di atas piring, memutar tubuhmya menghadap ke Ratmi—maminya Diaz. "Aku serius, Mi ...," berdiri dan mengenggam tangan Ara yang akan berbalik. "Aku bakalan nikahin dia secepetnya, Mi."

Ara hanya bisa tersenyum kikuk, sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Diaz yang menguat. "Diaz! Lepas dulu," bisik Ara masih berusaha keras.

Diaz menatap lurus ke arah Ara, seolah memberi isyarat "diem dulu, Ra.". Namun dehaman keras yang berasal dari Ratmi membuat Diaz mau tak mau melepas genggamannya.

"Silakan duduk, Tante. Saya buatkan teh hangat dulu, mungkin tante bisa ikut sarapan." Tawar Ara tanpa persetujuan wanita tersebut, berjalan menuju pantry.

Masih menatap lurus ke arah Ara, ibu kandung Diaz akhirnya duduk di samping putranya. Tatapan matanya tak mau lepas dari punggung Ara yang bergerak dengan lincah.

Dalam pikirannya, penampilan Ara bukan seperti wanita murahan yang pernah ia temui saat tengah berkunjung ke apartemen Diaz dulu. Gadis itu bahkan begitu cekatan kesana-kemari, seolah dia juga pemilik griya tawang ini.

Aroma jeruk lemon dan mint menyeruak melewati indera penciumannya, kala ia tersadar dari lamunan akan Ara.

Pandangan Ratmi—Maminya Diaz—beralih pada secangkir teh, dengan irisan jeruk lemon, dan daun mint yang ikut mengambang di atas irisan buah berasa asam itu.

"Diminum, Tan. Mungkin tante juga mau sarapan juga." Lagi, Ara menggeser pelan piring sandwichnya ke arah Ratmi.

"Babe, kamu nggak sarapan?" tanya Diaz yang masih mengunyah sarapannya.

Ara menggeleng cepat. "Aku harus berangkat, Yaz. Aku ada hutang kerjaan di kantor." Secepatnya Ara mengambil tas ransel yang sudah ia taruh bersisian dengan tas kerja Diaz. Memanggulnya agak tergesa, ia berjalan memutari tubuh Diaz dan meraih tangan lelaki yang sudah mengajaknya menikah.

Menempelkannya pada hidung dan menciumnya takzim. "Aku berangkat!" Menebalkan muka, Ara juga melakukan hal yang sama pada tangan Ratmi saat berpamitan. "Tante, saya berangkat dulu. Assalamualaikum."

Ratmi benar-benar dibuat melongo dengan tingkah Ara. Sejenak ia bahkan tak berkedip hingga tubuh kecil gadis yang diakui putranya adalah calon istrinya menghilang dari balik tembok partisi, kemudian memandang takjub ke tangannya sendiri yang Ara cium tadi sebelum berangkat kerja.

Diaz hanya bisa tersenyum pongah, di sela-sela kunyahannya. Ia tahu bahwa maminya ini tengah terkesima dengan kelakuan Ara barusan.

Satu hal yang Diaz sukai, detik di mana ia tinggal bersama dengan Ara adalah wanita itu akan selalu mencium tangannya ketika ia akan berangkat kerja. Tak jarang ketika Ara ijin untuk pergi dengan teman-temannya, wanita itu akan selalu mencium dan menghirup punggung tangannya sebelum benar-benar pergi. Ah, dia benar-benar seperti suami yang dihormati istrinya.

Diaz begitu menyukainya, ia benar-benar merasa dihargai sebagai lelaki. Dan perasaan bahagia layaknya suami mempunyai Ara sebagai istri yang sholeha.

"Aw!" Diaz terpekik merasakan hantaman di kepalanya. Meski tak terlalu kuat, tapi mampu membuatnya mengadu kesakitan. Membuyarkan lamunan Diaz akan rumah tangganya bersama Ara.

"Mami butuh penjelasan, Sultan Arkhadiaz Tjahir!"

Kali ini Diaz hanya nyengir kuda, menanggapi keinginan Maminya tersebut.

"Titahmu adalah tugas bagiku, Madam."

🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Ini benar-benar horor.

Bertepatan dengan jam makan siang, Diaz kembali menyatroni kubikelnya dan langsung menyeret Ara untuk ikut serta dengan pria yang mempunyai jabatan lebih tinggi darinya itu.

Haish! Lagi-lagi ia menjadi pusat perhatian karyawan lainnya yang kebetulan masih berkeliaran di lobi.

Ingatkan Ara, lain kali Diaz tak perlu menyeretnya seperti ini. Ia benci jadi pusat perhatian. Ia sangat tak menyukai hal itu.

Sebagai makhluk tak kasat mata di kantor, Ara lebih nyaman hanya dengan sebagaian orang yang tak mengenali dirinya. Hanya orang-orang yang berada di divisinya saja, tahu bagaimana seorang Ara.

Ara bukannya tak tahu gosip yang sudah beredar di kantor. Banyak yang sudah ia dengar, rata-rata lebih menyudutkan Aralah yang melemparkan diri ke Diaz, dengan iming-iming tubuhnya.

Geram! Tentu saja, hanya saja percuma juga Ara harus marah-marah tiap kali gosip itu menyatroni telinganya. Ara terlalu malas, karena memang kenyataanya adalah seperti itu.

Hubungannya dengan Diaz berlandaskan hubungan badan yang memang sering mereka lakukan. Mau menyangkal pun memang dialah yang lebih dulu melemparkan diri pada Diaz, saat dirinya mabuk. Jadi ... lebih baik tak menghiraukannya saja.

Ara hampir saja terjermbab akibat keserimpet, mendapati formasi lengkap keluaga Sultan Tjahir berada dalam satu ruangan VVIP sebuah restoran. Terbukti dengan kehadiran pria lanjut usia beruban, tengah duduk di ibu Diaz dan mungkin ayahnya. Napas Ara tercekat dan mengeratkan genggaman tangannya.

Ia tak pernah menyangkah akan bertemu dengan pendiri dan pemilik Sultan Cooperation, karena hampir di setiap perusahaan terpampang jelas potret besar pria yang bernama Sultan Tjahir tersebut.

Pria lanjut usia yang memulai bisnis di usia muda, dan berhasil dalam jangka waktu yang tak bisa dikatakan cepat. Butuh proses lama hingga mampu melembarkan sayap ke beberapa bisnis lainnya. Salah satunya Sultan Construction, tempat ia bekerja sekarang.

Melirik sebentar ke arah Diaz yang lebih menunjukkan wajah datarnya, tapi mampu membuat perasaan Ara ketar-ketir tak keruan.

"Diaz ...,"cicit Ara mendapati semua pasang mata memandang ke arahnya. Menyadari jika pria yang ia gandeng salah satu cucu Sultan Tjahir.

Pria ini terlampau tinggi untuk ia raih.

"Semuanya, kenalin. Ini Ara. Calon istri aku," ucap Diaz tanpa tedeng alih-alih. Membuat semua orang yang duduk di meja bundar itu menampilkan wajah kaget, kecuali Ratmi—mami Diaz—yang hanya menyesap tehnya tanpa menoleh sedikit pun.

"Duduk, Diaz!" Titah sang kakek.

Diaz dan Ara duduk berdampingan dengan ibunya, dan Ara di sebelahnya.

"Kamu gunain pelet apa sama Diaz? Sampe dia mau nikahin kamu?" Kali ini seorang wanita bersanggul yang mengeluarkan suara dengan nada menghina.

"Tante!"

"Kamu putus asa? Gara-gara Naina milih nikah sama Saka daripada sama kamu? Kok kamu milin calon sembrono sekali sih? Kamu pikir kamu gak tau gosip yang beredar soal wanita itu ...." karena sisanya Ara hanya bisa memejamkan matanya dan berusaha menyumpat telinganya meski suara hinaan itu tak benar-benar bisa menghilang dari pendengarannya.

Ah, orang kaya mah bebas mau ngatain orang miskin.

🌵🌵🌵🌵🌵🌵

Oke done.

Surabaya, 23-05-2019
—Dean Akhmad-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro