CHP 11: BERMAIN RAPIH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di dalam mobil, Livia termenung tanpa bergerak sedikitpun. Pandangannya kosong, pikirannya pun seperti membeku, dan tubuhnya lemas seperti tak bertulang. Terlihat jelas bahwa Livia masih terlihat shock karena kejadian tadi.

Dia pikir dirinya akan baik-baik saja, tapi nyatanya mental dia belum sepenuhnya siap untuk menghadapi orang-orang yang belum bisa menerima kenyataan itu.

Livia di antar pulang ke rumah orang tuanya. Gustav mengantar Livia dengan aman sampai ke tangan tuannya, Harold Kwon.

"Ya Tuhan, Sayang. Kamu baik-baik saja, 'kan?" Sang ibu langsung mendekap anaknya yang baru sampai dengan erat. Setelah diberitahu apa yang terjadi, Via dengan cemas menunggu kedatangan Livia. Dia bolak-balik dari ruang tamu ke pintu masuk hanya untuk menunggu sang anak semata wayang.

"Tidak," jawab Livia lemah. "Tidak," dia mengulanginya lagi sambil menggelengkan kepalanya.

"Oh, anak Mama." Via mendekapnya lebih dalam dan membawa Livia masuk agar dia bisa lebih tenang.

"Kau sudah mencari tahu siapa pelakunya?" Sedangkan Via dengan Livia memutuskan untuk masuk ke dalam, Harold dan Gustav tetap di depan pintu untuk membicarakan kejadian yang menimpa Livia di acara sebesar Fashion Week. Tentu saja itu sangat memalukan dan Harold tidak bisa diam saja saat melihat anak semata wayangnya dipermalukan seperti itu di depan banyak orang.

"Saya belum sempat mengintrogasi pelakunya, tapi Jina sudah mengamankan orang tersebut. Secepatnya saya akan melakukan tindak lanjutan atas kejadian ini, Tuan," jawab Gustav dengan jelas.

"Saya ingin hasil yang akurat secepatnya, Gustav," kata Harold dengan tegas dan penuh penekanan.

"Baik, Tuan. Kalau gitu saya permisi." Gustav undur diri dan pergi meninggalkan kediaman Kwon untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Harold.

Sementara di ruang tamu, Via terus menenangkan sang putri. Dia memberinya segelas air putih dan mengusap lembut seluruh wajahnya. Sebagai seorang ibu, tentu Via merasa khawatir sekaligus marah.

"Sayang, kami untuk sementara tinggal di rumah dulu, ya? Juga, jangan ambil job dulu," ucapnya dengan nada sedikit bergetar. Via menatap wajah sang putri dengan mata berair. "Mama tidak suka kamu diperlakukan seperti ini, Livia. Lebih baik kita tinggal di Indonesia saja. Kamu juga masih bisa berkarir di sana atau kamu bisa membuat bisnis baru. Tapi Mama melarang keras kamu kembali ke dunia hiburan di sini. Mengerti?" Via berkata dengan penuh penekanan yang tidak ingin dibantah.

"Aku sudah tanda tangan kontrak dengan brand itu, Ma. Aku harus bersikap profesional bagaimanapun juga," sahut Livia pada sang ibu.

"Jangan membantah Mama untuk sekarang!" Dia terdengar seperti orang marah, tapi dirinya sudah berderai air mata.

"Sayang, tenanglah. Jangan terlalu terbawa emosi." Harold berjalan masuk dan mendekati sang istri yang sedang emosional. "Lebih baik kalian istirahat dulu, lalu kita bisa membahasnya lagi nanti saat makan malam."

"Istirahat ya, Liv," suruh sang papa yang diangguki oleh Livia. Dia bangun dan pergi ke kamarnya yang masih terjaga rapi di sana. Tapi sebelum pergi, Livia mengecup pipi sang ibu.

-

Di pesta setelah event, Taylor menikmati waktu dengan berbincang sana sini dan makan malam yang disediakan.

Saat ini Taylor tengah duduk di bar yang ada di sana. Awalnya dia seorang diri, tapi tiba-tiba ada yang ikut duduk dengannya, di sampingnya lebih tepatnya.

Taylor menoleh untuk melihat siapa orang tersebut. Dia terkejut, tapi tidak terlalu terkejut melihat wanita itu ada di sana.

"Lama tidak berjumpa, Taylor," sapa Helena, wanita penting dalam dunia fashion. Tiga tahun lalu yang hanya seorang designer pemula dan sekarang terkenal di seluruh dunia.

"Apa aku harus merasa tersanjung didatangi designer ternama negara ini?" Taylor melempar tatapan seperti orang yang jengah dan tidak tertarik sama sekali bertemu dengan Helena.

"Rupanya kau masih marah denganku," sahut Helena dengan senyum penuh kemenangan.

"Kenapa aku harus marah kepadamu? Memangnya, kau pikir kau begitu penting untukku?" sunggut Taylor tidak suka.

"Tentu saja, aku itu sangat berarti untukmu. Kau adalah satu-satunya orang yang takut kehilanganku waktu itu," balas Helena dengan percaya diri.

"Kau pikir seseorang tidak akan berubah dalam waktu empat tahun? Sebegitu narsisnya kah dirimu, Helena?" Taylor berkata dengan nada mengejek. Dia tidak habis pikir bahwa wanita itu bisa berdiri di hadapannya dan dengan percaya diri mengklaim dirinya sebagai orang yang stuck di masa lalu dan terobsesi dengannya.

"Karena itu memang faktanya, Taylor," Helena berkata, menatap Taylor dengan menyeringai.

Taylor yang sudah tidak tahan ingin membalasnya menatap wanita itu dengan tajam. Dia sudah bersiap untuk menyemburnya dengan kata-kata pedas, tapi takdir masih menyelamatkannya.

"Taylor, kita harus pergi sekarang." Junho, sang manager datang menghampiri. Dia melihat wanita yang duduk di samping Taylor, tapi sengaja mengabaikannya karena dia tahu siapa wanita tersebut.

"Oke," Taylor menjawab, menganggukkan kepalanya dan langsung turun dari kursi. Mereka berbalik dan siapa untuk pergi, tapi Helena memiliki rencana lain dalam agendanya. Dia masih menginginkan Taylor dan akan terus mencecar pria tersebut.

"Tay, aku akan mengunjungimu segera," ucap wanita itu, diiringi dengan senyuman genit seperti ingin menggaet darah muda.

Taylor mengabaikannya, tapi Junho membalikkan badannya untuk sekedar menatap Helena dan membungkukkan badannya sebagai salam perpisahan.

"Kau mengenalnya dengan baik, Taylor?" Junho bertanya di saat mereka sedang berjalan ke mobil yang sudah siap dan terparkir di depan.

"Biasa saja," jawab Taylor tanpa minat. Dia bahkan tidak ingin membahas wanita itu lagi.

"Jika kalian ingin bertemu, tolong beritahu aku sebelumnya untuk berjaga-jaga," kata Junho. Banyak sekali yang harus ia lakukan jika mereka memutuskan untuk bertemu, apalagi jika di tempat umum.

"Aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi, Bang. Bahkan, kalau bisa, jangan sampai ada pekerjaan yang berkaitan dengannya."

"Tapi dia seorang designer, Taylor. Dia bekerja di bawah brand besar." Taylor menggelengkan kepalanya, tetap menolak untuk bekerja sama dengan Helena.

Masuk ke dalam mobil, Taylor duduk di kursi belakang.

"Bang, apa Livia pulang dengan selamat?" Taylor bertanya dengan tiba-tiba.

"Taylor... Livia?" Junho bertanya dalam konteks, 'apa benar Taylor memiliki hubungan serius dengan Livia?'.

"Enggak, Bang," Taylor menyangkalnya.

"Kau tidak benar-benar serius dengan Kang Hana, bukan?" Dari mata penglihatan Junho, Taylor tidak memiliki ikatan emosional kepada Kang Hana. Berbeda lagi dengan caranya memberi perhatian kepada Livia Kwon. "Apa yang kau pegang dari hubunganmu itu? Status? Kau bahkan tidak bisa memamerkannya ke sembarang orang."

"Kenapa?" Taylor mengulang pertanyaannya. Dia merenungkan pertanyaan itu di bangkunya. "Entah, tapi mereka saling kenal. Hana datang setelah Livia pergi. Jadi, entah kenapa aku hanya menerimanya saja."

"Jadi, kau tidak ada perasaan sama sekali kepada Kang Hana?" Junho bertanya lagi. Dia ingin mengerti kisah cinta Taylor, karena dia terlihat yang akan memiliki banyak masalah jika tidak merapikan hubungannya itu.

"Sepertinya tidak ada. Setelah melihat Livia lagi, perasaanku kepadanya muncul kembali begitu saja. Aku belum bisa melupakannya, Bang," ungkap Taylor, pada akhirnya dia membuka juga cerita lamanya dengan Livia.

"Bagaimana bisa aku tidak mengendus hubunganmu dengan Livia? Seberapa rapih kau bermain, Tay?" Taylor terkekeh mendengar keheranan Junho, dia juga bingung jika harus menggambarkannya seperti apa. Bahkan pertemuan mereka bisa dibilang tidak biasa.

( ... )
오랜만.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro