Tasya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 1

Entah apa yang menghantam kepalaku semalam sampai-sampai nyerinya nyaris menembus tulang. Seperti dilempar bongkahan batu besar dengan tenaga ala atlet baseball, seperti itulah ngilu yang kurasakan. Denyutan di bagian belakangnya seolah memukuli tengkorakku sampai hampir retak. Sekilas aku sempat berpikir, mungkin saja aku terkena kanker otak. Namun, apa bisa penyakit kanker muncul dalam semalam. Kuusap kepalaku yang tidak berdarah walaupun rasanya ada yang menetes basah dari belakang. Mataku sengaja mengintip ke bantal yang menyangga semalaman, bersih. Tidak ada noda sedikit pun. Aku menggelengkan kepala perlahan dan mengembuskan napas dalam-dalam. Mungkin aku paranoid.

“Kau baik-baik saja. Tenang, kau ....”

Tidak!

Aku tidak baik-baik saja. Kepanikan menghantui lagi. Kali ini lebih parah dari ketakutan kepala bocor tadi. Bagaimana bisa aku baik-baik saja jika tidak mengingat siapa namaku sendiri? Kuputar otakku lebih keras. Pasti ada sesuatu yang terlupakan. Pasti ada alasan kenapa aku tidak bisa mengingat namaku sendiri? Sayangnya, semakin kucoba menggali ingatan, kepalaku berdenyut makin hebat, memaksaku menghentikan tugas penting ini. Bagaimana tidak? Bagaimana aku harus melanjutkan hidupku jika aku tidak ingat siapa namaku!

Aku menoleh ke sekeliling kamar yang warnanya terlalu terang. Pink! Seumur hidup, aku paling anti warna pink, tetapi kenapa aku justru terbangun di ruangan super norak dengan kilau mutiara kelap kelip menggelayut di jendela? Sinarnya memantul, menyakitkan mata. Demi Tuhan, siapa manusia bodoh yang memasang hiasan tidak ramah pandangan itu tepat di depan jendela sisi timur rumah. Bayangkan setiap pagi harus berhadapan dengan penyiksaan semacam ini. Sudah jelas. Ini bukan kamarku! Pertanyaan baru meledak lagi di kepalaku. Kamar siapa ini sebenarnya dan kenapa aku bisa terbangun di sini?

Kedua telapak kakiku turun dari kasur yang hangat dan menyapa ubin yang dingin. Setelah mengenyahkan selimut bergambar Hello Kitty warna pink yang membuatku nyaris pusing, warnanya terlalu mencolok, aku menggigil. Hebat! Aku amnesia, terjebak di antah berantah, dan sedang demam. Perpaduan yang sempurna untuk memulai hari yang indah ini. Lihat saja matahari sudah sedemikian tinggi padahal ini baru pukul delapan pagi. Karena tidak mau berusaha menyakiti diri, aku memilih mengabaikan semua keganjilan ini dan mencari tahu siapa identitasku yang sebenarnya. Setidaknya, pasti ada sedikit petunjuk tentang diriku, kan?

Yang kutuju pertama kali adalah ponsel. Gawai yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang itu, yang tampak sangat mencolok dengan warna pink plus blink blink ekstra norak di bagian punggung dan pinggirnya, menarik perhatian. Kutempelkan ibu jari ke pemindai kunci dan sedetik kemudian, layarnya terbuka. Kucari aplikasi Instagram dan membaca infomasinya dengan cepat. Kesimpulan pertama, namaku Anastasya, panggilannya Tasya. Dilihat dari feed sepertinya aku seorang cheerleader sekolah. Rambut hitam bergelombang dengan ikat rambut biru pink di kanan kiri, ya jelas sekali itu diriku. Foto aku berpelukan dengan seorang pria juga tersebar di banyak feed. Mungkin dia pacarku? Entahlah. Terlalu cepat untuk menilai. Nama sendiri saja lupa, apalagi nama pacar, kan? Aku terus scrolling halaman dan mengumpulkan banyak informasi. Siswi cantik SMA 701 Bandung ini adalah gadis yang punya banyak penggemarnya. Followers-nya saja mencapai tiga ribuan orang. Aku memiliki pacar seorang mahasiswa, beberapa teman akrab yang sering bepergian dan nongkrong denganku, serta kekayaan melimpah ruah.

Wow! Benarkah hidupku seberuntung itu? Tidak juga. Buktinya aku hilang ingatan. Mungkin lebih baik aku bertanya pada dokter? Atau pada ayah dan ibuku, jika aku masih memilikinya tentu saja, karena aku tidak melihat satu pun foto diriku dengan pria atau wanita agak tua di sini.

Sebuah suara samar-samar memanggilku dari luar. Dengan cepat aku menoleh dan beranjak ke depan pintu. Akhirnya, seseorang yang bisa menjawab  Kebingunganku muncul! Kakiku setengah berlari sembari menahan pilu. Berjingkat sesigap mungkin walaupun rasanya ada lapisan es tebal di lantai berkeramik pink ini.

Suara itu terus memanggilku dengan hangat. Seolah tidak sabar ingin berjumpa. Kubuka pintu kamar, menuruni tangga yang melingkar indah di rumah yang mirip mansion ini, dan mendapati seorang wanita berambut hitam ikal, berpakaian blazer super tapi, dengan dandanan manis dan anggun khas wanita usia 40 tahunan ke atas, tersenyum ke arahku. Apakah dia ibuku? Aku berjalan semakin mendekat dan mengamati raut wajahnya. Wajahnya sangat cantik khas Indonesia. Walaupun ada sedikit semburat keturunan luar negeri dari hidung dan kornea kehijauannya, ia tetap cantik dengan kulit sawo matangnya.

“Tasya, kenapa belum siap-siap sekolah?” tanyanya setelah menyadari aku tersenyum semringah dengan piyama yang masih melekat.

Aku panik mencari alasan. Apa alasan yang biasa digunakan jika ingin membolos? Sakit perut? Halangan? Demam?

Ia tidak menunggu jawabanku malah berjalan menghampiri lalu menempelkan tangan ke keningku. Menekan agak ke dalam sebelum berujar mengambil kesimpulan, “Kamu demam? Mama bilang juga apa. Enggak usah ikut pesta enggak jelas! Pasti kamu kena angin malam! Diantar sama siapa kamu tadi malam? Haris, pacarmu itu lagi? Kapan dia bisa punya mobil untuk mengantar jemput kamu? Mama khawatir setiap kamu naik motor. Bagaimana kalau ....”

Terlalu banyak informasi yang diterima membuat kepalaku sakit lagi. Wanita yang mengaku sebagai mamaku ini terus saja melanjutkan omelannya. Aku menunduk menatap lantai yang terasa berkilau terang. Pandanganku berkunang-kunang. Entah apa yang ia katakan, aku tak sanggup mencernanya lagi. Tubuhku terlanjur melemah, nyaris ambruk kalau saja tidak berpegangan pada kursi kayu jati yang terpajang mewah di ruang makan ini.

Menyadari aku hampir jatuh, Mama menahan tubuhku lantas memanggil Bi Ijah.

“Bi Ijaaah! Bik!”

Perempuan tua yang kuduga asisten rumah tangga di rumah mewah ini muncul tergopoh-gopoh. Pakaiannya yang masih berlapis celemek menunjukkan ia baru saja muncul dari dapur. Aroma bawang putih membuatku nyaris menangis. Sayangnya, tubuhku terlalu lemah untuk menolak. Kubiarkan saja mereka berdebat.

“Bik, tolong bawa Tasya ke kamarnya, ya. Nanti telepon Dokter Rina.” Mama memberi perintah. Suaranya terdengar panik.

“Baik, Nyonya.”

“Pastikan juga dia meminum obatnya. Jangan ada yang kelewat, Bik.”

“Iya, Nyonya. Ineeem!”

Astaga. Nama siapa lagi yang muncul kini. Tidak bisakah kalian semua diam dan memberiku ruang agar bisa berpikiran jernih? Aku mengerang kesakitan.

“Cepet telepon Dokter Rina!” Mama mengomel lagi.

Mataku suda tertutup rapat. Tidak berniat bangun apalagi menyaksikan apa yang mereka lakukan. Kepalaku masih mencoba mencerna situasi. Namaku Tasya, anak orang kaya, disayang keluarga.

“Saya harus mengejar pesawat sekarang. Jaga Tasya baik-baik, ya.”

Mama melepas tangannya dariku. Seperti ada kehampaan saat kulitnya meninggalkan tubuhku. Hanya suara Bik Ijah dan Inem yang sekarang keluar masuk telinga. Sibuk membahas nomor telepon Dokter Rina. Bagaimana cara mengangkatku ke kamar. Menyiapkan bubur untuk mengisi perutku. Mencari kompres hangat untuk badanku yang katanya dingin. Membahas konferensi bersama fashion designer yang harus dihadiri Mama selama tiga hari ke depan. Perlu atau tidaknya mengubungi Papa yang sedang tugas keluar kota. Ah, setumpuk obrolan lain yang tidak kupahami yang sedikit banyak menyalahkan Haris.

Kuabaikan ocehan mereka. Satu hal yang kuketahui tentang seorang Tasya. Ia tidak dicintai keluarganya.

*** *** ***

Mensyen Mak chachaprima

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro