Bab 12 : Kegelisahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Be wise gaes, ada adegan dewasanya yak. Hihihihi.

🐣🐤🐣🐤🐣🐤

Ara memilih pamit ke toilet, setelah membuat isi kantong kemihnya yang tak seberapa itu ia menuju wastafel guna mencuci tangan. Awalnya ia sama sekali tak berniat membuang air kecil, hanya beralasan untuk kabur dari keadaan yang menegangkan tersebut. Berada di tengah-tengah keluarga Sultan Tjahir sangatlah mengitimidasi, apalagi mulut berbisa dari salah satu tetua di sana.

Oh Tuhan!

Tak pernah ada dalam pikiran Ara, bahwa sekarang dirinya berada dalam cengkaraman keluarga konglomerat nomer satu se Indonesia. Kejadian malam itu benar-benar telah mengubah nasibnya. Keisengan belaka yang berujung pada hubungan setengah serius seperti ini.

Membasuh mukanya di wastafel, Ara memandang sejenak wajah yang masih dipenuhi tetesan air tersebut.

Lihatlah, bahkan kau terlihat menyedihkan.

Seorang Jenahara Harun bersanding dengan Sultan Arkadiaz Tjahir, rasanya kok ... enggak cocok sama sekali. Seperti langit dan bumi, sangat jauh perbedaan diantara mereka. Baik secara jabatan, pendidikan, maupun secara strata sosial. Begitu jomplang.

Menarik beberapa lembar tisu yang tersedia di sebelah mesin pengering tangan, kemudian mengeringkan wajahnya dari butiran air yang tersisa. Mengambil bedak padat, Ara memoleskannya tipis-tipis agar tal terlihat begitu suram.

Setelah memastikan jika tak ada yang tertinggal, juga wajah yang sudah terpoles bedak tipis. Ara menghentikan langkahnya saat mendengar pecahan kaca berasal dari ruang VVIP yang ditempati oleh keluarga Diaz.

"Berhenti mengurusi hidupku, Kek. Pilihanku tetap pada Ara, dan secepatnya aku bakalan lamar dia ke keluarganya. Suka ato enggak, ini hidupku dan kakek gak bisa ngatur-ngatur."

"Kakek nggak ngatur, Diaz. Cuma pastikan kalo dia gadis baik-baik."

Diaz mengangkat sebelah alisnya. "Apa maksud, Kakek?"

"Kakek nggak mau kejadian di beberapa bulan lalu terulang lagi. Dulu kamu bersikukuh mempertahanin dia, tapi nyatanya wanitamu justru memilih yang lainnya. Padahal kalian sudah hampir menikah."

Jantung Ara berdetak tak karuan. Ia bukan penguping, tapi perkataan jelas antara Diaz dan Sultan Tjahir jelas membuat pikirannya kemana-mana.

Apa maksud dari ucapan mereka?

Lamunan Ara kembali terhenti begitu melihat semua makanan yang berada di atas meja berhamburan di lantai, dengan bunyi pecahan kaca saling bersahutan.

Apa yang sudah ia lewatkan barusan? Kenapa sekarang berubah menjadi huru-hara? Mata Ara terbelalak mendapati tangan kanan Diaz mengeluarkan darah.

"Diaz!"

Ara mencampakan tas tangannya begitu saja, dan langsung menghambur memeluk Diaz dari belakang. "Cukup, Yaz. Berhenti lukain diri sendiri." Lirih Ara yang kemudian melepas pelukannya, lalu beralih meraih tangan Diaz yang berdarah.

Gemuruh dalam dada Diaz sedikit berkurang karena merasakan pelukan Ara.

"Ra ...," panggil Diaz pelan dengan tatapan sayunya.

Ara mengenggam tangan Diaz yang berdarah, dan meliriknya sebentar. "Kebiasaan deh, banting-banting barang kalo lagi emosi," gerutu Ara seraya mengambil sapu tangan tanpa persetujuan sang pemiliknya, Ara membelitkan sapu tangan bemotif kotak-kotak pada telapak tangan Diaz yang berdarah.

"Jangan dibiasain!" Ara menatap langsung ke mata Diaz dan tersenyum lembut. "Ayo pulang, kita obatin lukamu di rumah aja." Diaz mengangguk pelan, membuat Ara kembali tersenyum.

"Kami pulang duluan, makasih untuk makan siangnya." Ara mengandeng tangan Diaz dan membawanya pergi. Melihat tas milik Ara tergelatak begitu saja, Diaz berhenti dan mengambilnya kemudian melenggang begitu saja tanpa menengok kembali.

Semua perlakuan Ara saat Diaz emosi tak luput dari penglihatan seluruh keluarga Sultan Tjahir. Tak ada yang menduga jika gadis itu bisa meredakan emosi Diaz yang selalu meledak-meledak tanpa terkendali. Bahkan Naina Salim dulu tak mampu melakukan hal yang dilakukan oleh Ara, orangtuanya pun juga sama.
.
.
.
Sesampainya di apartemen, Diaz langsung membombardir Ara dengan ciuman rakus dan menggebu-gebu tanpa repot menutup pintu terlebih dahulu.

Beruntung pintu tersebut bisa menutup otomatis, sama terburu-burunya Ara menanggalkan jas milik Diaz dan membalas ciuman Diaz dengan tak kalah rakusnya.

Diaz menangkup kedua bokong Ara kemudian mengangkatknya, membuat wanita reflek mengalungkan lengan di bahu lebar Diaz dan mengapitkan kaki di pinggang lelaki berkemeja yang sudah tak terkancingkan separuh karena jari lentiknya.

Ciuman Diaz terasa kasar dan terburu-buru, bahkan cengkeraman di bokongnya menguat. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa ia butuh melampiaskan emosinya.

Dengan bibir masih bertautan, Ara bergegas melepaskan manik kancing kemeja Diaz yang tersisa dan meraba dada bidangnya hingga erangan keluar di sela-sela ciuman mereka.

"Akan kumasuki kamu dengan kasar ..." Ara menjambak rambut Diaz hingga ciuman mereka terlepas dan menatapnya dengan tatapan penuh gairah, karena pada dasarnya Ara begitu menyukai Diaz menyentuh tiap jengkal tubuhnya.

"Aku udah nggak sabar ... kamu memasuki dengan kasar," bisik Ara dengan napas tersenggal yang justru membuat Diaz kembali menyambar bibirnya yang sudah membengkak.

Diaz menurunkan tubuh Ara tepat di samping ranjang, tanpa melepas ciuman mereka. Masing-masing saling melucuti pakaian yang tersisa, membuat suasana semakin memanas dengan erangan mereka.

Kepala Ara sudah pening karena gairah yang mudah tersulut, begitu pun dengan Diaz. Ia bahkan tak membiarkan Ara menganggur lama. Membaringkan tubuh polos Ara, Diaz kembali bekerja dengan tangan dan bibirnya dalam mengeksplor tiap jengkal tubuh Ara.

Ini memang bukan pertama kalinya mereka melakukan seks panas. Menyentuh Ara seperti candu bagi Diaz, ia tak berhenti memuja tubuh Ara yang pas seakan memang tercipta untuknya. Ara itu candu untuk Diaz, tak pernah ada kata puas.

Ara sendiri sudah kelimpungan dengan mengimbangi sentuhan Diaz di seluruh tubuhnya, ia bahkan sudah pasrah atas apa yang akan Diaz lakukan. Ara hanya bisa mengerang nikmat atas gairah yang disuguhkan pria bertato yang masih bergerak kasar namun tak mengurangi Ara untuk menyerukan nama Diaz, ketika ombak kenikmatan menggulungnya bersamaan dengan lenguhan panjang Diaz.

Tanpa melepas penyatuan mereka, Diaz ambruk di atas tubuh Ara yang sengaja memeluknya dan menyugar rambut tebal Diaz yang berantakan karena ulah tangannya. Sama-sama mengatur napas, Diaz kembali menelusupkan wajahnya di cerukan leher Ara yang masih melakukan hal sama namun lebih terlihat nyaman bagi keduanya.

"Jangan pergi!"

"Kenapa aku harus pergi?"

"Karena aku nggak sempurna."

"Nggak ada yang sempurna, Yaz."

"Aku tau ... tapi dia lebih milih ninggalin aku. Daripada menetap di sampingku."

Dia? Dia siapa? Ada apa sih dengan keluarga Diaz?

"Dia ... ninggalin aku dan lebih milih bang Saka. Padahal dua jam lagi kami akan menikah."

Tunggu! Dia? Bang Saka?

Baiklah, sepertinya ia harus kembali memutar memorinya saat makan siang tadi. Ara mengenal jelas sosol.Sultan Tjahir karena potret besar terpampang jelas di lobi kantor. Lalu di sebalahnya, Ara pun tahu jika pasangan paruh baya itu adalah orangtua Diaz. Karena sebelumnya apartemen mereka di datangi oleh sosok seorang wanita yang telah melahirkan lelaki dalam pelukannya kini.

Kemudian, ada satu lagi pasangan paruh baya. Sedari awal si wanita dengan dandanan ala-ala ibu pejabat—minus sanggul anti badai—menatapnya dengan tatapan sinis dan tak suka.

Ya Tuhan! Siapa sih mereka? Setahu Ara Sultan Tjahir mempunyai dua orang anak laki-laki, yang sekarang ia yakini adalah paman dan bibinya Diaz.

Dan ... ada seorang laki-laki berwajah hampir sama dengan Diaz, namun terlihat lebih tua dan seorang wanita berambut panjang terurai. Duduk dengan elegannya yang sesekali mengelus perut buncitnya.

Kalau Ara tak salah menduga pasangan muda itu adalah Saka dan Naina.

Mengingat bagaimana cantiknya Naina Salim, seketika dada Ara seperti ada yang memukul keras. Jelas ia kalah jauh dengan Naina, dibandingan dia yang hanya sekelas upik abu dan karyawan biasa.

Patut saja para tetua di keluarga Sultan Tjahir begitu tak menyukai kehadirannya yang jauh dari kata sempurna. Jelas ia hanya seorang rakyat jelata yang bermimpi bersanding dengan seorang bangsawan.

Mustahil!

○○○○○○◎

Kelar yes.

Akhirnya. Sori kalo ada typo. Ini nulis langsung upload.

Mahalo
-Dean Akhmad-
11-08-2018

Revisi
22-08-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro