About Her

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Songlit: Sister - Eve
Penulis: Reonereym

"Aku merindukanmu, Kak."

Aku menghembuskan napas hangat ke udara musim dingin bulan Desember seraya menggumamkan hal itu. Kutendang salju yang memenuhi trotoar layaknya anak kecil, layaknya gadis yang kurindukan biasa lakukan sepulang sekolah. Rasa rindu itu hanya kulampiaskan dengan ini, menendangi salju lalu sedikit melompat membuat kedua kaki tenggelam dalam tumpukan dingin objek di jalan.

Rasanya sama saja, kosong, tidak menyenangkan.

Aku mengacak-acak rambutku dan mempercepat langkah menuju rumah, tidak ingin tenggelam dalam permainan konyol dari gadis yang kini jauh di mana. Sudah cukup semua beban di hati ini, aku tidak mau memikirkannya.

Sejak awal hari langkah kakiku berat sekali. Kalau ingat hari ini adalah hari-hari mendekati Natal, kenangan Kakak yang tidak pulang ke rumah membuat perasaanku jadi kacau. Aku tidak suka perasaan kelabu seperti ini, tapi kenapa diriku sendiri selalu mengingat apa yang tidak kusuka, aku tidak tahu.

Aku berhenti melangkah dan menoleh ke taman kecil di sekitar rumah. Terfokus pada lubang pembuangan yang tak sedikit tertutup salju di hadapan, kenangan akan dia malah kembali lagi.

"Kakak yang cengeng menangis keras di sini." Aku mengingat itu dan tersenyum pahit. Kakakku sudah berumur 17 tahun dan masih saja menangis kencang saat liontin kalungnya jatuh di ke dalam lubang pembuangan di depanku. Aku pun ingat saat aku harus pulang dengan bau badan yang tidak enak karena mengobok-obok got demi liontin itu.

Dia sudah dewasa, tapi tidak hati-hati dan cengeng. Aku ingat benar air mata di wajah menyedihkan kakakku menangisi liontin sederhana miliknya dan wajah lucunya yang penuh ingus saat aku berhasil mengembalikan liontin itu pada Kakak.

Hah, jadi teringat lagi 'kan. Padahal aku ingin melupakannya.

Aku menggeleng cepat dan fokus berjalan ke rumah, meninggalkan semua kenangan itu di belakang sana. Aku sudah cukup pusing memikirkan semua kenangan itu, padahal Kakak bisa saja tidak memikirkanku.

"Aku pulang." Kuucap salam saat membuka pintu rumah dan dengan cepat kututup kembali agar suhu dingin tidak masuk ke dalam. Sekali lagi aku menghela napas, lega karena telah di istana sendiri.

"Selamat datang, Koutarou," sambut seorang wanita paruh baya dengan senyuman. Tangannya membawa sebuah handuk yang diserahkan padaku. "Bagaimana harimu? Ini hangatkan dulu tanganmu dengan handuk."

Aku menerima handuk itu dan mengusapkannya ke wajah, menghilangkan penat yang disebabkan oleh perasaan kelabu selama di jalan tadi. "Biasa saja, Bu. Tidak ada hal yang mencolok terjadi di sekolah."

"Begitukah? Kalau begitu berbenahlah dulu, Ibu sudah membuat minuman kesukaanmu."

Aku mengangguk dan melepas sepatu, kemudian menuju ruang makan di dalam rumah. Benar saja, ada segelas kopi panas di atas meja makan, bersebelahan dengan secangkir coklat panas dengan mug kesukaan Kakak.

"Kenapa tidak diambil, Koutarou?"

Semuanya tentang Kakak datang begitu saja, kenapa hal ini memenuhi otakku?

"Nanti saja, Bu. "

Aku berbalik dan menuju ke tangga, ingin mengurung diri di kamar demi menghilangkan perasaan ini, tapi belum ada beberapa langkah pundakku ditepuk dari belakang.

"Kou, jangan dipikirkan."

Mau dikatakan begitu pun, akhirnya kepikiran juga.

"Aku tidak memikirkannya, Bu," tepisku dengan senyuman. "Coklat panas itu untuk siapa?"

"Untuk Kakakmu."

Lihat? Semua tentang Kakak terpusat di hari-hari sebelum Natal. Kakak yang tidak ada di rumah sekarang saja selalu ada di benak kami semua.

Aku juga, ingatan yang paling buruk tentang Kakak juga teringat hari ini.

"Aku akan ada di kamar, panggil aku jika membutuhkanku." Setelahnya aku bergegas menaiki tangga, langsung menuju kamar dan membanting diri di tempat tidur.

Kenangan terburuk dari Kakak, bahwa Kakak pergi meninggalkan kami semua begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal. Kakak pergi karena aku, semua kenangan ini menyerangku juga karena aku memikirkan Kakak.

Kumohon, Kak. Pergi saja, jangan membayangiku.

"Koutarou, apa kau ada di dalam?"

Suara bariton menggaung di dalam ruang gelapku, membuatku bangkit dari tumpukan bantal. Siluet pria berseragam kantor berdiri di ambang pintu, kemudian dengan munculnya sinar dari lampu nampak sudah realitanya.

"Ada apa, Ayah?"

Beliau awalnya diam, langkahnya mendekatiku dan tangannya menepuk kepalaku, mengelusnya. "Jangan pikirkan Kakakmu, Kou. Yang pergi biarlah pergi."

Benarkah yang pergi biarlah pergi? Lalu bagaimana caranya aku menghilangkan semua kenangan tentang Kakak?

Aku hanya menunduk dan memeluk kedua lututku. "Rasanya sudah satu tahun berlalu, tapi memori itu tidak mau pergi."

"Kou, Kakakmu memang sudah pergi, tapi memori tentangnya akan tetap ada di hati kita semua." Ayahku tersenyum, nada bicaranya melembut. "Ayo turun, berikan minuman kesukaanmu pada Kakakmu."

Menerimanya dengan lapang dada, aku mengusahakannya walau itu begitu sulit. Aku mengangguk pada Ayah dan mengikutinya turun ke lantai dasar, di mana Ibu sudah menanti kami berdua di depan meja makan.

Wanita itu memberikan mug Kakak padaku, dia memberikan tatapan mantap. "Setidaknya Kakakmu senang kau masih mengingatnya, Kou."

Memori tentang Kakak akan selalu terkenang, entah yang buruk atau yang baik, yang membuatku tercenung atau tertawa, semuanya masih di hati ini.

Aku menerima mug itu dan berlutut di depan altar dengan foto Kakak di atasnya. Semua makanan Kakak juga sudah ada di atas altar, hanya tinggal minuman kesukaannya, yang biasanya kami nikmati bersama-sama.

Aku pun tersenyum, meletakkan mug itu di depan foto bersama semuanya.

"Semoga rasa coklat ini sampai ke surga, Kak."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro