Bab 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelah alis Gayatri terangkat, dia tidak tahu apa niat Niskala kali ini.

"Iya, kenapa?"

"Oke. Kebetulan aku lagi lewat di komplek rumahmu. Aku anterin ya."

"Nggak usah. Kamu rekan kerja bukan supir aku," tolak Gayatri. Dia tidak ingin menimbulkan fitnah yang tidak-tidak. Sayangnya, Niskala tetaplah Niskala yang keras kepala. Penolakan tidak ada dalam kamusnya.

"Ck! Bawelnya kumat, deh. Nurut aja kenapa, sih?" omel Niskala lagi. Sejak dulu dia tidak suka dengan sikap Gayatri yang keras kepala, sayangnya Gayatri akan tetap pada pendiriannya selama itu tidak merugikan orang lain dan menurutnya masih dalam batas wajar.

"Please, ini masih pagi dan aku nggak mau buat mood-ku jelek. Kita sudahi adu bacot ini ya? Bisa, kan?"

"Nggak, aku udah di depan rumahmu. Turun sekarang, kita sarapan di tempat bubur ayam kesukaanmu."

Gayatri berdecak kesal, tidak habis pikir dengan tingkah laku Niskala dan alasan dibalik semua tindakan ini. Dia tidak seharusnya berbuat seperti itu, mereka jelas-jelas tidak ada hubungan spesial, pria itu tidak seharusnya menjemputnya jika tidak dalam keadaan terdesak seperti hujan besar dan tidak ada taksi yang berhenti untuk mengantarnya pulang.

"Berisik," jawab Gayatri lalu menutup teleponnya. Wanita ini beranjak dari kasur dan mengambil handuk serta berjalan menuju kamar mandi, jika dia tidak mulai bersiap-siap dari sekarang, bisa-bisa dia akan terlambat. 

Tidak perlu waktu lama, mandi secukupnya dan bersiap dengan kemeja dan celana panjang hitam. Berpenampilan rapi itu penting, dengan berpenampilan rapi artinya dia menghargai dirinya sendiri dan juga menghargai orang lain. Semalas atau sekacau apapun perasaannya, dia harus bisa bersikap profesional. Hidup tidak hanya tentang dirinya saja, hidup juga tentang menghargai orang lain. Tidak mungkin hidup seorang diri saja, pasti ada saatnya membutuhkan orang lain dan tidak pernah tahu kapan akan membutuhkan orang lain, sehingga Gayatri berusaha meredam emosinya supaya dia tidak canggung untuk menghubungi dan meminta bantuan orang lain. Tidak akan mengenakkan jika dia sudah marah pada orang lain dan dikemudian hari dia membutuhkan bantuan orang tersebut. 

Seperti lubang bekas tancapan paku, seperti itu pula luka di batin orang yang dimarahin atau mengalami perilaku tidak mengenakkan. Minta maaf pun tidak akan mengembalikan perasaan orang itu seperti sedia kala, tetap saja ada luka disana. 

Nasihan dari ibunya, hal yang diingatnya hingga kini. Hal kecil yang disyukurinya dan diingat senantiasa. Setidaknya dia pernah merasakan rasanya diberi nasihan oleh ibunya, sebelum wanita itu menyesal sudah melahirkannya di dunia ini.

Gayatri sedang menyisir rambutnya dan melihat lebam di pergelangan kirinya. Bekas cekalan ibunya ketika tidak sengaja bertemu dengannya.  Hari itu termasuk dalam hari yang tidak diharapkannya terjadi. Gayatri baru saja keluar dari kafe kesukaannya, baru beberapa langkah keluar dari sana dan menyusuri jalan setapak menuju rumahnya begitu dia melihat wanita yang dikenalnya memegang pot bunga di sebuah toko pinggir jalan. Wanita itu terkejut melihatnya, mereka sama-sama terkejut. Gayatri terdiam, wajahnya memucat, perasaannya campur aduk. Rindu dan takut bercampur menjadi satu, dia ingin sekali memeluknya erat, tetapi dia juga takut wanita itu akan marah dan melampiaskan amarahnya kepadanya.

"Aya? Itu kamu?" 

"M-ma?" 

Gayatri tersenyum, dia kira mamanya tidak lagi marah padanya. Gayatri berjalan mendekatinya karena wanita itu merentangkan tangan seakan ingin memeluknya. Dia hampir sampai, sedikit lagi, berjalan sebentar lagi. Gayatri merentangkan tangannya juga, menyambut pelukan hangat mamanya. Seharusnya seperti itu, tetapi wanita itu menjambak rambutnya dengan sekuat tenaga, menyisakan perih teramat dalam di kulit kepalanya dan menampar pipinya sambil menyeringai.

"Anak sialan. Aku menyesal kamu ada!" pekiknya keras lalu melempar pot itu ke kepala Gayatri. Hal terakhir yang dia ingat adalah keadaan menjadi ricuh dan wanita itu kabur dari sana, lalu semua berputar begitu cepat dan berakhir dalam gelap.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, Gayatri melihat Nehemia menunggunya di ruangan serba putih, ada selang infus juga di sana. 

"Nehemia?" gumamnya pelan. Butuh beberapa kali hingga akhirnya pria itu terbangun dari lelap tidurnya. Wajahnya terlihat kacau, ekspresi khawatir terlihat jelas dari sana. Rambut yang biasanya disisir rapi pun terlihat berantakan, entah karena dia lupa sisir rambut atau karena habis bangun tidur. Gayatri tersenyum lebar melihatnya. 

"Kamu apa kabar? Kok kayak orang nggak diurus gitu, sih?" candanya pelan dengan suara seraknya.

"Sst. Kamu baru bangun, jangan bicara banyak-banyak. Kamu keadaannya gimana? Pusing? Ada yang sakit?" serbunya dengan berbagai macam pertanyaan.

Gayatri tersenyum, dia suka diperhatikan, apalagi kalau yang memperhatikan itu orang penting untuk dia.

"I am okay, sayang. Pusing dikit, sakit di kepala."

Nehemia cemberut mendengar tutur katanya. "Kamu bandel. Harusnya aku keras kepala aja buat anterin kamu. Aku kaget banget pas ditelepon rumah sakit, aku langsung ijin ke atasanku biar bisa jenguk kamu. Aku kalut, aku takut, aku kayak orang gila aja tadi rasanya," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Gayatri bisa merasakan kekalutan itu, dia paham. Jika membayangkan dia di posisi Nehemia, tentu saja dia akan kalut dan menangis sejadi-jadinya. Mereka sama-sama tidak ingin ada yang terluka. Hidup lebih lama lagi berdua, menjalani masa depan bersama-sama adalah hal yang diinginkan mereka. Gayatri tidak akan mampu menjalani hidup tanpa Nehemia, begitu pun sebaliknya. Hidup mereka tidak akan sama tanpa hadirnya satu sama lain.

"Maafin aku, sayang," ujarnya pelan sambil mengusap tangan yang digenggamnya. Tangan besar yang dipegangnya saat jalan bersama-sama menyusuri taman, melewati kerumunan orang-orang banyak dan mengarungi hidup yang susah ini.

Nehemia tersenyum. "Mama lagi ya?" tanyanya pelan.

"Iya. It is okay, sayang."

"Sampai kapan?" pertanyaan yang sering diujarkan pria itu, pertanyaan yang tidak bisa dijawab Gayatri.  Entah sampai kapan. Komitmen, komunikasi dan rasa saling percaya adalah fondasi mereka. Kalau tidak begitu, mereka bisa bertengkar karena masalah kecil dan mereka tidak ingin hal itu terjadi.

 Gayatri tersadar dari lamunanya setelah mendengar klakson dari luar rumahnya. Mengingat hal itu selalu membuatnya sedih dan senang. Sedih karena hubungan dengan mamanya tidak kunjung menemui titik terang, serta senang karena dia masih punya orang yang menyayanginya. Setidaknya dia masih punya alasan untuk bertahan hidup. 

Gayatri menghela napas, dia sudah tahu siapa yang mengklakson di luar, sudah pasti orang yang menelponnya tadi. Wanita ini melirik dari balik horden dan melihat mobil berwarna biru dongker. Dia segera keluar dari rumah dan mengunci pintu rumah serta gerbangnya.

Melihat Gayatri sudah keluar dari gerbang rumahnya, keluarlah pemilik mobil biru dongker tadi. Pria yang dikenalnya dari lama, orang yang meninggalkan luka di masa lalunya. Orang yang tidak dia harapkan hadir kembali di hidupnya, sayangnya takdir tidak sependapat dengan keinginanya. 

-Bersambung-

1001 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro