Bab 4 : Bertemu Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diaz mencampakan kertas-kertas yang sudah ia pegang sedari tadi, tanpa peduli lagi kertas itu tak semulus seperri semula. Setengah mati ia menahan pusing sebab laporan pergudangan yang masih semerawut.

Kalau begini bagaimana caranya divisi perencanaan bisa melaksanakan proyek tepat waktu, jika gudang mengalami kemoloran yang luar biasa ngaret. Seharusnya sudah mencapai hampir 70%, tapi karena keterlambatannya sampai sekarang tak ada perkembangan yang signifikan.

Dia benar-benar pusing sekarang.

Menyugar rambutnya yang sudah berantakan ke belakang, Diaz kemudian memutar kursi singgasananya mengarah ke belakang. Penampakan Jakarta siang hari sedikit mampu menghilangkan kepenatan meski tak banyak.

Belum lagi sosok gadis yang sudah ia ubah menjadi seorang wanita, berhasil mengambil alih pikirannya.  Bahkan hingga saat ini ia belum tahu di mana keberadaan wanita itu.

Aku bisa gila! Diaz mengumpat dalam hati, lalu memilih berdiri dengan tangan kiri berada di pinggang sedangkan tangan kanan menopang kepalanya dengan bertumpu pada dinding kaca.

Diaz hanya mampu memandangi lalu lalang kendaraan bermotor yang ada di bawah sana, tapi pikirannya tak berada ditempat yang sama dengan raganya.

"Lo mikir apa sih, Yaz? Sampe gue dateng aja gak lo sambut." Diaz menghentikan aktivitasnya mengurut kening.

"Lo kapan datang?" tanya Diaz menyorot langsung sahabatnya yang telah duduk santai di single sofa.

"Dari tadi! Elonya aja yang ngelamun nggak jelas."

Diaz kembali menyugar rambutnya, lalu berjalan ke sudut ruangan. Membuka kulkas mini bar dan mengambil dua kaleng soda berasa sttoberi.

"Gue nggak ada bir," sahut Diaz cepat menyodorkan langsung pada Samudra. "Gue sibuk! Kalo lo cuma mau nongkrong mending lo balik. Gue gak ada waktu."

"Ck! Segininya amat gue punya sahabat," decak Samudra membuka kaitan kaleng hingga suara desisan khas sodanya terdengar. Lalu menenggaknya dengan enggan.

"Lo ngapain ke sini?"

"Ngajakin elo. Kekawinannya Reza." Samudra melemparkan kertas persegi berwarna merah marun dan emas. Ia bisa melihat nama Reza dan Raina sebagai calon pengantin, bertuliskan tinta emas.

Dua bulan lalu namanya di sebuah undangan, bersanding dengan Naina Salim. Namun sepertinya takdir tak berpihak, tepat di hari pernikahannya justru bukan ia yang berada di sana. Duduk bersebelahan dengan Naina sebagai calon mempelai pria yang akan menjabat tangan penghulu, melainan kakaknya Arshaka.

"Reza?" Diaz mengerutkan dahi. Mencoba mengais sisa-sisa ingatan masa kuliahnya. "Reza bajigur?"

"Gue pikir elo udah lupa?"

"Siapa yang lupa sama tuh anak? Saking sukanya sama bajigur, tuh anak tiap hari selalu bawa bajigur di botol minumnya."

Samudra terkekeh mendengar penjelasan Diaz. Ia tak menyangka teman seperjuangannya masih mengingat Reza. Meski bukan Reza bukan mahasiswa tenar, Diaz tetap mau berteman dengannya. Padahal pria yang sekarang menjabat sebagai Direktur Sultan Construction ini adalah mahasiswa yang cukup populer di saentaro kampus kala itu.

Selain tampang yang rupawan. kampus tempat mereka menuntun ilmu, kampus itu bernaung pada satu yayasan atas kepemilikan keluarga Diaz. Jadi ... siapa yang menolak pesona putra mahkota keluarga Sultan Tjahir. Walau si pemilik pesona itu hanya bisa menunjukkan wajah datar.

"Kapan acara nikahannya Reza?"

"Ntar malem, jam tujuh di ballrom hotel The Sultan." Samudra melihat perubahan raut wajah Diaz. Bukan ia tak tahu sejarah Diaz akan ballrom di hotel tersebut. Meski hotel itu masih milik keluarganya, dan kakaknya lah yang memegang sektor perhotelan.

"Waktunya move on, Bro. Meski gue tau itu gak mudah. But ... life must go on. Gue cabut dulu," ujar Samudra  meninggalkan Diaz yang masih terdiam di tempat duduknya.

Kalau boleh Diaz mengumpat, ingin sekali ia berteriak. Diantara ratusan hotel di Jakarta, kenapa teman kuliahnya tersebut justru memilih The Sultan.

Menghembuskan napas lelah, Diaz bersandar pada sofa. Di antara semua hotel yang ada di Jakarta kenapa harus The Sultan Hotel.

Tak dipungkiri ia memang sedikit trauma jika harus kembali lagi menginjakkan kaki di ballroom itu lagi. Tapi ... hidup terus berjalan, mau tak mau ia harus menghadapi hal seperti ini.

Ia tak mungkin terus-terusan berada di kubangan kesedihan hanya karena gagal menikah. Tak ada salahnya sedikit uji nyali.

Sedikit merapikan kancing kemejanya, Diaz menghembuskan napas perlahan, memantapkan hati untuk memasuki ballroom yang sama untuk pernikahannya dulu.

Seperti deja vu. Diaz harus kembali menginjakkan kakinya di dalam ballroom ini. Jika dua bulan yang lalu ia yang mempunyai hajat, maka sekarang dirinya yang hadir sebagai tamu.

Miris.

Kisah yang seharusnya berakhir bahagia, berubah menjadi tragedi yang mengahancurkan hatinya. Masih segar diingatannya saat Naina menolak dirinya ketika ijab qobul akan dilaksanakan. Wanita itu malah meminta Shaka untuk menikahinya, padahal jelas-jelas harusnya ia lah yang menikahi Naina.

Tapi ... Ah, sudah lah.

Diaz mengedarkan pandangan, mencari-cari sosok Samudra dan kedua sahabatnya yang lain tengah berbincang-bincang dengan beberapa orang yang Diaz pun mengenalnya.

Langkah Diaz terhenti, ketika netra hitamnya menangkap siluet wanita yang sedang mengantri untuk bersalaman dengan pengantin di atas pelaminan.

Itu Ara! Wanitanya.

Baiklah. Diaz terbilang nekat mengklaim Ara adalah wanitanya. Karena sudah jelas ia lah yang mengklaim gadis itu, mengubahnya menjadi seorang wanita.

Diaz takkan ikhlas jika Ara dimiliki pria lain. Dirinya lah pria pertama Ara, jadi dia juga yang harus memilikinya.

Diaz menyunggingkan senyumnya, ia tak menyangka jika aksi labilnya tadi sesaat akan memasuki justru mempertemukannya dengan Ara.

Diaz memilih bersandar pada salah satu tiang penyangga dengan bersendekap, sedari tadi matanya mengikuti semua yang di lakukan wanita berpakaian kebaya kutu baru yang dipadu sepan pendek selutut bermotif batik.

Penampilan Ara tak seglamor teman-temannya, tapi tetap terlihat anggun dan cantik secara bersamaan di mata Diaz.

Setelah Ara dan teman-temannya kembali duduk di meja bundar yang disediakan oleh panitia acara, barulah Diaz menghampiri Samudra dan kedua teman lainnya yang ternyata mengambil tempat duduk tepat di belakang Ara.

"Gilak ya si Rania. Nggak nyangka banget dia dapet cowok tajir." Ungkap suara cempreng seraya menelan kudapan yang tersedia di tas meja mereka.

"Elo kan tahu kalo Rania dasarnya emang anak orang kaya," sahut satunya lagi. Kali ini ia menyesap cairan pekat berwarna merah dan berasa stroberi.

"Oh, iya ... bukannya elo bilang bakalan nikah sama Mario bulan ini? Sampe akhir bulan undangannya kok gak disebar-sebar? Katanya lo mau nikah sama pengusaha kuliner itu. Jangan-jangan lo hoax lagi?"  Ucapan si suara cempreng itu sontak membuat ketiga orang lainnya terkekeh geli.

Dalam pikiran mereka, mana mau seorang pengusaha nikahin cewek tomboi yang nggak ada anggun-anggunnya ini. Lihat saja cara makan Ara yang berantakan dan serampangan, apalagi ketika Ara menggulum kelima jemarinya hingga bersih dari cream kue yang sudah ia telan habis dalam dua kali gigitan. Sama sekali tak mencerminkan seorang wanita berkelas.

"Gue udah putus sama Mario," jawab Ara santai menggendikan bahunya.

"Mario selingkuh kalo kalian pengem tahu, ketahuan Ara pas ML sama cewek berpakaian ketat."

Tawa mereka pecah seketika mendengar penuturan Nuril—sahabat Ara semenjak SMA—antara merasa luci atau merasa kasihan.

"Lo nggak sayang ngelepasin tambang emas macem Mario? Kenapa lo nggak maafin dia, dan anggep kejadian itu nggak ada."

Ara menyimpan sendok yang sebelum ia pakai untuk menyuapkan kuah panas dari tongseng kambing. "Gue lebih berharga dari duitnya Mario." Teman-teman Ara berdecih mencemooh.

Hari gini melewatkan seorang pengusaha sebagai calob suami. Wow ... akan lebih baik dia memaafkan daripada harus kehilangan tambang emas. Sayangnya tidak dengan Ara.

"Kesetiaan harga mati buat gue. Belom nikah aja dia udah berani selingkuh, apa kabar kalo udah nikah. Say to sorry .. gue menjunjung tinggi kesetiaan. Karena bagi gue cowok gak hanya dipandang dari kemapanan mereka, tapi juga kesetiaan. Itu cowok sejati!" Ara kembali menyuapkan kuah tongsengnya yang tertunda.

Diaz yang tepat membelakangi Ara, tersenyum puas dengan jawaban wanita bersanggul modern ala-ala SPG departemen store tersebut.

"Setahu gue lo kan sekantor sama mona, tapi kok Mona bilang dia sama sekali nggak pernah liat lo di kantor?"

"Berarti lo kerja di Sultan Construction," tanya Vania tanpa babibu.

"Serius?" Kali ini mereka bersamaan tercengang.

"Ah, elo kan dari dulu kek makhluk astral. Nggak pernah keliatan wujudnya." Ara hanya menggeram tanpa memerdulikan omongan ketiga temannya tersebut.

Melirik ke arah Nuril, dia juga sama malasnya menanggapi ucapan ketiga wanita yang duduk berseberangan ini.

"Kalian tahu, gue risih jadi perhatian. Mending orang nggak tahu klo gue ada. Apalagi kudu njilat ke atas. Gue sih ogah. Kurang kerjaan banget."

Skakmat!

Mereka mendengkus hampir bersamaan. Bertiga memang selalu samaan setiap kali melakukan banyak hal, walau kantor dan pekerjaan mereka berbeda. Tapi julidnya selalu kompak.

"Elo belom bisa move on dari Mario?" Tangan Ara menggantung mendengar pertanyaan itu.

Move on? Hatinya bahkan terasa kebas untuk kembali merasakan yang namanya cinta. Ia masih ingin menyembuhkan luka hati, ketimbang mencari pengganti Mario. Walau ia sendiri sangsi apa bisa mengganti pria itu.

"Yank ... sorry aku telat!" Ara tersedak kuaj tongseng kambingnya, begitu sebuah kecupan mendarat tepat di keningnya.

Meraih gelasnya, Ara meminumnya tergesa-gesa. Usapan di lengannya membuat Ara mendongak. Matanya membulat sempurna melihat Diaz berada di sampingnya. "Di-Diaz!?"

"Maaf aku telat. Kamu gak nunggu lama, 'kan?" Diaz kembali mengecup tangan Ara yang diberi sambutan oleh wajah kaget mereka bertiga termasuk Nuril.

Bahkan Ara menggeleng kaku.

"Kamu gak kenalin aku, Yank?"

Ara meneguk ludahnya susah payah, sedikit berdeham ia mengenalkan Diaz. "Gengs. Ini Diaz. Dia ..."

"Calon tunangannya," sahut Diaz yang mendapatkan senyuman kaku di wajah Ara.

Mata mereka sukses membola berjamaah.

"Elo kok gak bilang kalo mau tunangan, Ra?"

"Ehm ... itu-"

"Ara belum siap go public soal hubungan kami."

"Kalian satu kantor?"

"Iya, kita satu kantor. Itu sebabnya dia masih malu."

Diaz memangku kepalanya dengan sebelah tangan yang tertekuk di atas meja. Memandang Ara secara keseluruhan dari jarak dekat.

Wajahnya yang berpoles make up tipis dan bibir yang beralaskan lipstick merah muda. Secara keseluruhan tampilan Ara malam ini membuat Diaz ingin mencumbunya habis-habisan.

Apalagi gerakan lidah Ara menyapu bekas makanan yang tertinggal di ujung bibir, bagaikan gerakan slow motion untuk Diaz. Membuatnya berkhayal bagaimana rupa Ara dengan rambut terurainya di atas bantal, tentu dengan dirinya di bawah kungkungan tubuhnya.

Mau tak mau Dia meneguk ludahnya dengan susah payah. Ah ... ia semakin tak bisa mengontrol diri. Mesum sekali dirinya.

Tanpa persetujuan pemilik tangan, Dia menarik Ara hingga hampir terjungkal kebelakang mengimbangi gerakan tiba-tiba Diaz.

"Yuk, Yank. Kita temui Reza."

"Eh ... tapi aku udah ke sana tadi."

"Aku yang belom, Yank!" Tanpa persetujuan, Diaz sudah menarik tangan Ara dan menghelanya menuju pelaminan. Tentu saja setelah drama pamitan yang sudah di dramatisir oleh Diaz.

Diaz hanya tersenyum semringah seraya mengenggam erat telapak tangan Ara, bahkan ia tak segan-segan mengangkat kaitan tangan mereka. Seolah mereka sedang in relationship.

Jangan tanya bagaimana reaksi Ara, ia hanya bisa tersenyum simpul tanpa mengeluarkan suara kala tamu undungan bertanya status mereka. Ara hanya bisa pasrah begitu Diaz menggiringnya keluar ballroom.

"Sialan! Kamu, Ra." umpat Diaz begitu mereka berbelok di lorong sepi.

Tanpa aba-aba Diaz mendorong tubuh Ara, hingga terhimpit tubuh kekarnya. Mencium bibir Ara dengan mengebu-gebu.

Diaz menyeringai penuh kemenangan melihat reaksi Ara yang mulai membalas lumatannya.

Diaz melambatkan tempo ciumannya, menyesap bibir Ara, dan menjilatnya juga mengigit pelan. Yang paa akhirnya membuka akses penuh ke dalam rongga mulut Ara.

Persetan dengan tata krama.

Saat ini ia menginginkan Ara mengungkungnya dibawah tubuhnya, membuat tubuh kecil itu mendesah dan meraih puncak bersamaan, juga berbagi keringat denganya.

"Araaa ... kamu bikin aku gila." desah Diaz yang kembali menghajar bibir Ara.

★★★✩✩✩✩✩✩★★★

Plak/ authornya geje.

Maap ya, saya dapet feelnya di lapak ini. Gimana dong? Yang penting apdet kan. Butuh asupan lebih nih. Hasil ngebut nih authornya ngetik saei jam satu dini hari tadi.

Udah dibela-belain begadang juga. Jangan lupa vote, komen, kritik sama saran.

Jangan sungkan la yah, apa perlu authornya share akun line? Buahahahaha. Pede gila authornya.

Dah ah, selamat membaca ya.

-Dean Akhmad-
05-06-2018

Repost: 20/03/3018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro