Lo! Awas!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kejadian hari ini, mungkin tak akan kulupakan. Ketika aku tahu, bagaimana rasanya duduk berdua denganmu."

Unknown

Helaan itu kembali terdengar. Sudah beberapa kali ia menengok pada daun pintu. Beberapa kali pula ia menghela nafas kecewa.

Sekarang ini sudah lewat makan siang, bahkan dia belum menghabiskan separoh dari makan siangnya. Namun serasa kenyang, ia menggeser piringnya.

Sekali lagi ia menoleh, sekali lagi pula ia menelan kecewa. Seseorang yang ia tunggu belum juga menampakkan diri, atau bahkan tidak.

Ia berdiri, meraih piringnya kemudian membawanya ke wastafel. Menempatkan di sana, lalu ia mencuci tangan dan meninggalkannya tanpa repot-repot mencucinya.

Masih ada sekitar tiga menit sebelum giliran temannya yang makan siang. Lucy memilih keluar sebentar dan menanyakan kepada Fani ataupun Ferdiansyah.

"Muka kamu kenapa, kusut kaya baju gak pernah dicuci?" Dian terkikik.

Hebat sekali anak ini. Masih sempat-sempatnya ia mengganggu Lucy di saat kedua tangannya membawa nampan penuh piring kotor.

"Dian, kerja sana!" Belum selesai ia mengganggu chef ini, bentakan kecil terdengar di belakangnya.

"Kenapa, Cy? Tumben keluar?"

Lucy menggeser posisinya. Memberi jalan pada Dian. Setelah Dian meninggalkan mereka. Dia mulai mendekati Fani.

"Kara?"

"Ow Kara. Gak nanyain gue, Cy?" Fani menebar senyum genit.

Di lain pihak, Lucy hanya tertawa kecil. Narsis sekali managernya ini.

"Lo 'kan ada di sini jadi gue nanyain Kara yang gak ada."

"Lo kok gitu? Gue 'kan cemburu."

Sekali lagi Lucy tertawa melihat Fani yang sekarang memasang raut sebal yang dibuat-buat.

"Bilangin Raka mau gak?"

"Ih sukanya ngadu. Oke oke, tadi Raka telfon-"

"-Gue nanyain Kara, Fan, bukan Raka."

Fani mendengus. Dia belum selesai bicara namun Lucy sudah memotongnya.

"Gue belum selesai."

"Ya udah lanjutin, Fan, udah banyak pesanan."

"Raka bilang Kara ada sama dia."

"Kenapa bisa?"

"Mana gue tahu? Udah lo balik kerja sana!"

Setelahnya mereka meninggalkan tempat tersebut.

|LUCY|

Kara terus-menerus diam. Tak ada niatan bertanya ataupun menjawab pertanyaan Raka. Dia masih kesal dengan tindakan orang di sampingnya. Dia hanya sebatas kenal nama, atau mungkin belum dianggap kenal nama karena tidak ada perkenalan secara resmi.

Intinya dia kesal dengan tingkah Raka. Siapa dia berani menculik dirinya. Namun, bukankah menculik itu atas dasar tidak kenal dan tak jarang minta tebusan, atau motif lain.

Akan tetapi, sepertinya tindakan ini lebih condong ke kemungkinan terakhir. Ada motif lain.

Dikarenakan sepertinya Raka tau siapa Kara dan jika minta tebusan, itu tidak mungkin. Kara bahkan hanya pelayan cafe yang penghasilannya tidak seberapa. Minta orang terdekatnya? Kara tidak punya orang terdekat.

Kara mengangkat tangannya, memijat pelan ujung hidungnya. Tiba-tiba dia merasa pening dengan ini semua.

Sedikit terhenyak ketika Kara merasakan sebuah tangan mengusap lembut ujung pelipisnya. Sedetik kemudian dia menepis tangan tersebut dan menatap horor si empunya.

"Don't touch me again!" sentak Kara. Sedangkan Raka meringis kecil menyadari tindakannya yang terlalu, agresif.

"O ... Oke," Raka melepas seatbelt-nya, "Ayo turun."

Bukannya langsung turun, gadis mungil itu malah menatap bingung lawan bicaranya. Baru kemudian mengikuti Raka yang sudah turun.

Dia bahkan lupa memakai seatbelt-nya sedari tadi.

Raka berjalan pelan sembari menunggu gadis yang diajaknya agar bisa menyusulnya. Namun bukannya berjalan berdampingan, Kara malah memilih berjalan di belakang Raka.

Dia juga sibuk memperhatikan hal-hal di tempat ia singgah. Hingga tak memperdulikan Raka yang sudah menggeram marah.

"Ayo." Tak ingin berlama-lama Raka menarik pergelangan tangan Kara, membawanya masuk ke dalam rumah besarnya. Tak peduli dengan teriakan protes dari Kara.

"Lo masuk, gue ke dapur." Kara kembali di bingungkan dengan ucapan Raka yang lebih tepat ke pelit bicara.

Mereka berpisah di depan sebuah lorong. Raka berbelok sedangkan Kara kebingungan di tempat. Dia memilih menikmati pigura-pigura yang terpasang di dinding lorong. Memperhatikan satu persatu setiap foto di dalamnya.

Matanya menyipit, di depannya kali ini ada sebuah foto yang menarik. Mereka terlihat bahagia, dua bayi seumuran yang sedang tertawa dan seorang pemuda tampan yang memangku mereka. Pemuda itu terlihat seperti Raka versi dewasa.

Kara menggedikkan bahu. Kembali menikmati foto-foto di sana yang di dominasi seorang anak laki-laki. Hingga dia menemukan ruang tamu yang ternyata berada di ujung lorong. Bersamaan dengan datangnya Raka dari arah yang berbeda.

⏩▶◀⏪

Ree Puspita


4 Januari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro