Mulai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketakutan adalah rasa yang normal, tetapi apakah masih bisa dianggap normal jika hal itu terjadi setiap hari?

Malam yang dingin semakin larut. Suara air mengaklir mengalun dari dapur. Cahaya minim menyulitkan penglihatan siapapun yang ada di sana. Lampu sengaja tidak ia nyalakan karena hanya akan menambah ketakutannya.

Kara menoleh pada wastafel, kran air terbuka. Ia melangkah mendekatinya. Menutup kran lalu kembali membersihkan meja dapur.

Suara gemericik air kembali terdengar. Semakin keras dan deras diikuti guntur. Gadis berkucir kuda itu mengelus dada tepat setelah kilat menyambar bumi diikuti guntur keras.

Gerakan tangan Kara terhenti. Dia menoleh pada jendela. Tak berapa lama kemudian kilat kembali menyambar membuat bumi menjadi terang untuk sesaat. Sebuah wajah pucat dengan cekungan mata dalam dan rambut kusut muncul bersamaan dengan kilat yang menyambar.

Kara berteriak cukup kencang.

"Kenapa?"

Lampu tiba-tiba menyala. Lucy berjalan cepat mendekati Kara. Langkahnya tergesa. Kemeja yang tidak terkancing melambai seiring gerakan kakinya.

Tangan Lucy menyentuh pundak Kara sehingga gadis itu mendongak menatapnya. "Kamu tidak apa-apa?" Lucy menangkup wajah dara yang sedang gemetar di depannya.

Kara perlahan membuka mata yang tertutup lalu melirik jendela tadi. Kosong. Embusan napas lega terdengar darinya.

"Gue gak papa, kak," jawabnya.

"Kalau takut, lampunya jangan dimatiin. Cepet selesain, aku tunggu di depan."

"Iya."

Lucy berjalan menjauhi Kara. Tubuh berbalut kemeja itu menghilang di balik pintu. Kara kembali mengelap meja terakhir sebelum meninggalkan dapur cafe. Kemudian ia meletakkan kain di wastafel.

"Waaa!!!"

Kara terbirit keluar dari dapur. Lampu kedap-kedip menyulitkan kara mencari jalankeluar. Ditambah hawa dingin dan kesiur udara dingin di belakangnya semakin membangkitkan bulu-bulu pada kulit Kara. Dia meremang.

"Kenapa lagi?" Lucy mengernyit heran. Dia melihat di belakang Kara dan tidak ada apa-apa. Namun, gadis itu menghampirinya dengan berlari seperti orang kesetanan.

"Belum ngunci pintu, gak berani," ucap Kara dengan satu tarikan napas.

"Kenapa? Ada genderuwo?"

Kara kembali meremang dengan candaan Lucy. Kedua tangannya datang mengusap lengan yang lain. Kakinya terus saja menghentak tanah. "Temenin," rengeknya.

"Ya udah, ayo!"

Keduanya berjalan menuju pintu belakang dapur dengan Lucy yang memimpin jalan. Kara bertindak seolah anak ayam yang bersembunyi di balik induknya. Kedua tanganya bertaut dengan mata yang sesekali melirik sekitar.

"Kuncinya mana?" Lucy menoleh pada Kara. Dia kembali dibuat heran dengan tingkah gadis mungil itu. "Kamu takut sama apa? Gak ada apa-apa di sini."

"Bukan apa-apa." Gadis itu merogoh tas kemudian menyerahkan beberapa kunci pada Lucy yang diterima dengan ragu.

@@@

Hujan sudah mereda meski gemuru guntur masih terdengar memekakkan telinga. Sorot lampu mobil Lucy mengenai jalanan di depan rumah Kara. Mereka telah sampai.

"Pamit, Kak. Makasih." Kara keluar dari mobil sebelum menutup pintu, ia sedikit membungkuk seolah memberi salam. "Kak Lucy pulangnya hati-hati."

"Iya. Selamat malam." Lucy tersenyum manis. Sosok yang awalnya Kara kira menyeramkan ternyata tidak seburuk penilaian pertama. Dia adalah figur yang murah senyum dan sedikit humoris.

Kara menutup pintu lalu selangkah mundur. Dia mengantarkan kepergian Lucy dengan pandangan pmatanya. Setelah mobil itu hilang dari pandangan, Kara berbalik dan berjalan memasuki rumah.

Kilat kembali menyambar. Kara memekik kencang bersamaan dengan sebuah bayangan melintas di depan matanya. Kedua tangannya kembali gemetar. Matanya melirik takut-takut pada pohon jambu yang tumbuh subur di halaman rumah. Sesosok hitam berdiri di bawahnya. Tidak bergerak, tapi cukup untuk membuat Kara terbirit memasuki rumah.

@@@

Kaos putih bergambar es krim yang telah digigit. Berlengan panjang. Celana jeans panjang berwarna hitam. Sebuah tas punggung kecil serta sebuah payung, dengan penampilan demikian, gadis beriris mata cokelat itu melangkah meninggalkan rumah.

Lalu lalang tetangga serta beberapa kendaraan menjadi penyambut paginya. Silau pantlan cahaya dari kaca spion motor tetangga yang terparkir di depan rumah mengenai wajahnya.

Kara mengangkat tangan guna menutup mata. Kemudian berjalan menuju halte bus yang tidak seberapa jauh dari rumah.

Ramah tamah warga saling melempar senyum. Gadis itu melempar balik senyum sambil lalu.

Tak sampai sepuluh menit ia sudah duduk di halte bus. Kedua kakinya ia silangkan dan tangan saling berpangku di atas paha.

Suara tawa kecil terdengar dari samping kirinya. Seorang bocah berwajah pucat sedang memainkan boneka kecil yang kusam.

Kara menoleh. Begitu pula bocah di sampingnya tersebut. Mereka saling melempar senyum, tetapi Kara langsung tergagap kemudian. Gigi-gigi bocah di sampingnya penuh darah. Dengan cepat dia melemparkan pandangan ke arah jalan dan kembali kaget. Sesosok berwajah putih pucat dengan noda darah yang mengalir dari dahi.

Matanya merah menyala. Terlihat begitu jelas meski keadaan cukup terang. Mulutnya terbuka hendak berbicara, tetapi tak ada suara.

Sebuah bus berhenti di depan halte. Kara bernapas lega karena sesosok menyeramkan tadi terhalang bus. Begitu pula bocah yang semula duduk di sampingnya kini telah menghilang.

REE PUSPITA

2 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro