Bab 3 : Pencarian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tumben jam segini udah di sini lo?" Seorang lelaki berkaos  dongker, dengan beberapa tindikan di telinga dan hidung  menyodorkan segelas whiskey on the rock pada Diaz.

Diaz melirik jam tangannya, masih setengah sembilan. "Ehm! Gue lagi nyari orang," jawab Diaz sekenanya kemudian menenggaknya dalam sekali teguk.

"Cewek tempo hari?" Tebak bartender itu seraya meracik minuman pesanan tamu lainnya kemudian mengangsurkan pada pengunjung bar lainnya di seberang sana.

"Lo tau cewek itu?" Diaz mengubah posisinya jadi menghadap lelaki dengan piercing sebesar biji kelereng, kali ini pria bertato hingga ke leher itu sedang mengelap gelas berkakinya.

"Cewek itu orang baru, gue tau semua langganan club ini. "

Diaz hanya mendengkus tak suka, "Iyalah!"

"Itu lo tau."

Kembali Diaz menenggak whiskey yang untuk ketiga kalinya. "Karena gue yang ambil keperawanan dia!" celutuk Diaz yang tak mungkin didengar oleh orang lain, termasuk  sang bartender sendiri karena suasa bising menyergap kedua  indera pendengarannya.

Diaz tak meyangkal hal itu.
Terbukti adanya bercak merah tertinggal di sprei, meyakini bahwa ia sudah bermain-main dengan anak gadis orang. Diaz mengusap kasar wajahnya, ini sebuah kesalahan. Meski dirinya bukan lelaki yang suka gonta-ganti wanita, tapi ia tak setega itu mengambil kehormatan seoran gadis. Ia merasa harus bertanggung jawab.

Ia pernah melakukan hal itu dengan seseorang yang ia cintai, Naina Salim misalnya. Itupun Naina sudah bukan perawan ketika Diaz melepas keperjakaannya. Sepanjang usianya selama tiga puluh satu tahun, hanya Naina yang menjadi kekasih dan teman tidurnya. Satu-satunya wanita yang ia cintai dan ia benci secara bersamaan, hingga sekarang pun perasaan itu masih bercokol di hatinya.

Wanita yang sukses membuat kepingan hatinya tercecer tanpa bisa memungutnya. Sebulan terlewatkan, tapi rasa sakit yang tertinggal masih terasa menyesakkan di dada.

Alih-alih berubah menjadi predator wanita dan penyuka alkohol, seperti kebanyakan pria yang patah hati. Diaz lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya, bahkan ia memilih pulang ke apartemen dari pada kerumah keluarganya.

Diaz ingat betul kejadian malam itu. Ia ingin pergi ke kelab malam milik sahabatnya, Sam. Tanpa maksud apa-apa, hanya sebagai penghiburan diri melepas penat akan pekerjaan. Diaz duduk di bar stool sembari menunggu ke dua temannya yang lain datang, kemudian tiba-tiba saja seorang wanita melemparkan diri secara sukarela tepat kepelukannya.

Awalnya Diaz pikir, wanita ini hanya iseng belaka. Ia pun tak menanggapi secara serius, dan melanjutkan minum whiskey yang disajikan Joni—bartender saat itu. Diaz begitu kaget ketika wanita itu mengambil paksa gelas yang dipegangnya, menyimpan di atas meja.

Sekilas Diaz mengerling pada gadis itu, ah tidak. Wanita itu! Ia begitu mengoda, meski Diaz tahu kekakuan Ara dalam mengoda dirinya.

Tak jauh dari tempat ia berdiri, Diaz melihat segerombolan wanita tengah tertawa cekikikan melihat tingkah Ara.

"Panggil aku Ara, maka aku siap jadi milikmu." Desahan Ara sukses membangkit sisi liar dari seorang Diaz. Apalagi ketika Ara tiba-tiba menciumnya, membuat Diaz terbelalak kaget. Hanya menempel, ia bahkan tak melumat dan menyesap bahkan tidak memainkan lidahnya. Ciuman kaku Ara membuat Diaz penasaran dengan wanita itu, ia tahu Ara tak pandai mengoda.

Dia memang bukan pria suci, dalam kurun setahun pasca tragedi tersebut, beberapa kali ia melakukan one night stand dengan wanita yang berpengalaman, yang dapat ia temukan di kelab malam milik sahabatnya, Samudera.

Begitu juga dengan jemari lentik Ara yang sudah menyentuh tubuhnya dari berbagai sisi, semakin membuat gairah tertahan Diaz tersulut. Dan remasan kecil di pangkal pahanya membuat Diaz tak mungkin bisa membendungnya lagi.

Diaz pria normal, meski dirinya tak berada di bawah kendali alkohol tetap ia tak bisa menolaknya. Maka dengan sisa akal yang tersisa, Diaz meraih tengkuk dan pinggang gadis itu. Memperdalam ciuman sudah dimulai sang gadis, hingga napas dalam paru-paru mulai menipis Diaz melepaskan cumbuannya.

Diaz tersenyum simpul melihat bibir Ara yang membengkak karena ulahnya, meraba dengan jempol yang tepat berada di sana. Sekali lagi membuat Diaz tergoda.

Otaknya menyuruh Diaz untuk berpaling, tapi reaksi tubuhnya mengkhianati. Diaz menerima perlakuan kaku Ara, tapi semakin membuat Diaz ketagihan dan berakhir di apartemen Diaz.

Diaz menghembuskan napasnya kasar, wanita itu telah mengusik kehidupan tenangnya. Ia tak bisa lagi menghiraukan Ara. Jika saja Ara bukanlah seorang perawan, mungkin Diaz dengan senang hati menganggapnya seperti wanita-wanita diluaran sana. Ia tahu Ara berbeda.

Racauan Ara sebelum akhirnya takluk di bawah kungkungan tubuhnya yang berhias tato, membuat Diaz tahu betapa ia putus asa karena menganggap dirinya tak berharga, dan tak menarik bagi lawan jenis.

Berkali-kali di campakan dan di khianati, membuat Ara seperti wanita yang tak pernah di inginkan. Racauan tersebut menyulut Diaz untuk membuktikan bahwa pandangan Ara salah, bahwa ia juga diinginkan. Meski dalam artian yang lain.

"Elo kenapa sih, Bro?" tanya Sam yang menjentikkan jarinya agar Diaz tersadar.

"Mikirin wanita seminggu lalu, kali?" Tembak Edgar tepat sasaran.

"Widiiiiih, tumben-tumbenan seorang Sultan Arkhadiaz Tjahir mikirin cewek," seloroh Juno kembali meminum gin tonic-nya.

"Diem lo!" Diaz melemparkan kulit kacangnya dan mendengkus sebal.

"Siapa sih tuh cewek? Kaku bener ia ngerayunya, tapi sukses bikin lo gak lemah syahwat lagi."

"Gue gak lemah syahwat, sialan!" umpat Diaz dengan wajah ditekuk.

Edgar dan Juno tertawa bahagia melihat kecemberutan di wajah Diaz.

Diaz menghempaskan tubuhnya di sofa, dan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah.

Apa yang sebenarnya Diaz lakukan di tempat ini? Berharap bertemu kembali dengan Ara? Atau ia ingin mengulangi malam panas bersama Ara?

Errr ... yakin cuma penasaran?

Batin Diaz mencibir, ingin rasanya ia tertawa keras. Jika normalnya gadis saat keperawanannya yang terengut, ia akan menangis tersedu-sedu bahkan meraung-raung minta pertanggung jawaban. Tapi Ara ... ia bahkan bersikap layaknya wanita yang sudah biasa melakukan ONS.

Mengejutkan. Iya, itu sangat mengejutkan bagi Diaz. Dia bukan pria brengsek yang lepas dari tanggung jawab.

Di sinilah Diaz berada, mencoba peruntungan untuk bisa bertemu dengan Ara lagi. Mencoba mempertanggung jawabkan kejadian seminggu lalu.

"Gue balik dulu." Diaz menepuk bahu Sam dan beranjak pergi tanpa menunggu jawaban dari ketiga sahabatnya yang sama-sama duduk di bar stool.

Sebelum benar-benar keluar, Diaz kembali mengedarkan matanya untuk memindai keberadaan Ara. Namun ia tak menemukan sosok yang ia cari-cari dalam seminggu ini.

Dimana ia harus menemukan Aranya?

★★★★★★★

Wkwkwkwkwkwk, okeh! Part tiga selesai. Ampuni hamba yang bener-bener lola bercampur mager.

Mmuuuuach....
-Dean Akhmad-
30-05-2018

Repost : 08/03/2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro